WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Minggu, 05 Mei 2013

EKSEKUSI SUSNO VERSUS KREDIBILITAS POLISI

Dimuat Harian JOGLOSEMAR, edisi Senin 6 Mei 2013 
Oleh  : Muhammad Taufiq*

Kreatifitas polisi pada dasarnya baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat,agar kasus kejahatan cepat terungkap  namun dalam kenyataan membuat semakin panjang daftar terjadinya perilaku buruk polisi. Dengan semakin luasnya pekerjaan polisi di jaman sekarang dari mengurusi perkelahian sepak bola hingga perselingkuhan artis,memang memerlukan diskresi bagi petugas kepolisian. Secara jujur tidak bisa membebankan segala urusan hukum kepada polisi. Seiring meningkatnya kerumitan pekerjaan polisi, perlu jangkauan lebih luas dan kebijakan yang mendukung keberhasilan polisi. Dalam kondisi ini perlu pengawasan dan akuntabilitas kepolisian yang efektif. Baik kepada kepada organisasi polisi atau masyarakat. Dari penelitian yang ada jumlah pelanggaran administrasi di kepolisian jauh lebih kecil dari perilaku salah atau buruk polisi. Sebagai contoh larangan Markas Besar Kepolisian  untuk menerima pemberian gratis dalam bentuk apapun termasuk barang atau parsel. Dalam praktek de facto masyarakat mentoleransi perbuatan ini dan menjadi budaya. Akhirnya seorang petugas kepolisian dihadapkan pada sebuah situasi di mana penerimaan hadiah berupa apapun termasuk uang  sama sekali tidak berhubungan dengan etika profesi atau integritas pribadi . Contoh kasus terbaru “ permintaan “ oleh polisi terhadap warga Belanda,yang akhrinya mendunia karna diunduh di You Tube. Mayoritas dari mereka akan secara subyektif mendefinisikan bahwa perbuatan itu bukan bagian dari perilaku buruk. Kalangan akademisi dan media seringkali  menyebutnya sebagai perilaku menyimpang yang terorganisir. Faktanya bahwa penyebab utama contoh atau perilaku buruk atau tidak baik ini hampir semuanya bermula dari manajemen kontrol yang tidak memadai untuk menjamin organisasi dan akuntabilitas publik.
Mengkait dengan itu bagi penulis bukan hal aneh jika dihubungkan dengan kegagalan eksekusi Susno Duaji 26/4 silam  di Bandung . Di mana seperti terlihat justru Kepolisian Jawa Barat seakan membentengi Susno untuk tidak dieksekusi , inilah wujud kreatifitas dan solidaritas yang salah. Padahal tidak ada yang salah atau keliru dari tindakan Kejaksaan itu. Mengingat Susno sudah diputus bersalah oleh Mahkamah Agung. Perdebatan itu menemukan momentum manakala Yusril yang terkesan selalu menang melawan kejaksaan dalam kasus keabsahan Jaksa Agung Hendarman Supanji yang tidak sesuai dengan UU No.16 Tahun 2004. Pada saat itu Mahkamah Konstitusi mengabulkan keberatan Yusril atas kewenangan Jaksa Agung untuk mencekalnya. Kali ini Yusril bersuara lantang bahwa putusan Mahkamah Agung itu tidak dapat dieksekusi karena tidak mencantumkan perintah segera masuk atau perintah untuk ditahan. Suara Yusril seakan membuat Kejaksaan Agung Republik Indonesia ragu untuk secara “serius” mengeksekusi Susno Duaji.
Tindakan Susno yang dimotori Yusril dan didukung oleh almamaternya Kepolisian Republik Indonesia , menyebabkan sistem pengawasan yang dibangun ini rusak. Artinya masyarakat tentu saja dengan berbagai dalih  akan meniru cara-cara Susno dalam menolak eksekusi.
RENDAHNYA PENGHORMATAN HUKUM
Perkembangan akuntabilias dalam penegakan hukum di Indonesia terkait dengan evolusi hak individu  juga gerakan internal dan eksternal untuk peofesionalisme polisi.  Jadi karakteristik polisi di Indonesia berbeda dengan negara lain. Kamus Webster mendefinisikan akuntabilitas sebagai  “ keharusan melaporkan,menjelaskan atau menjustifikasi tindakan.” Seperti jamak diketahui sepanjang sejarah kepolisian di dunia ini kecuali di negara Amerika Serikat. Polisi selalu bertanggungjawab kepada Kepala Negara ,baik pemimpin itu seorang raja (Hammurabi); monarki (Raja John dari Inggris );atau seorang diktator ( Napoleon,Stalin, Hitler). Namun di AS yang notabene menyebut diri negara demokrasi maju, polisi justru bertanggung jawab kepada para politisi,hakim dan para pembuat hukum, dan tidak selalu berurusan dengan hak-hak individu. Gagasan bahwa polisi harus bertanggung jawab pada warga yang mereka layani belum lahir dalam sejarah hingga tahun 1980-an dan 1990-an di AS. Akuntabilitas  polisi untuk melindungi hak berkonstitusi. Yang berlatar belakang konsep hukum alam dan hak-hak dasar atau alamiah. Awalnya dikembangkan oleh Hugo Grotius ( Belanda,abad 16) dan John Locke (Inggris ,abad 17) selanjutnya ditanamkan ke dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika dan Konstitusi AS
Dalam prakteknya pada kenyataannya hukum tetap secara umum berhubungan dengan pengadilan dan badan legislatif terutama pada proses pembuatan Undang-Undang Kepolisian, KUHAP dan Undang-Undang Kejaksaan . Pada kondisi demikian akhirnya menimbulkan hak-hak baru bagi seorang pelaku tindak pidana. Secara masif akhirnya masyarakat menuntut bahwa hak-hak dasar mereka harus dipenuhi dan polisi wajib melindungi hak-hak sipil itu. Sehingga warga negara berhak mendapat perlindungan untuk hak-hak pribadi. Demikian  kasus Susno yang sesungguhnya biasa menjadi kacau setelah LPSK juga ikut-ikutan berkomentar seolah Susno seorang whistle blower yang harus dilindungi. Yang tak kalah seru Komnas Ham juga ikut berkomentar perihal kemungkinan ada pelanggaran dalam kasus eksekusi Susno Duaji. Alhasil eksekusi itu sudah menjadi kegiatan yang kontra produktif. Di Indonesia momentum polisi mereformasi diri baru terjadi secara masiv tahun sembilan puluhan. Kekacauan tahun 1998 pasca lengsernya Soeharto memaksa polisi untuk berinteraksi dengan warga masyarakat. Karena saat itu polisi secara nyata telah gagal menciptakan ketertiban umum dan melindungi harta pribadi warga negara. Setahun sesudah reformasi yakni terhitung tanggal 1 April 1999 Kepolisian Republik resmi ke luar dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia . Dengan momentum itu polisi mulai terbuka bahwa  kendali pengamanan kepolisian mulai muncul dalam bentuk keterlibatan masyarakat tidak saja membantu pengamanan tetapi juga mengawasi polisi. Terjadinya serangkaian kasus bentrok warga dengan polisi tidak bisa dipungkiri, menjadikan i polisi masih dipandang masyarakat sebagai diktator dan penjaga status quo hukum bagi mereka yang kaya.
Penggunaan sumber daya yang efisien ;pengembangan strategi komprehensif untuk memastikan keamanan umum dan lingkungan bebas kejahatan; dan yang paling penting,melindungan hak-hak dan kebebasan individual dengan melaporkannya pada warganya. Ini hanya bisa dipenuhi oleh mereka yang benar-benar kompeten secara teknis. Namun demikian sasaran ini layak diperjuangkan karena sejarah dengan jelas memperlihatkan bahwa kualitas demokrasi bergantung besar pada akuntabilitas polisinya. Dalam posisi demikian maka  penangkapan Susno Duaji untuk menjalani pidana dalam kasus korupsi Pilkada Jabar 2009 sesungguhnya anugrah untuk mengembalikan fungsi utama polisi yakni menegakkan hukum dan menjaga ketertiban umum . Meski sejak 1 April 1999 Polri telah mandiri secara organisasi  namun polisi belumlah mencapai fungsi idealnya  ,yakni melakukan dua fungsi utama menegakkan hukum dan memelihara atau menjaga ketertiban umum. Dengan demikian maka sebuah keniscayaan jika Seorang purnawirawan Jendral Polisi urung dieksekusi hanya karena masalah administrasi atau salah ketik belaka. Hakim adalah manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan. Namun putusan hakim tetaplah putusan yang harus dijalankan. Sehingga perdebatan tentang putusan MA yang sudah berkekuatan hukum tetap haruslah diakhiri dan semua institusi hukum bahu membahu untuk menemukan Susno,menangkap dan memenjarakan. Jika tidak berkenan dengan putusan itu Susno bisa melakukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali atau PK. Bukan malah menghalang-halangi dan menghindari dengan berbagai dalih. Secara hukum formal jika permohonan Kasasi ditolak yang dipakai  haruslah putusan di bawahnya karena memang itu yang dimaksudkan dengan pemidanaan dalam Sistem Peradilan Pidana yang dianut di Indonesia. Karena Hakim Kasasi dalam bekerja tidaklah memeriksa kembali isi putusan. Melainkan sebagai judex juris tugas utamanya adalah menilai apakah putusan hakim di bawahnya sudah sesuai dengan aturan hukum atau tidak. Dengan penolakan Kasasi  Susno oleh Mahkamah Agung ,tentu saja harus kembali pada putusan pengadilan di bawahnya ,yakni dihukum 3,6 tahun. Jadi tidak ada yang aneh dengan putusan itu, yang ironi justru jika ada putusan peradilan tertinggi yang tidak bisa dijalankan hanya karena persoalan adminstrasi belaka.


MUHAMMAD TAUFIQ, Advokat. Dosen Pidana Univ. Muhammadiyah Surakarta. Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar