WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Kamis, 19 April 2018

HUKUMAN MATI DAN DIPLOMASI INDONESIA DI LUAR NEGERI


Oleh : Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H*
Kembali dirundung kedukaan dengan kematian tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Bangkalan Madura, Muhammad Zaini Misri Arsyad alias Slamet (53 tahun) yang dihukum pancung di Arab saudi pada hari Minggu 18 Maret 2018 kian menambah daftar pajang TKI yang menjadi korban lemahnya diplomasi negara ini. Walaupun Slamet dihukum sesuai dengan aturan hukum Arab Saudi. Namun, pelaksanaan hukuman mati tersebut tidak ada pemberitahuan dari Pemerintah Arab Saudi kepada Pemerintah Indonesia dan Keluarga Slamet dan dengan mengesampingkan fakta bahwa PK baru berjalan. Artinya lobby pemerintah Republik Indonesia hanya dilihat sebelah mata.
Hukum, meskipun memuat aturan yang tidak boleh, tetapi esensi dari aturan sesungguhnya memiliki tujuan, entah terlaksana atau tidak. Tujuan adanya hukum, yakni membuat hidup lebih mudah, aman, nyaman dan bahagia. Donal Black penulis buku The Behavior of Law mengatakan, jika norma melarang berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, tujuannya dimaksudkan untuk kepentingan orang lain pula. Hukum boleh memaksa agar seseorang melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Bahkan secara ekstrem hukum bisa merampas dan menghilangkan nyawa seseorang. Dan peristiwa itulah yang kerap menimpa WNI terutama yang berada di luar negeri, termasuk sekarang menimpa Slamet.
Kasus Slamet hanyalah gunung es, karena masih ada nyawa 167 WNI yang menjadi TKI yang  terancam. Dua diantaranya Tuty Tursilawati (39 Tahun) dan Eti binti Toyib (38 Tahun) yang keduanya asal Majalengka Jawa Barat yang hanya menunggu eksekusi mati setelah ditetapkan bersalah dalam kasus pembunuhan di Arab Saudi.
Bagi masyarakat kita, dalam keadaan normal, tiada perang atau bencana besar hukum selalu berkaitan dengan undang-undang yakni aturan dan peraturan. Donal Black mengemukakan definisi yang ringkas, bahwa hukum diartikan sebagai kontrol sosial pemerintah kepada warga negara. Kontrol sosial diartikan sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba mendorong perilaku yang baik dan berguna dan mencegah perilaku yang buruk. Sistem peradilan pidana kita jelas mengarah kepada pemahaman yang dimaksud. Semua aturan dalam tingkatan apapun sesungguhnya memiliki maksud atau pedoman bagaimana cara berperilaku. Perubahan dalam masyarakat hukum yang beradab hanya dapat terjadi bila dilakukan teratur, rapi dan terpola. Dan tidak ada yang seperti lampu schock light.
Dalam paradigma lama ditekankan bahwa hukum adalah apa yang diatur dalam undang-undang dan peran hakim sebagai corong perkataan undang-undang semata (letterkenechten der wet) demi terciptanya kepastian hukum. Sedangkan dalam paradigma baru yang digunakan oleh aliran sociological jurisprudence dan legal realism ditekankan bahwa undang-undang harus disesuaikan dengan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat. Peran hakim pun tidak boleh menjadi terompet undang-undang saja, tetapi harus mampu merespons perkembangan dalam masyarakat.
Arab Saudi Berpaham Hukum Progresif
Indonesia sebagai bangsa yang besar dan memiliki problem yang begitu banyak, membuat kita terlena untuk melakukan tentang pembaruan hukum, dimulai dari hal paling kecil yakni memperbaiki prasyarat kerja agar WNI yang menjadi TKI atau TKW (mereka disebut pahlawan devisa) dibekali pengetahuan cukup tentang budaya dan perilaku negara yang dituju. Dalam banyak kasus, hukum di Negara Arab Saudi seperti hukum pancung sesungguhnya bisa dikategorikan sebagai hukum modern atau progresif. Hal itu karena hukum di sana melibatkan pihak ketiga yakni, keluarga korban, dan keluarga pelaku. Artinya, dalam kondisi tertentu tekanan pada perasaan atau kesadaran hukum rakyat yang berlawanan dengan aksara mati (hukum tertulis) pada undang-undang dan preseden yang tampak sesungguhnya bisa dimainkan, termasuk pada hukuman mati baik di Arab Saudi maupun di Malaysia. Yang sering kita sebut teori Sosiologi modern dan free law theory. Karena masih ada celah keterlibatan pihak ketiga, yakni keluarga, pelaku, dan korban bisa melakukan negosiasi, bukan monopoli negara.
Hukum tidaklah mempunyai daya laku atau penerapan yang universal. Tiap bangsa mengembangkan kebiasaan hukumnya sendiri sebagaimana yang mereka lakukan dalam bidang bahasa, tingkah laku dan konstitusi. Namun kedua-duanya tidak bisa diterapkan kepada bangsa-bangsa dan negeri lain. Di sinilah susungguhnya peran ahli hukum Indonesia diperlukan, bukan sekadar seminar atau demo seperti selama ini.
Hukum yang mulai tumbuh sebagai hubungan hukum yang sudah dipahami dalam masyarakat primitif ke arah hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern, menyebabkan kesadaran hukum rakyat tak dapat lagi menjelma secara langsung (lewat demo atau aksi mogok makan), tetapi diwakili oleh sarjana hukum, yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis. Dengan demikian sarjana hukum tetap merupakan alat kesadaran rakyat yang bertugas untuk memberikan bentuk dari bahan-bahan mentah yang didapatnya. Pembentukan undang-undang adalah hal yang terakhir, oleh karena itu para sarjana hukum secara relatif merupakan sarana pembentuk hukum yang lebih penting atau berperan daripada pembuat undang-undang.
Kunci akhirnya memang problem hukum yang menimpa TKI/TKW sudah muncul dari Tanah Air. Ketiadaan aturan yang memproteksi mereka, ketiadaan back up data tentang hukum di negara tujuan, telah menyebabkan kita selalu kalah dan gagal membela Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri. Dan akan selalu berulang sebab daftar panjang eksekusi mati telah menanti
Solo, 20 Maret 2018
*Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H
Kepala Program Studi Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Djuanda Bogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar