Dimuat di Harian SOLOPOS edisi Sabtu, 26 Oktober 2013
Saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KP) disibukkan pemeriksaan
sejumlah tokoh penting. Para tokoh yang berstatus tersangka itu disiapi
seragam berwarna oranye. Langkah-langkah teknis itu memang diambil
sebagai pilihan KPK untuk menjawab tudingan bahwa lembaga itu mandul
dalam menyidik sejumlah kasus korupsi skala besar seperti dana talangan
Bank Century dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Langkah KPK ini sesungguhnya bukan hal atau ide baru. Pada masa Ketua
KPK Antasari Azhar ide ini pernah akan dicoba, namun urung dilakukan
karena banyak yang menentang. Baju atau rompi warna oranye awalnya
dikenakan tersangka saat diperiksa atau di dalam tahanan. Sekarang juga
dipakaikan saat sidang.
Memakaikan seragam terhadap tersangka koruptor atau koruptor tidak
semudah orang mengenakan seragam daerah layaknya upacara bendera atau
karnaval hari jadi sebuah kota. Asas hukum pidana yang dianut secara
universal menyatakan suspect atau tersangka adalah orang yang masih memiliki hak perdata sebagaimana warga masyarakat lain.
Artinya dalam status tersangka itu belum ada hukuman tambahan yang
bisa dikenakan kepadanya sebelum majelis hakim di dalam persidangan
terbuka membuktikan kesalahannya dan menjatuhkan hukuman. Wajar bila
pada awalnya ada sebagian masyarakat yang menolak pemakaian seragam
khusus tahanan KPK karena soal seragam tahanan bukan monopoli kalangan
penegak hukum.
Masyarakat yang sangat pintar hukum sekalipun tidak bisa mengesampingkan apa yang disebut kekuatan publik atau public opinion,
sebab ia berada pada wilayah tersendiri. Opini publik bisa disebut
hukum yang hidup karena punya kekuatan memengaruhi pola pikir institusi
penegak hukum. Hal itu sejalan dengan konsensus Friedrich Auguts von
Hayek tentang masyarakat bebas sebagai sebuah catalaxy, memiliki penilaian tersendiri tentang hukum.
Kekuatan itu berada pada masyarakat yang tidak bisa ditepis oleh
komunitas hukum seperti KPK sekalipun. Masyarakat punya hak menilai
kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi. Ini sama seperti penilaian
kalangan awam soal seragam dan pemberantasan korupsi sudah tepat apa
belum. Dalam hukum formal dikenal asas presumption of innocent yang juga diadopsi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kita sebagai asas praduga tidak bersalah.
Pengenaan seragam atau baju khusus bagi koruptor harus
mempertimbangkan hal teknis hukum seperti kapan seragam itu dipakai, apa
tulisan yang boleh dicantumkan pada seragam tersebut, dan sebagainya.
Warga masyarakat mana pun boleh mendukung ide itu tak terkecuali
Indonesia CorruptionWatch (ICW). Jauh-jauh hari ICW telah menyiapkan
tidak kurang delapan contoh seragam untuk tahanan KPK.
Namun, yang mengkritik tentu saja boleh, dan pengkritik itu tidak
bisa diartikan pro koruptor. Persoalan mendasar bagi pemberantasan
korupsi di Indonesia sesungguhnya bukan pada seragam atau baju atau cara
berdandan seorang tersangka atau terdakwa. Persoalan mendasar
pemberantasan korupsi di Indonesia pada sikap dasar aparat penegak hukum
itu sendiri, khususnya perangkat KPK, seperti jaksa, hakim, dan
penyidik KPK.
Tidak bisa dimungkiri bahwa mayoritas penyidik KPK yang berasal dari
kepolisian dan kejaksaan sesungguhnya merupakan produk dari seleksi di
masa kepolisian dan kejaksaan yang korup. Alhasil banyak penanganan
kasus korupsi jalan di tempat justru oleh sikap mendua dan tebang pilih
para penyidik KPK.
Kondisi ini semakin buruk manakala eksponen KPK yang kebanyakan dari
unsur lembaga swadaya masyarakat terkesan gemar beradu opini dan mencari
dukungan lewat media massa ketimbang berupaya mengembalikan kerugian
negara dengan membuat terobosan hukum.
Terobosan hukum itu misalnya KPK mengumumkan apa yang telah disita
dari Miranda Goeltom, Nazaruddin, Nunun Nurbaety, dan lainnya. Kita
memang tidak bisa menafikan keberhasilan KPK mengungkap kekayaan Irjen
Pol. Joko Susilo yang nilai ratusan miliar rupiah itu.
Pada bagian lain tumpang tindih perekrutan hakim di Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor) yang dilakukan Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial berakibat rendahnya kualitas pemidanaan terdakwa kasus korups.
Hal ini bisa diukur dengan banyaknya koruptor yang bebas. Ini lebih
diperparah lagi dengan banyaknya hakim nonkarier Pengadilan Tipikor yang
justru tersandung kasus hukum (suap).
Pencepatan
KPK masih terkesan pandang bulu dan cari aman. Dalam kasus Bunda
Putri yang disebut banyak pihak, KPK terkesan tidak peduli. Dalam kasus
tutup buku BLBI, KPK hanya berani menyentuh Urip Tri Gunawan, sementara
Jaksa Agung Muda lainnya yang terungkap dalam persidangan ikut membantu
skenario pelarian Arthalyta Suryani alias Ayin sama sekali tidak
dijadikan tersangka hingga sekarang.
Dalam rangka pencepatan pemberantasan korupsi, tugas KPK yang utama
selain memenjarakan pelaku korupsi sesungguhnya adalah mengembalikan
harta hasil korupsi ke negara. Pasal 10 KUHP tentang sanksi tambahan
jika dimaksimalkan KPK sebenarnya cukup efektif untuk membuat malu
koruptor dan koleganya. Pasal tersebut memungkinkan KPK mengumumkan
harta negara yang dikorupsi.
Harta itu tidak saja yang dikuasai pelaku, tetapi juga yang dikuasai
menantu, anak, istri, kolega bisnis, dan mungkin juga istri simpanan
serta partai yang menaunginya. Dengan demikian, menurut hemat saya,
cara-cara sensasional yang ditempuh KPK seperti mengumumkan nama-nama
perempuan yang menerima ”bingkisan” dari Ahmad Fathonah kurang tepat.
Mengajak simpati untuk saweran dana terkait rencana pembangunan gedung baru baru KPK, tampil di beberapa acara talk show, terkesan sekadar alat mencari popularitas agar dikenal. KPK bukan tempat berkumpulnya selebritas hukum. KPK adalah lembaga superbody atau perangkat negara yang dibentuk guna mencegah korupsi, menangkap koruptor, dan mengembalikan harta koruptor ke kas negara.
Saya yakin masyarakat akan mendukung jika KPK menampilkan langkah
”berani”, yakni lewat media massa, baik cetak mapun elektronik,
mengumumkan harta para koruptor saat dia ditangkap pertama kali, saat
berstatus tersangka. Dengan cara ini keluarga dan para kroni malu karena
telah ikut menikmati harta negara yang didapat dari hasil korupsi.
Di disi lain, masyarakat dan terutama notaris akan berpikir
berkali-kali untuk mencatat pemindahan hak. Pada bagian lain ini juga
semakin memperjelas bahwa musuh KPK cuma satu, yaitu koruptor, bukan
lembaga lain. Jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bisa membuat
peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) tentang syarat
khusus hakim Mahkamah Konstitusi, tentu juga mampu membuat perpu untuk
membuat malu koruptor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar