WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Selasa, 21 April 2015

Ayo Nyalon Walikota Solo!

Kalau publik melihat peta politik Kota Solo, tentu harus berkaca pada perolehan kursi partai politik dalam Pemilu 2014. Keberadaan dari PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu, sukses meraup 24 kursi DPRD. Sementara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sukses menempatkan 5 (lima) kadernya di DPRD, walau dalam pemilu sebelumnya hanya menempatkan 4 (empat) kader. Selanjutnya adalah Partai Amanat Nasional (PAN) yang memperoleh 4 (empat) kursi. Begitu pula dengan Partai Golkar yang memproleh kursi tetap, yakni 4 (empat) kursi.
Sebaliknya, Partai Gerindra memperoleh 3 (tiga) kursi yang semuanya berwajah baru.  Begitu pula Partai Demokrat yang hanya mendapat 3 (tiga) kursi, walaupun sebelumnya 7 (tujuh) kursi. Sedangkan Partai Hanura dan PPP, masing-masing harus puas dengan memperoleh 1 (satu) kursi. Total 45 (empat puluh lima) kursi anggota DPRD kota Solo ini menjadi awal sebuah peta politik menuju Pemilihan Walikota dan wakil walikota yang rencananya pada akhir tahun 2015.
Keberadaan atas Undang-Undang No 1 Tahun 2015 tentang Pilkada, bahwa partai politik atau gabungan partai politik yang dapat mengajukan calon kepala daerah, minimal memiliki 20 persen kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara. Melihat komposisi kursi DPRD kota Solo ini, akan membuat pertarungan memperebutkan posisi bergengsi atas pasangan Walikota dan Wakil Walikota semakin dinamis pada akhir tahun 2015 nanti.
Dinamisasi politik menjelang pemilihan kepala daerah kota Solo tahun 2015, peta politik maupun suhu politik di kota Solo mulai bergerak. Pada awalnya beberapa partai politik (Parpol) sudah melakukan lobi-lobi dan negosiasi menyamakan visi misi ke arah koalisi. Misalnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Kota Solo yang mendapat jatah 5 kursi di Legislatif telah ada komitmen berkoalisi dengan Partai Amanat Nasional (PAN). Adapun kekuatan politik PAN dalam Pileg 2014, PAN berhasil meraih empat kursi di DPRD Solo.
Secara praktis, koalisi antara PKS-PAN saja sudah sudah memenuhi sebagaimana dalam persyaratan undang-undang untuk mengusung calon wali kota dan wakil walikota sendiri minimal memiliki sembilan kursi atau 20% dari jumlah kursi di DPRD. Bahkan pada akhirnya Partai Golkar, Partai Gerindra dan PPP mengikuti koalisi untuk menghadapi Pemilihan walikota dan wakil walikota Solo 2015.
Kalkulasi koalisi
Keberadaan PDIP sebagai kekuatan mayoritas politik, tentu menjadi pertimbangan matang. Peta politik Kota Solo menjelang pemilihan walikota dan wakil walikota Solo semakin panas apabila Ketua DPC PDIP Solo, F.X. Hadi Rudyatmo, benar-benar dicalonkan menjadi calon wali kota (cawali) dari PDIP. Partai-partai non PDIP, tentu akan tambah semangat untuk menyiapkan strategi koalisi baru demi merebut jabatan politik “lokal” di kota Solo yang memiliki gengsi nasional.
Pertama, duel koalisi bersama melawan PDIP. Dari 24 kursi PDIP dalam pemilu 2014 kemarin, menjadi refleksi politik bahwa massa merah di kota Solo benar-benar kuat dan solid. Apabila ingin mengalahkan calon dari PDIP, maka seluruh partai politik non PDIP harus kompak dan bersatu. Egoisme politik dari masing-masing partai harus dikesampingkan dan kompak bersama mencalonkan figur kuat yang mampu menandingi calon dari PDIP. Politik saling berhadapan ini akan membuat suhu politik kota Solo semakin seru.
Kedua, duel Koalisi Merah Putih (KMP) versus Koalisi Indonesia Hebat (KIH) ala kota Solo. Bila duel antara KMP versus KIH ala kota Solo terjadi, bukan tidak mungkin peta politik tak kalah seru. Kekuatan politik Hanura yang bergabung ke KIH, akan menambah energi politik PDIP untuk bisa kembali merebut kekuasaan politik di kota Solo. Dalam hal ini, pertarungan politik juga terjadi secara face to face antara KMP versus KIH ala kota Solo.
Ketiga, pertarungan politik dengan tiga pasangan calon. Kepentingan politik yang pragmatis akan membuat elite politik berpikir sesaat. Koalisi ideologis tidak akan tercapai dan hanya menjadi pepesan kosong. Partai-partai politik hanya berlomba-lomba menawarkan kendaraan politik bagi siapapun asalkan mau mengisi pundi-pundi politik. Apabila pragmatisme politik ini terjadi, maka pertarungan politik tiga pasang calon akan terwujud dan hanya akan menjadi sandiwara politik di kota Solo. Untungnya, partai-partai tersebut sadar dan mampu mengesampingkan ego sektoralnya dengan membentuk Koalisi Solo Bersama.
Insting Politik
Oleh karena itu, siapapun yang ingin maju dalam pemilihan walikota dan wakil walikota Solo 2015 harus cerdas secara politik. Geopolitik kota Solo berbeda dengan geopolitik kota lain di Solo Raya. Kekuatan finansial memang memegang peran penting dalam operasional politik ke depannya. Namun demikian, kelihaian para calon yang ingin maju dan bertarung dalam merebut kepemimpinan kota Solo 2015 harus sadar diri terhadap situasi politik nasional saat ini hingga sejarah politik kota Solo yang penuh dengan fluktuasi gerakan.
Tentu saja, keunikan kota Solo harus dipandang beda dalam perspektif politik. Keberadaan sistem kepartaian yang kotemporer mampu merefleksikan diri atas kecenderungan partai dalam menempatkan posisinya sebagai agency di dalam masyarakat yang terlibat dalam logika kontestasi kekuasaan (Kitschelt, 1989). Logika partai politik di Kota Solo mampu memberikan peta jalan partai untuk hadir di tengah pemilih melalui dalam wajah (akar rumput dan kursi legislatif) maupun siasat partai dalam kompetisi pemilu dan pilkada.
Kekuatan penguasa politik di kota Solo saat ini tak lepas dari rentang kendali partai politik mayoritas. Para elite politik di kota Solo berhasil dalam mengelola partai, sistem organisasi, kaderisasi, ideologi hingga mainstream programatik partai politiknya. Elite politik penguasa kota Solo mampu menyakinkan rakyat bahwa partai yang dibangun melalui sistem modern akan memenangkan hati dan pikiran pemilih.
Meskipun demikian, penulis masih percaya bahwa pembilahan historis terhadap aliran ideologi politik dalam konfigurasi Nasionalisme (maupun Marxisme) dan Islamisme di kota Solo cukup terasa sekaligus bergeser secara fundamental. Partai politik kota Solo ternyata menunjukkan melemahnya partai yang berbasis agama non Islam seperti Partai Damai Sejahtera, tetapi justru menguat pada basis Islam (PKS, PAN, PPP). Meskipun demikian, partai politik yang beraliran nasionalisme seperti PDI Perjuangan dan Gerindra justru mengalami kenaikan yang signifikan.
Dalam konstelasi politik di kota Solo tentu harus memiliki pijakan kuat sebelum menegaskan diri untuk maju sebagai calon walikota maupun calon wakil walikota. Logika politik verbal hanya menjadi bahan olok-olokan karena hasilnya pasti jauh dari yang diharapkan. Insting politik lokal kota Solo harus menjadi garda terdepan mengingat kota Solo memiliki varian gerakan yang seringkali berkelindan lincah tanpa kita sadari. Kalau sudah yakin dengan insting kemenangan politik, langkah selanjutnya adalah nyalon walikota Solo!
Dimuat pada Harian SOLOPOS, Senin 20 April 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar