Oleh : Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H |
Kalau
publik melihat peta politik Kota Solo, tentu harus berkaca pada perolehan kursi
partai politik dalam Pemilu 2014. Keberadaan dari PDI Perjuangan sebagai
pemenang pemilu, sukses meraup 24 kursi DPRD. Sementara Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) sukses menempatkan 5 (lima) kadernya di DPRD, walau dalam
pemilu sebelumnya hanya menempatkan 4 (empat) kader. Selanjutnya adalah Partai
Amanat Nasional (PAN) yang memperoleh 4 (empat) kursi. Begitu pula dengan
Partai Golkar yang memproleh kursi tetap, yakni 4 (empat) kursi.
Sebaliknya,
Partai Gerindra memperoleh 3 (tiga) kursi yang semuanya berwajah baru.
Begitu pula Partai Demokrat yang hanya mendapat 3 (tiga) kursi, walaupun
sebelumnya 7 (tujuh) kursi. Sedangkan Partai Hanura dan PPP, masing-masing harus
puas dengan memperoleh 1 (satu) kursi. Total 45 (empat puluh lima) kursi anggota
DPRD kota Solo ini menjadi awal sebuah peta politik menuju Pemilihan Walikota
dan wakil walikota yang rencananya pada akhir tahun 2015.
Keberadaan atas Undang-Undang
No 1 Tahun 2015 tentang Pilkada, bahwa partai politik atau gabungan partai
politik yang dapat mengajukan calon kepala daerah, minimal memiliki 20 persen
kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara. Melihat komposisi kursi DPRD kota
Solo ini, akan membuat pertarungan memperebutkan posisi bergengsi atas pasangan
Walikota dan Wakil Walikota semakin dinamis pada akhir tahun 2015 nanti.
Dinamisasi
politik menjelang pemilihan kepala daerah kota Solo tahun 2015, peta politik
maupun suhu politik di kota Solo mulai bergerak. Pada awalnya beberapa partai
politik (Parpol) sudah melakukan lobi-lobi dan negosiasi menyamakan visi misi ke
arah koalisi. Misalnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Kota Solo yang mendapat
jatah 5 kursi di Legislatif telah ada komitmen berkoalisi dengan Partai Amanat
Nasional (PAN). Adapun kekuatan politik PAN dalam Pileg 2014, PAN berhasil meraih
empat kursi di DPRD Solo.
Secara praktis,
koalisi antara PKS-PAN saja sudah sudah memenuhi sebagaimana dalam persyaratan
undang-undang untuk mengusung calon wali kota dan wakil walikota sendiri minimal
memiliki sembilan kursi atau 20% dari jumlah kursi di DPRD. Bahkan pada
akhirnya Partai Golkar, Partai Gerindra dan PPP mengikuti koalisi untuk
menghadapi Pemilihan walikota dan wakil walikota Solo 2015.
Kalkulasi koalisi
Keberadaan PDIP
sebagai kekuatan mayoritas politik, tentu menjadi pertimbangan matang. Peta
politik Kota Solo menjelang pemilihan walikota dan wakil walikota Solo semakin
panas apabila Ketua DPC PDIP Solo, F.X. Hadi Rudyatmo, benar-benar dicalonkan
menjadi calon wali kota (cawali) dari PDIP. Partai-partai non PDIP, tentu akan tambah
semangat untuk menyiapkan strategi koalisi baru demi merebut jabatan politik
“lokal” di kota Solo yang memiliki gengsi nasional.
Pertama, duel koalisi
bersama melawan PDIP. Dari 24 kursi PDIP dalam pemilu 2014 kemarin, menjadi
refleksi politik bahwa massa merah di kota Solo benar-benar kuat dan solid.
Apabila ingin mengalahkan calon dari PDIP, maka seluruh partai politik non PDIP
harus kompak dan bersatu. Egoisme politik dari masing-masing partai harus
dikesampingkan dan kompak bersama mencalonkan figur kuat yang mampu menandingi
calon dari PDIP. Politik saling berhadapan ini akan membuat suhu politik kota
Solo semakin seru.
Kedua, duel
Koalisi Merah Putih (KMP) versus Koalisi Indonesia Hebat (KIH) ala kota Solo.
Bila duel antara KMP versus KIH ala kota Solo terjadi, bukan tidak mungkin peta
politik tak kalah seru. Kekuatan politik Hanura yang bergabung ke KIH, akan
menambah energi politik PDIP untuk bisa kembali merebut kekuasaan politik di
kota Solo. Dalam hal ini, pertarungan politik juga terjadi secara face to face antara KMP versus KIH ala
kota Solo.
Ketiga,
pertarungan politik dengan tiga pasangan calon. Kepentingan politik yang
pragmatis akan membuat elite politik berpikir sesaat. Koalisi ideologis tidak
akan tercapai dan hanya menjadi pepesan kosong. Partai-partai politik hanya
berlomba-lomba menawarkan kendaraan politik bagi siapapun asalkan mau mengisi
pundi-pundi politik. Apabila pragmatisme politik ini terjadi, maka pertarungan
politik tiga pasang calon akan terwujud dan hanya akan menjadi sandiwara
politik di kota Solo. Untungnya, partai-partai tersebut sadar dan mampu
mengesampingkan ego sektoralnya dengan membentuk Koalisi Solo Bersama.
Insting Politik
Oleh karena itu,
siapapun yang ingin maju dalam pemilihan walikota dan wakil walikota Solo 2015
harus cerdas secara politik. Geopolitik kota Solo berbeda dengan geopolitik
kota lain di Solo Raya. Kekuatan finansial memang memegang peran penting dalam
operasional politik ke depannya. Namun demikian, kelihaian para calon yang
ingin maju dan bertarung dalam merebut kepemimpinan kota Solo 2015 harus sadar
diri terhadap situasi politik nasional saat ini hingga sejarah politik kota
Solo yang penuh dengan fluktuasi gerakan.
Tentu saja, keunikan
kota Solo harus dipandang beda dalam perspektif politik. Keberadaan sistem
kepartaian yang kotemporer mampu merefleksikan diri atas kecenderungan partai
dalam menempatkan posisinya sebagai agency
di dalam masyarakat yang terlibat dalam logika kontestasi kekuasaan (Kitschelt,
1989). Logika partai politik di Kota Solo mampu memberikan peta jalan partai
untuk hadir di tengah pemilih melalui dalam wajah (akar rumput dan kursi
legislatif) maupun siasat partai dalam kompetisi pemilu dan pilkada.
Kekuatan penguasa
politik di kota Solo saat ini tak lepas dari rentang kendali partai politik
mayoritas. Para elite politik di kota Solo berhasil dalam mengelola partai,
sistem organisasi, kaderisasi, ideologi hingga mainstream programatik partai politiknya. Elite politik penguasa kota
Solo mampu menyakinkan rakyat bahwa partai yang dibangun melalui sistem modern
akan memenangkan hati dan pikiran pemilih.
Meskipun
demikian, penulis masih percaya bahwa pembilahan historis terhadap aliran
ideologi politik dalam konfigurasi Nasionalisme (maupun Marxisme) dan Islamisme
di kota Solo cukup terasa sekaligus bergeser secara fundamental. Partai politik
kota Solo ternyata menunjukkan melemahnya partai yang berbasis agama non Islam seperti
Partai Damai Sejahtera, tetapi justru menguat pada basis Islam (PKS, PAN, PPP).
Meskipun demikian, partai politik yang beraliran nasionalisme seperti PDI
Perjuangan dan Gerindra justru mengalami kenaikan yang signifikan.
Dalam konstelasi
politik di kota Solo tentu harus memiliki pijakan kuat sebelum menegaskan diri
untuk maju sebagai calon walikota maupun calon wakil walikota. Logika politik
verbal hanya menjadi bahan olok-olokan karena hasilnya pasti jauh dari yang
diharapkan. Insting politik lokal kota Solo harus menjadi garda terdepan
mengingat kota Solo memiliki varian gerakan yang seringkali berkelindan lincah
tanpa kita sadari. Kalau sudah yakin dengan insting kemenangan politik, langkah
selanjutnya adalah nyalon walikota Solo!
Dimuat pada Harian SOLOPOS, Senin 20 April 2015