Senin, 13 Januari 2025
Pendapat Hukum atas Peristiwa Tindak Pidana Korupsi dalam Pengadaan Tanah oleh Oknum Kepala BPN
A. KRONOLOGI / DUDUK PERKARA
1. Bahwa Pembangunan Proyek Strategis Nasional Bendungan Margatiga T.A 2020-2022 terdiri dari dua tahap yaitu:
I. Pembahasan Tahap ke I
Meliputi 3 (tiga) desa yang sudah berjalan lancar sampai dengan pembayaran ganti kerugian dengan segala tahapannya, dan telah selesai dilaksanakan Pembebasan Tahap II Meliputi 2 (dua) kecamatan, yaitu kecematan sekampung dan kecematan Batanghari yang mana proses pembebasan didasarkan pada penetapan lokasi gubernur lampung pada tanggal 20 Januari 2020 ;
2. Bahwa pelaksanaan kegiatan untuk tahap II didasarkan pada Penetapan Lokasi Gubernur Lampung Nomor:G/18/B.06/HK/2020;
3. Bahwa berdasarkan Surat Keputusan Nomor: 80/Kep-18.500/PT/III/2020 yang di keluarkan oleh Gubenrnur Lampung untuk menugaskan kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Lampung sebagai Ketua Pelaksana pengadaan Tanah Proyek Strategis Nasional Bendungan Margatiga T.A 2020-2022
4. Bahwa kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Lampung menunjuk Kepala Kantor BPN Lampung Timur sebgai Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah Bendungan Margatiga.
5. Bahwa setelah penunjukan Ketua Pelaksana berdasarkan Surat Keputusan selanjutnya kepala Badan Pertanahan Nasional Lampung Timur selaku ketua Pelaksana melakukan konsolidasi internal.
6. Bahwa setelah di lakukannya konsolidasi maka Ketua Pelaksan membentuk Susunan Keanggotaan Pelaksana dan Sekretariat Pengadaan untuk Pembangunan Bendungan Margatiga berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kantor Badan Pertanahan lampung Timur selaku Ketua Pelaksana dengan Nomor:54/SK-18.07.AT.02.03/VII/2020
7. Bahwa setelah itu Kepala Kantor BPN bapak TERSANGKA (AR) selaku ketua Pelaksana melaporkan kepada Bupati Lampung Timur terkait kegiatan tersebut, sekaligus berkoordinasi untuk meminta personil kepada dinas-dinas terkait, Bahwa selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Timur bapak TERSANGKA (AR) bersurat resmi kepada dinas-dinas terkait antara lain, Dinas Pertanian, Perkebunan, Perikanan, PUPR, Balai Pemangku Kawasan Hutan, Forkopimda didalamnya ada Bupati, Kapolres, Dandim, Kajari, Forkopimcam didalamnya ada Camat, Kapolsek, Danramil dan Kepala Desa yang terkena dampak untuk meminta bantuan personil;
8. Bahwa selanjutnya dinas-dinas terkait maupun forkompimda dan forkompicam menjawab surat tersebut serta melampirkan nama-nama personil untuk membantu Pelaksanaan Pengadadaan Tanah Pembangunan Bendungan Maragatiga
9. Bahwa selanjutnya Kepala BPN/Ketua Pelaksana Bpk. TERSANGKA (AR) membentuk Satuan Tugas (SATGAS) terdiri dari SATGAS A dan SATGAS B dan Kesekretariatan sesuai dengan Surat Keputusan Nomor:55/SK-18.07.AT.02.03/VIII/2020
10. Bahwa keanggotaan (SATGAS A) diperuntukkan seluruh pegawai internal Kantor Pertanahan yang ditugaskan melaksankan kegiatan pengukuran dilapangan tanda batas yang dipasang oleh para pemilik tanah/lahan, sementara keanggotaan SATGAS B terdiri dari nama-nama yang telah diusulkan oleh dinas-dinas terkait, Forkompimda, Forkopimcam dan kepala desa yang terdampak;
11. Bahwa setelah pembentukan Satuan Tugas, selanjutnya Ketua Pelaksana Pengadaan menginformasikan kepala desa agar mengundang masyarakat yang kena dampak dari pengadaan tersebut agar dilakukan sosialisasi/penyuluhan terkait dengan hak dan kewajibannya dalam pelaksanan inventarisasi dan identifikasi lapangan, berdasarkan Surat Nomor:356/UND-AT.02.02.18.07/III/2021
12. Bahwa sebelum dilakukan kegiatan inventarisasi dan indentifikasi kepala kantor pertanahan nasional provinsi lampung beserta kepala bidang dan kepala kantor pertanahan lampung timur melakukan rapat koordinasi kepada seluruh Satuan Tugas yaitu SATGAS A dan SATGAS B tentang mekanisme pengambilan data dilapangan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing dinas, sekaligus penandatanganan Fakta Integritas kepada seluruh Satuan Tugas agar bekerja sesuai ketentuan yang berlaku
13. Bahwa sebelum SATGAS menuju lapangan untuk memverifikasi dan menginventarisasi, kepala Kantor Pertanahan lampung Timur Kembali memberikan arahan terkait dengan pengambilan data-data lapangan dengan berpedoman pada penetapan lokasi bahwa segala bentuk peralihan dan kegiatan dilapangan tidak diperkenankan dilaksanakan setelah penetapan lokasi;
14. Bahwa pada saat pengukuran bidang tanah dan pengambilan data tanam tumbuh dan bangunan semua berjalan lancar, dan setiap SATGAS melakukan tugas dan fungsinya masing-masing secara bersama-sama sampai dengan perampungan daftar nominatif, hal tersebut sesuai dengan tugas SATGAS A sesuai dengan Pasal 60 ayat 1 dan Tugas SATGAS B sesuai dengan Pasal 61 PP Nomor 19 Tahun 2021
15. Bahwa setelah daftar nominatif selesai di input, maka Badan Pertanahan Nasional mengumumkan data hasil identifikasi dan invetarisasi di Kantor Dusun, Kantor Desa dan Kantor Kecamatan, dengan tujuan agar masyarakat dapat melihat data yang tercantum dalam daftar nominatif dan peta bidang, yang mana selama 14 hari kerja masa pengumuman bagi masyarakat yang ingin menyanggah data luasan dan tanam tumbuh serta bangunan apabila terdapat kekeliruan pada saat pengambilan data dilapangan sesuai Surat Sanggahan Daftar Nominatif Nomor:140/059/05.2004/VIII/2021
16. Bahwa dikarenakan banyak temuan data yang tidak sesuai dengan daftar nominatif, maka pihak KJPP meminta difasilitasi untuk bertemu dengan dinas-dinas terkait guna memperbaiki data, antara data nominatif dengan data hasil inspeksi dari KJPP, maka kepala seksi pengadaan tanah menghubungi dinas-dinas terkait untuk hadir dikantor Badan Pertanahan Nasional untuk menyesuaikan data nominatif dengan data hasil inspeksi dari KJPP
17. Bahwa terkait dengan Penilaian data nominatif yang dilakukan oleh KJPP sebagai penilai publik, maka sesuai prosedur yang berlaku Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) yang mempunyai kewenangan melakukan serangakain lelang untuk menentukan KJPP mana yang berhak melakukan penilaian, selanjutnya KJPP yang dinyatakan menang dalam proses lelang tersebut, dirokemendasi Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) kepada Ketua Pelaksana untuk dilakukan penetapan SK KJPP;
18. Bahwa terkait temuan data yang tidak sesuai Daftar Nominatif selanjutnya Ketua Pelaksana/Kepala BPN menugaskan kembali Satgas B untuk Melakukan Infentarisasi dan identifikasi ulang ke lapangan;
19. Bahwa setelah dinas terkait (Satgas B) melakukan infentarisasi dan identifikasi ulang, maka hasilnya di input dalam data Nominatif yang selanjutnya daftar nomionatif tersebut di serahkan kepada KJPP untuk di lakukan inpeksi di lapangan, dan hasil infentarisasi dan indentifikasi ulang oleh Satgas B, setelah dilakukan pemeriksaan ulang terdapat tanam tumbuh yang di indikasikan overload oleh KJPP dan dinas terkait, dengan ilmu dan metode yang dimiliki oleh dinas terkait maka daftar nominatif yang ada diperbaiki dengan melihat luas tanah dan tanam tumbuh yang ada, maka dibuatkalah daftar nominatif final untuk dilakukan pembayaran ganti kerugian
20. Bahwa dari hasil daftar nominatif tersebut selanjutnya dilakukan penilaian dan pemaparan oleh KJPP dihadapan Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah dan Instansi yang memerlukan tanah terkait Teknik penilaian dan hasil penilaiannya;
21. Bahwa setelah dilakukan penilaian oleh KJPP selanjutnya KJPP membuat resume penilaian masing-masing pemilik tanah terkait besaran nilai ganti rugi yang akan diterima oleh para pemilik tanah
22. Bahwa setelah itu Kepala BPN selaku ketua pelaksana pengadaan tanah mengusulkan hasil dari penilaian dari KJPP kepada Kementrian PUPR melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Mesuji sekampung untuk membayarkan kepada para pemilik tanah dan BBWS meneruskan kepada Lembaga Manejeman Aset Negara (LMAN) untuk meneruskan pembayaran dibank persepsi yang telah di tunjuk yaitu BRI Cabang Kota Metro Lampung
23. Bahwa dalam hal perbaikan data nominatif tersebut secara formal KJPP tidak melakukan pemberitahuan resmi kepada Kepala Kantor BPN sehingga dalam perbaikan tersebut tidak dibuatkan berita acara terhadap data-data yang berubah, namun pada prinsipnya data yang dilakukan perbaikan sesuai dengan kaidah-kaidah dan di peroleh data yang final;
24. Bahwa dalam rapat perbaikan data nominatif antara Satgas B eksternal dan KJPP selain tidak dibuatkan berita acara, adapun tidak di buatkan daftar hadir dalam acara rapat tersebut;
25. Bahwa KJPP mengklaim telah membuat surat resmi ke Kantor BPN akan tetapi di register surat dimaksud tidak diketahui keberadaannya baik hard copy maupun E Office nya, namun awal bulan februari 2023 diketahui bahwa KJPP pernah berkirim surat via WA kepada staf BPN yang Bernama Sdr. Dwi dan baru diketahui melalui kepala seksi pengadaan tanah dan pengembangan yaitu Sdr. Alandes;
26. Bahwa berjalannya waktu pembayaran ganti kerugian, terdapat kabar/berita tentang operasi tangkap tangan dari Polres Lampung Timur kepada pihak dari dinas terkait dengan masyarakat penerima ganti kerugian tentang bagi-bagi keuntungan dari hasil penerimaan uang ganti rugi yang telah disepakati oleh kedua belah pihak;
27. Setelah itu Polres Lampung Timur mengungkap pihak yang diduga oknum dari dinas terkait untuk dilakukan pemeriksaan, namun dilepaskan Kembali dan sejak saat itu sampai sekarang Polres Lampung Timur memeriksa semua warga desa dan semua satgas yang terlibat dalam proses pendataan bendungan margatiga dan Pada bulan Januari 2023 kasus tersebut telah limpahkan kepada Polda Lampung untuk dilanjutkan ketahap Penyelidikan;
28. Bahwa dalam perkara adanya dugaan tindak pidana korupsi pada pengadaan tanah pembangunan bendungan margatiga pyang diduga oleh kepolisian polres lampung adalah terkait dengan tanam tumbuh musiman yang menurut pihak kepolisian tidak seharusnya dibayarkan, hal ini didasarkan pada audit dari BPKP RI;
29. Bahwa selain persoalan ganti kerugian tanam tumbuh musiman yang menjadi pokok perkara, Adapun permasalahan status Satgas yang tidak berstertifikasi yang dipersoalkan pula oleh pihak kepolisian;
B. POKOK PERMASALAHAN
Berdasarkan pada kronologi yang telah dipaparkan di atas, maka dengan ini dapat di uraikan mengenai pokok permasalahannya, yaitu :
1. Bagaimana pelaksanaan Pembangunan Proyek Strategis Nasional Bendungan Margatiga T.A 2020-2022 yang di ketuai oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Lampung Timur di tinjau dari Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Tanah Bagi Kepentingan Umum?
2. Bagaimana Penerapan UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi terhadap pelaksanaan Pembangunan Proyek Strategis Nasional Bendungan Margatiga T.A 2020-2022 yang di ketuai oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Lampung Timur ?
3. Apakah penetapan tersangka kepada TERSANGKA (AR) dalam perkara a quo merupakan suatu Tindakan yang tepat ?
4. Bagaimanakah implementasi konsep hukum formal dan konsep hukum material dalam perkara a quo seharusnya dapat diterapkan ?
C. DASAR HUKUM
Dalam menganalisa pokok permasalahan dan fakta-fakta hukum tersebut di atas, maka landasan hukum yang dapat digunakan dalam menjawab pemasalahan ini adalah :
1. UU RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
3. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Tanah Bagi Kepentingan Umum.
D. ANALISA HUKUM
Berdasarkan pokok permasalahan, fakta hukum dan dasar hukum yang sudah dipaparkan dan diuraikan di atas, maka dapat dianalisa sebagai berikut :
Konsep Hukum Materiil dan Formil dalam Tindak Pidana Korupsi
A. Korupsi dalam Konsep Hukum Formil
Hukum Formil adalah hukum yang ditetapkan untuk mempertahankan atau melaksanakan hukum materiil, dalam arti formlanya disebut sebagai hukum acara,
Ajaran formil menitikberatkan pada pemenuhan unsur-unsur hukum yang secara eksplisit diatur dalam undang-undang. Unsur-unsur ini meliputi elemen-elemen seperti Tindakan melawan hukum, identitas pelaku, serta adanya niat jahat (mens rea) yang harus dipenuhi untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana. Dengan kata lain, ajaran formil berfungsi sebagai mekanisme untuk memastikan bahwa penegakan hukum dilakukan berdasarkan aturan tertulis yang jelas dengan penerapan standar objektif untuk menjaga kepastian hukum.
Tindak Pidana Korupsi merupakan extra ordinary crime yang menjadikan penanggulangannya memerlukan cara-cara yang luar biasa, sehingga apabila hanya mengandalkan KUHAP saja maka penegakannya tidak akan efektif, oleh karena itu dalam perundang-undangan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi juga diatur tentang beberapa ketentuan acara yang diperlukan agar lebih efektifnya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.
a. Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Terbalik di dalamnya
Pembuktian Terbalik merupakan pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa, yang mempunyai arti terdakwa telah dianggap melakukan tindak pidana korupsi kecuali yang bersangkutan mampu membuktikan yang sebaliknya. Tindak pidana korupsi dalam hal ini terjadi secara sistematis dan meluas sehingga pemberantasanya harus dilakukan dengan cara khusus salah satunya yaitu dengan menerapkan “sistem pembuktian terbalik”.
Pembuktian terbalik dalam hal ini mempunyai konsekuensi dimana kepada terdakwa diberikan hak untuk membuktikan apabila ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, sehingga dengan demikian tercipta suatu keseimbangan atas pelanggaran asas praduga tak bersalah dan menyalahkan diri sendiri dengan perlindungan hukum yang wajib diberikan kepada setiap orang.
Bahwa dalam kata lain didapatlah pengertian dalam ajaran formil apabila suatu perbuatan telah mencocoki larangan undang-undnag, maka di situ telah ada suatu Tindakan melawan hukum. Sehingga letak melawan hukum perbuatan sudah nyata, dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang, kecuali jika termasuk dalam pengecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang, sehingga ajaran pendirian sedemikian rupa dinamakan pendirian yang formil.
Dalam ajaran formil sifat melawan hukum tidak selalu menjadi unsur dalam perbuatan tindak pidana, melainkan hanya jika itu nyata-nyata disebutkan dalam rumusan delik, baru dapat dianggap menjadi unsur rumusan delik.
Bahwa dalam perkara a quo sebagaimana diketahui dalam fakta hukumnya terdapat temuan fakta apabila terdapat beberapa nama-nama atau pihak yang belum diperiksa atau bahkan tidak periksa padahal dalam perkara a quo pihak – pihak tersebut merupakan pihak- pihak yang mempunyai tugas dan wewenang yang saling berkaitan seperti Satgas B, dengan adanya proyek tersebut, dalam ajaran formil tersbeut menurut ahli sebaiknya sebelum adanya pemeriksaan tersangka atau adanya penetapan tersangka dilakukan pemeriksaan lanjutan terhadap seluruh Satgas B agar terang perkaranya.
Bahwa kemudian terdapat fakta juga apabila tersangka dalam BAP nya belum ditanya apakah menghendaki didengarnya saksi yang dapat menguntungkanya sebagaimana dalam Pasal 116 ayat (3) KUHAP, menurut ahli hal ini sebaiknya dan sudah sepatutnya ditanyakan oleh penyidik guna pemenuhan hak tersangka dalam KUHAP, agar dapatlah digunakan BAP sebagai alat bukti.
Bahwa sehingga dalam perkara a quo pemenuhan unsur formil dalam Tindak Pidana Korupsi yang disangkakan kepada tersangka dapatlah dibuktikan apabila perbuatan tersebut benar-benar telah melawan undang-undang.
b. Perluasan alat bukti
Perluasan alat bukti dalam hal ini mempunyai maksud mendukung sistem pembuktian terbalik. Mengacu kepada paragraph empat penjelasan umum UU No. 20 Tahun 2001 menjelaskan bahwa perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti berupa petunjuk selain yang diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa (sebagaimana diatur dalam Pasal 188 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP), juga menurut Pasal 26 A UU No. 20 Tahun 2001 diperoleh dari alat bukti lain yang berupa:
1) Alat bukti yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu,
2) Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Bahwa atas penjelasan diatas dalam perkara a quo sebagaiamana guna mendapatkan kepastian hukum mengenai kebenaran penetapan tersangka dan kebenaran Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan maka diperlukannya perluasan alat bukti sebagaimana diajarkan dalam konsep hukum formal.
Bahwa dalam perkara a quo melihat melalui konsep ajaran hukum formil perluasan alat bukti sangatlah dibutuhkan guna mengungkap kebenaran yang ada, dengan menambahkan BAP kepada keseluruhan para pihak yang terlibat akan menjadikan lebih teranngnya suatu perkara terlebih dalam perkara a quo mengenai Tindak pidana korupsi, juga memberikan jaminan hak kepada tersangka untuk membela dirinya dan membuktikan bahwa dirinya tidaklah bersalah demi keadilan.
B. Korupsi dalam konsep hukum Materill
Perbuatan Korupsi dalam konsep hukum materill memiliki arti yaitu perbuatan yang diatur dalam undang-undang tentang korupsi itu sendiri atau perbuatan yang dirumuskan dalam suati undang-undnag yang ditetapkan oleh pemerintahan yang isinya
Tentang perbuatan yang disebut dengan korupsi, sehingga dalam konsep hukum materill disini memiliki makna dalam tindak pidana korupsi yaitu barang siapa yang menyalahi ketentuan dari makna yang dirumuskan dalam perundang-undangan itu berarti telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Sifat melawan hukum materill menurut Schaffmeiter et, al, yang diterjemahkan oleh Sahetapy adalah :
Bahwa melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik tertentu. Artinya bahwa perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Bahwa sifat melawan hukum materiil mengedepankan perspektif yang lebih luas dalam menilai apakah suatu Tindakan dianggap melawan hukum . Berbeda dengan pendekatan formil, ajaran ini tidak hanya bergantung pada apa yang secara eksplisit tertulis dalam undang-undang, tetapi juga mempertimbangkan keberadaan asas-asas hukum yang tidak tertulis namun berlaku dalam praktik hukum. Pendekatan materill ini mengakui bahwa hukum tidak semata-mata terikat pada teks undang-undang, melainkan juga dipengaruhi oleh norma-norma hukum yang hidup dalam masyarakat dan tidak diatur secara tertulis.
Bahwa konsep Ajaran materiil lebih berfokus pada esensi dan dampak dari Tindakan tersebut. Ajaran ini tidak hanya melihat pada terpenuhinya unsur-unsur hukum tetapi juga mempertimbangkan dampak nyata yang diakibatkan oleh tindak pidana terhadap masyarakat dan negara. Ajaran materill berperan dalam memastikan bahwa keadilan substantif tercapai, yaitu keadilan yang mempertimbangkan konteks sosial dan dampak yang lebih luas dari suatu perbuatan. Dalam kata lain proses pengadilan perkara korupsi, ajaran materill diaplikasikan untuk menilai seberapa kerugian atau dampak sosial dari perbuatan tersebut, yang pada akhirnya akan mempengaruhi beratnya sanksi yang akan dijatuhkan. Keterkaitan antara ajaran formil dan materil memungkinkan penegakan hukum yang tidak hanya legalistik, tetapi juga adil dan berorientasi pada pencapaian tujuan sosial yang lebih luas.
Bahwa sifat melawan hukum materill baik fungsi positif maupun negtaif memiliki pengertian :
- Sifat melawan hukum materiil dalam fungsi positif diartikan meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun jika perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma norma keadilan atau norma-norma kehidupan sosial masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana
- Sifat melawan hukum materiil dalam arti negatif dimaksudkan meskipun perbuatan telah memenuhi unsur delik, akan tetapi perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana.
Sehingga belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang, maka perbuatan itu bersifat melawan hukum. Bagi mereka ini, apa yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang (hukum yang tertulis) saja, karena di samping undang-undang (hukum yang tertulis) ada pula hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat. Pendirian yang demikian ini dinamakan pendirian yang materiil.
Bahwa dalam perkara a quo apabila dikaji melalui unsur materill nya maka ahli berpendapat apabila dalam pemenuhan unsur perbuatan melawan hukun dalam suatu tindak pidana korupsi sebagaimana dalam proyek bendungan margatiga haruslah terpenuhi seluruhnya guna menyempurnakan adanya dugaan tindak pidana korupsi didalamnya.
Bahwa unsur-unsur tersebut haruslah terpenuhi dengan didukung dengan adanya alat bukti yang benar-benar memadai seperti :
- Unsur “melawan hukum” :
bahwa perbuatan melawan hukum dalam perkara Tindak Pidana haruslah bersifat melawan hukum pidana (wederrechtelijkheid) dalam perkara a quo didalam berkas perkara selain PMH administrative juga telah tergambar PMH Pidana yaitu adanya mark up fiktif tanam tumbuh beserta tegakkanya yang dijadikan dasar pemberian ganti kerugian, namun dinilai masih belum terungkap jelas perbuatan materill yang dilakukan tersangka dengan satgas B, mengingat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tersangka tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh satgas B. Bahwa dalam suatu tindak pidana korupsi terlebih dalam perkara a quo ketentuan dalam Pasal 55 KUHP menyebutkan mengenai penyertaan yang apabila dikaitkan dengan perkara tersebut menjadikan penyertaan untuk menunjukan bahwa perbuatan tersebut dapat terjadi dengan melibatkan pihak-pihak baik yang mempunyai hubungan kerja maupun pihak yang tidak mempunyai hubungan kerja (pihak ke 3), yang disesuaikan dengan peranan dan fungsinya dari masing-masing pihak yang terlibat, menurut ahli untuk membuktikan terpenuhinya unsur “secara melawan hukum” maka perlu adanya pemeriksaan lebih lanjut terhadap tersangka, Satgas B dan saksi-saksi untuk mengetahui status, tupoksi, serta kapasitas tersangka dalam perkara a quo guna memperjelas kedudukan peranan tersangka dalam mengetahui perbuatan materill tersangka dalam perkara a quo dan bentuk Kerjasama tersangka dalam perkara a quo serta bentuk Kerjasama dengan tersangka lainya dalam hal memperjelas penyertaan sehingga mengakibatkan munculah dugaan kerugian negara.
- Unsur “melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” atau “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” :
Bahwa dalam unsur ini sebagaimana diketahui dalam faktanya berdasarkan keterangan saksi, ahli, surat, dalam berkas belum tergambar adanya aliran uang yang diterima oleh tersangka akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan tersangka maupun orang lain yang mengakibatkan kerugian keuangan sehingga dalam hal ini ahli berpendapat agar dilakukan pemeriksaan Kembali terhadap saksi-saksi tersangka guna mendapatkan alat bukti dalam emmenuhi unsur memperkaya diri sendiri pada Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah dirubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, atau unsur menguntungkan diri sendiri pada Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaiaman telah dirubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
- Unsur “mereka yang melakukan, menyuruh lakukan dan turut serta melakukan”
Bahwa dalam unsur ini mensyaratkan adanya Kerjasama secara erat untuk melakukan suatu perbuatan, dimana Kerjasama itu haruslah didasarkan pada kesadaran para pelaku bahwa mereka saling bekerjasama, sehingga dalam pemenuhannya harus tergambar perbuatan tersangka dan pelaku lainya yang bekerjasama dengan sadar dan erat untuk melakukan Tindak Pidana yang disadari secara penuh, dalam hal ini ahli berpendapat perlunya pemeriksaan Kembali demi pemenuhan bukti kesinambungan Kerjasama antar saksi menciptakan adanya pemenuhan unsur turut serta dalam suatu tindak pidana korupsi.
C. Tinjauan mekanisme Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana diubah dengan PP Nomor 39 Tahun 2023 dan Peraturan Menteri Agararia dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Tanah Bagi Kepentingan Umum.
ASAS RETROAKTIF
Asas Retroaktif meripakan pemberlakuan peraturan perundnag undangan secara mundur atau surut, sebelum tanggal perundangannya.
Penerapan asas retroaktif menggunakan asas lex favorio atau penggunaan sanksi berdasarkan hukuman teringan
Dalam hal ini asas retroaktif bermakna setiap kasus pelanggaran hukum yang pernah terjadi di masa-masa sebelumnya memerlukan suatu bentuk penyelesaian hukum yang tepat, terlebih apabila kasus pelanggaran hukum tersebut memiliki dampak yang luas seperti kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lampau yang belum terselesaikan secara hukum, serta aneka pelanggaran lainya yang tergolong dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crimes)
Asas retroaktif dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia diatur dalam Pasal 1 ayat (2). Asas retroaktif dalam KUHP Indonesia berarti bahwa hukum yang lebih baru dapat berlaku surut, jika hukum yang baru tersebut lebih menguntungkan tersangka. Hal ini berlaku jika perkara tersebut masih dalam proses persidangan atau belum ada putusan pengadilan
Apabila ketentuan lama lebih menguntungkan bagi terdakwa maka terdakwa boleh menjadikan peraturan lama tersebut menjadi acuan atau pedoman atas suatu pertanggungjawaban dalam penyelesaian perkara selama belum terdapat suatu putusan pengadilan yang bersifat inkracht atau berkekuatan hukum tetap, begitu juga sebaliknya. Namun asas ini tidak dapat berlaku apabila suatu perbuatan dilakukan setelah adanya ketentuan baru, dimana perbuatan yang dilakukan setelah adanya perubahan peraturan maka pedoman yang digunakan untuk menjadi acuan atas suatu pertanggungjawaban maka dikenakan dengan peraturan yang baru.
Bahwa dalam perkara a quo waktu berlangsungnya dugaan tindak pidana korupsi berlangsung dalam kurun waktu tahun 2020 sampai dengan 2022 yang mana dalam hal ini PP Nomor 39 Tahun 2023 dan Peraturan Menteri Agararia dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Tanah Bagi Kepentingan Umum tidaklah tepat diberlakukan, terlebih apabila mengingat dari Asas Retroaktif yang diterapkan dalam extraordinary crimes dalam hal ini adalah suatu Tindak Pidana Korupsi maka sebagaimana dijelaskan diatas dalam perkara a quo menurut ahli peraturan yang lebih tepat diterapkan kepada terduga pelaku merupakan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dimana demi kepentingan HAM dan hak terdakwa/pelaku terduga pelanggaran tindak pidana yang lebih meringankan hukumannya dalam pertanggungjawaban pidananya.
Pandangan Ahli Mengenai Acuan Peraturan Pemerintah Yang Lebih Tepat Digunakan Sebagai Pedoman Pertanggungjawaban dalam Perkara a quo
Pembangunan Bendungan Margatiga tergolong kedalam Proyek Strategis Nasional. Kantor Wilayah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional merupakan pihak yang berwenang untuk melaksanakan pengadaan tanah setelah memperoleh permohonan yang diajukan oleh Instansi yang memerlukan tanah, in casu Gubernur Lampung.
Bahwa kemudian kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Lampung menunjuk Kepala Kantor BPN Lampung Timur sebgai Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah Bendungan Margatiga. kemudian Ketua Pelaksana membentuk Susunan Keanggotaan Pelaksana dan Sekretariat Pengadaan untuk Pembangunan Bendungan Margatiga serta SK Perubahan susunan keanggotaan Pelaksana dan sekertariat serta perubahan keanggotaan Satgas. Setelah itu Kepala Kantor BPN bapak TERSANGKA (AR) (Saksi, sekarang Tersangka) selaku ketua Pelaksana melaporkan kepada Bupati Lampung Timur terkait kegiatan tersebut, sekaligus berkoordinasi untuk meminta personil kepada dinas-dinas terkait.
Bahwa selanjutnya Kepala BPN/Ketua Pelaksana Bpk. TERSANGKA (AR) membentuk Satuan Tugas (SATGAS) terdiri dari SATGAS A dan SATGAS B dan Kesekretariatan sesuai dengan Surat Keputusan Nomor:55/SK-18.07.AT.02.03/VIII/2020 berdasarkan bukti terlampir (B-3) dan SK Pembentukan SATGAS serta SK Perubahan (SATGAS) berdasarkan bukti.
Bahwa seluruh mekanisme tersebut telah sesuai dengan Peraturan-peraturan a quo. Tahapan Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum diawali dengan pembentukan pelaksana Pengadaan Tanah yang diketuai oleh Ketua Pelaksana yakni Ketua ATR/BPN Kabupaten Lampung Timur (saksi/kini Tersangka TERSANGKA (AR)) berdasarkan Surat Keputusan Nomor: 80/Kep-18.500/PT/III/2020 yang di Keluarkan Oleh Gubernur Lampung.
Selanjutnya, saksi membentuk tim satgas A dan B sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 58 PP 19/2021 yang memerintahkan ketua pelaksana pengadaan tanah membentuk dua tim satgas dimana satgas A membidangi pengumpulan data fisik tanah dan Satgas B membidangi pengumpulan data yuridis tanah.
Secara garis besar, tidak ada aturan yang ditabrak oleh Tim Pengadaan tanah yang diketuai oleh Saksi sebagai Ketua ATR/BPN Kabupaten Lampung Timur. Singkat cerita, tim pelaksana pengadaan tanah berhasil menghasilkan Peta Bidang tanah (hasil kinerja Satgas A) dan daftar nominatif sebagaimana jangka waktu yang ditentukan dalam Pasal 62 ayat (1) PP 19/2021.
Sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 64 PP 19/2021, Peta bidang tanah dan daftar nominatif diumumkan di kantor kelurahan/desa atau nama lain, kantor kecamatan, dan lokasi pembangunan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) Hari. Ketentuan ini telah dijalankan dengan baik oleh tim pelaksana pengadaan tanah.
Bahwa pada kenyataanya, terdapat beberapa pihak yang merasa keberatan dengan produk daftar nominatif yang telah dikeluarkan oleh tim pelaksana pengadaan tanah. Atas permasalahan tersebut, kepala seksi pengadaan tanah mengadakan pertemuan dengan dinas-dinas terkait untuk menyesuaikan data nominatif dan data hasil inspeksi dari Konsultan Jasa Penilai Publik (penilai) serta melakukan inventarisasi dan identifikasi ulang oleh satgas B dan ditemukan terdapat tanaman tumbuh yang dianggap berlebihan di dalam data nominatif oleh pihak penilai dan dinas terkait, atas hal tersebut, dibuatlah daftar nominatif final untuk dilakukan pembayaran ganti kerugian. Hal tersebut telah sesuai dengan norma Pasal 65 ayat (2) PP 19/2021.
Menurut Pasal 67 PP 19/2021, Jasa penilai diadakan dan ditentukan oleh instansi yang memerlukan tanah in casu Balai Besar Wilayah Sungai Mesuji dan bukan instansi tempat saksi bekerja yaitu ATR/BPN. Penilai tersebut yang akan menentukan besaran ganti kerugian bidang per bidang tanah, meliputi bidang per bidang tanah, meliputi tanah, Ruang Atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau kerugian lain yang dapat dinilai.
Bahwa .Anas Karim Rivai & Rekan selaku KJPP (penilai) yang telah ditunjuk oleh BBWS Mesuji selaku instansi yang memerlukan tanah kemudian membuat resume penilaian masing-masing pemilik tanah terkait besaran nilai ganti rugi yang akan diterima oleh para pemilik tanah.
Berdasarkan norma di dalam PP 19/2021, setelah penilai menentukan besaran ganti rugi tahapan selanjutnya yang harus dijalani adalah pelaksanaan musyawarah yang diikuti oleh tim pelaksana pengadaan tanah, penilai, dan pihak yang berhak. Hasil dari kesepakatan di dalam musyawarah tersebut menjadi dasar pemberian ganti kerugian (Pasal 74 PP 19/2021)
Bahwa sebagaimana yang diuraikan di dalam kronologi di atas, terdapat kesepakatan antara para pihak terutama dengan pihak yang berhak mengenai nominal ganti kerugian yang telah ditetapkan oleh Penilai sebelumnya, dengan demikian proses musyawarah berjalan lancar tanpa adanya ketidaksepakatan diantara para pihak.
Bahwa memang benar terdapat pihak yang keberatan ketika tim pelaksana pengadaan tanah menyampaikan produknya (peta bidang tanah dan data nominal) pada Kantor Dusun, Kantor Desa dan Kantor Kecamatan, hal tersebut telah diatasi oleh tim pelaksana pengadaan tanah dengan mengadakan verifikasi dan identifikasi ulang serta perbaikan peta bidang dan daftar nominatif kemudian menghasilkan Berita Acara Perbaikan Daftar Nominal dan atau Peta Bidang Tanah Nomor : AT.02.02/1110-18.07/X/2021 tanggal 25 Oktober 2021.
Secara umum, proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang dan tanggungjawab dari Kementerian ATR/BPN secara garis besar mencakup dari pengambilan data yuridis dan data fisik untuk selanjutnya diserahkan kepada penilai yang ditunjuk oleh instansi yang membutuhkan tanah. ATR/BPN tidak berwenang untuk menetapkan besaran ganti rugi dan melaksanakan proses ganti rugi kepada pihak yang berhak, ATR/BPN cq. Ketua tim pelaksana Pengadaan tanah hanya melakukan validasi atas pemberian ganti kerugian yang dilakukan oleh Instansi yang membutuhkan tanah.
Dalam perkara a quo, ATR/BPN Kabupaten Lampung Timur sebagai tim pelaksana pengadaan tanah telah mengusulkan hasil dari penilaian dari KJPP kepada Kementrian PUPR melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Mesuji sekampung untuk membayarkan kepada para pemilik tanah dan BBWS meneruskan kepada Lembaga Manejeman Aset Negara (LMAN) untuk meneruskan pembayaran dibank persepsi yang telah di tunjuk yaitu BRI Cabang Kota Metro Lampung. Ketentuan tersebut telah sesuai dengan norma di dalam PP 19/2021
Dengan demikian, dengan terbitnya Surat Realisasi Pembayaran Langsung Uang Ganti Kerugian Pengadaan Tanah PSN Bendungan Martatiga Tahap Ke-29 Nomor : 411/BA-PL/LMAN/2022. Kewajiban tim pelaksana pengadaan tanah telah hampir berakhir. Kewajiban tim pelaksana pengadaan tanah selanjutnya berkaitan dengan pelepasan objek pengadaan Tanah, Pemutusan Hubungan Hukum antara Pihak yang berhak dengan objek Pengadaan Tanah lalu diakhiri dengan Penyerahan Hasil Pengadaan Tanah kepada Instansi yang membutuhkan.
D. Tinjauan umum tentang Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 2 (1) UU 31/1999 dikaitkan dengan perkara pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum di Kabupaten Lampung Timur dalam pembangunan bendungan Margatiga.
Bahwa Tindak Pidana Korupsi dalam Hukum di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam perkara a quo, saksi sebagaiamana kronologi diatas disangkakan dengan Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 KUHP yang berbunyi :
Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dijatuhkan
Pasal 3
“Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”
“Bahwa selanjutnya akan dikaji unsur-unsur delik yang disangkakan kepada saksi TERSANGKA (AR) untuk dikaitkan dengan fakta materiil untuk membuktikan apakah Saksi TERSANGKA (AR) telah memenuhi unsur delik yang disangkakan”
Bahwa dalam rumusan pasal 2 ayat (1) untuk menjerat setiap orang yang diduga melakukan suatu tindak pidana korupsi harus didasarkan unsur-unsur delik menurut pasal ini sebagai berikut:
a. Setiap orang
b. Melawan hukum
c. Memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi
d. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
a) Unsur setiap orang
Bahwa dalam unsur ini menjelaskan unsur setiap orang adalah siapa saja, siapa saja dapat diartikan sebagai barang siapa dan dalam ajaran hukum pidana menunjuk subyek dari strafbaarfeit (perbuatan pidana) atau disebut pelaku tindak pidana, bahwa pelaku dalam tindak pidana sebagaimana di dalam Pasal yang disangkakan yaitu Pasal 2 dan 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 KUHP telah ditentukan “setiap orang” sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang dimaksud setiap orang adalah perorangan atau korporasi.
Bahwa dalam Perkara a quo unsur orang dalam hal ini telah terpenuhi yaitu TERSANGKA (AR) selaku Ketua Pelaksana/Kepala BPN. Bahwa subjek hukum yang dimasud dalam unsur delik ini adalah subjek hukum yang memiliki pertanggungjawaban pidana, Saksi merupakan orang yang tidak dalam pengampuan, dan telah cukup umur sehingga tergolong sebagai subjek dalam unsur delik ini.
b) Unsur Secara Melawan Hukum
Bahwa dalam Pejelasan Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yaitu meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut menyangkut dalam kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Bahwa menurut Roeslan Saleh dalam buku R Wiyono berjudul pembahasan Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana Undang Undang Tindak Pidana Korupsi menganut 2 (dua) ajaran sifat melawan hukum secara alternatif yaitu :
a. Ajaran sifat melawan hukum formil yang menyatakan bahwa melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum tertulis saja
b. Ajaran sifat melawan hukum materiil menyatakan apabila melawan hukum materiil tidaklah hanya sekedar bertentangan dengan hukum tertulis saja akan tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis, yang mengartikan disamping memenuhi syarat-syarat formil, perbuatan tersebut haruslah benar-benar dirasakan masyarakat sebagai tidak boleh atau tidak patut
Bahwa setelah adanya Putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006 yang membatalkan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU TIPIKOR, MK menafsirkan unsur melawan hukum pasal 2 ayat (1) UU Tipikor adalah tidak boleh lagi mempergunakan ajaran melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, tetapi harus mempergunakan ajaran atau konsep melawan hukum formil. Artinya, unsur melawan hukum dalam Pasal a quo menjadi berarti formele wederrechtelijkheid atau konsep melawan hukum formil yang mewajibkan pembentuk undang-undang untuk merumuskan secermat dan serinci mungkin untuk menjamin kepastian hukum (lex certa), sehingga tidak lagi menyandarkan unsur melawan hukum pada hukum tidak tertulis, rasa keadilan dan norma kesusilaan tetapi pada aturan hukum tertulis.
Putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006 kembali menggunakan ajaran melawan hukum sesuai hukum pidana (wederrechtelijkheid) da bukannya ajaran melawan hukum dalam hukum perdata (Pasal 1365 KUHPerdata) dalam memaknai unsur melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) UU TIPIKOR.
Bahwa dalam perkara a quo unsur ini tidaklah terpenuhi karena perbuatan TERSANGKA (AR) sebagaimana tugasnya sebagai Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah Bendungan Margatiga telah menjalankan kewajibanya dan tugasnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Tanah Bagi Kepentingan Umum, sebagaimana terkait dengan pendataan data ketua pelaksana hanya menerima laporan dari Penilai yang juga bukan ditunjuk oleh Saksi selaku Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah melainkan dari Instansi yang membutuhkan tanah (in casu BBWS Mesuji) yang kemudian dari laporan tersebut hasilnya diusulkan kepada Balai Besar Wilayah (BBWS) untuk dibayarkan ganti kerugian kepada pihak yang berhak.
Bahwa saksi sebagai Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah hanya berwenang mengumpulkan, memverifikasi, dan mengidentifikasi bidang tanah dengan mengumpulkan data fisik dan data yuridis tanah yang dibutuhkan. Saksi sebagai Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah tidak berwenang untuk menentukan harga ganti rugi yang akan diberikan kepada pemilik hak, Saksi juga tidak berwenang untuk melaksanakan proses ganti rugi kepada pemilik hak. Sehingga, amat sangat tidak mungkin bagi saksi untuk melakukan tindak pidana korupsi dengan melakukan penyelewengan keuangan negara karena Saksi sebagai Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah tidak memiliki kewenangan apapun terkait dengan pencairan anggaran dalam proses Pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
c) Unsur Memperkaya Diri Sendiri, Orang Lain, atau Suatu Korporasi
Bahwa dalam hal ini unsur memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi yang dimaksudkan adalah timbulnya niat dari pelaku untuk melakukan perbuatan melawan hukum tersebut demi kepentingan nya sendiri atau orang lain sehingga dapat merubah kondisi hidupnya, dengan memperhatikan perumusanya dalam Tindak Pidana Korupsi sebagaimana terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dapat dikatakan bahwa unsur “melawan hukum” merupakan yang menjadi sarana untuk melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
Bahwa dalam Perkara a quo unsur ini tidaklah terpenuhi tidaklah terpenuhi karena perbuatan TERSANGKA (AR) sebagaimana tugasnya sebagai Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah Bendungan Margatiga telah menjalankan kewajibanya dan tugasnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Tanah Bagi Kepentingan Umum, sebagaimana terkait dengan pendataan data ketua pelaksana hanya menerima laporan dari Penilai yang juga bukan ditunjuk oleh Saksi selaku Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah melainkan dari Instansi yang membutuhkan tanah (in casu BBWS Mesuji) yang kemudian dari laporan tersebut hasilnya diusulkan kepada Balai Besar Wilayah (BBWS) untuk dibayarkan ganti kerugian kepada pihak yang berhak.
Bahwa saksi sebagai Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah hanya berwenang mengumpulkan, memverifikasi, dan mengidentifikasi bidang tanah dengan mengumpulkan data fisik dan data yuridis tanah yang dibutuhkan. Saksi sebagai Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah tidak berwenang untuk menentukan harga ganti rugi yang akan diberikan kepada pemilik hak, Saksi juga tidak berwenang untuk melaksanakan proses ganti rugi kepada pemilik hak. Sehingga, amat sangat tidak mungkin bagi saksi untuk melakukan tindak pidana korupsi dengan melakukan penyelewengan keuangan negara karena Saksi sebagai Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah tidak memiliki kewenangan apapun terkait dengan pencairan anggaran dalam proses Pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
d) Unsur “yang dapat merugikan keuangan Negara atau Perekonomian Negara”
Berdasarkan putusan Nomor 25/PUU-XIV/2016, frasa “dapat” dalam
Pasal tersebut dihilangkan. Hal tersebut merubah pandangan mengenai kerugian negara yang ditimbulkan merupakan kerugian nyata (actual loss) dan bukan perkiraan kerugian (potential loss). Menurut Pasal 1 angka 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan Negara, “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”.
Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian negara yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat.
Bahwa dalam perkara a quo tindakan Kepala BPN TERSANGKA (AR) sebagai Ketua Pelaksana dalam menjalankan tugasnya dengan mengacu kepada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Tanah Bagi Kepentingan Umum dengan menunjuk dan membagikan tugas-tugas kepada instansi-instansi yang lebih berkompeten telah sesuai dengan aturan dasarnya sebagaimana anggaran adalah tugas dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), dan Kantor Jasa Penilaian Publik (KJPP) sebagai penilai atau yang melakukan inspeksi berdasarkan rekomendasi dari BBWS yang kemudian menjadi dasar bagi Ketua Pelaksana dalam mengeluarkan Surat keputusan (SK) untuk KJPP dalam melakukan penilaian data nominal, sehingga dalam hal ini apabila terdapat data yang tidak sesuai dan menimbulkan kerugian negara menjadi tanggung jawab daripada KJPP dalam hasil inspeksi nya.
Unsur merugikan keuangan negara dalam perkara a quo belum berhasil dibuktikan secara terang dan nyata oleh Penyidik. Dalam perkara ini penyidik belum mendapatkan hasil audit dari BPKP untuk menentukan besaran kerugian keuangan negara yang terjadi dengan membandingkan antara anggaran dan realisasi anggaran. Lagipula, Saksi TERSANGKA (AR) bukan merupakan pejabat yang berwenang untuk mengelola anggaran sehingganya amat sangat tidak mungkin untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Bahwa dalam rumusan Pasal 3, Untuk dapat menjerat setiap orang yang diduga melakukan suatu tindak pidana korupsi, harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut;
a. Setiap orang
b. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi
c. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
d. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
a. UNSUR SETIAP ORANG ATAU KORPORASI
Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1 angka 3 UU A quo, yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang perorangan dan/atau korporasi
b. UNSUR DENGAN TUJUAN MENGUNTUNGKAN DIRI SENDIRI ATAU ORANG LAIN ATAU KORPORASI
Maksud “menguntungkan” atau mendapat untung adalah perolehan sesuatu yang dapat dinilai dengan uang, baik berupa pendapatan yang lebih besar secara artifisial dari pengeluaran ataupun perolehan sesuatu yang dapat dinilai dengan uang baik berupa uang, kenikmatan, atau fasilitas tanpa pengeluaran atau pengorbanan yang dapat dinilai dengan uang terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan atau sesuatu yang dapat dinilai dengan uang tersebut oleh si pelaku atau orang selain pelaku atau orang-orang untuk dan atas nama suatu korporasi (R. Wiyono, SH, Pembahasan Undang Undang RI Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, h. 38). Sedangkan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan juga cukup dinilai dari kenyataan yang terjadi atau dihubungkan dengan perilaku Terdakwa sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya karena jabatan atau kedudukan (vide: Putusan MA Nomor 813 K/PID/1987 tanggal 29 Juni 1989). Bahwa apa yang dimaksud dengan “tujuan” adalah suatu kehendak yang ada dalam pikiran atau di alam batin si pembuat yang ditujukan untuk memperoleh suatu keuntungan (menguntungkan) dirinya sendiri atau orang lain atau suatu korporasi (vide: Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi Indonesia, Penerbit Bayu Media Publishing, Malang, 1977, h. 54).
Bahwa berdasarkan kasus a quo, Saksi selaku ketua tim pelaksana pengadaan tanah tidak memiliki kewenangan untuk mengelola anggaran, menetapkan anggaran, dan/atau mendistribusikan anggaran negara sebagai ganti kerugian ke pihak yang berhak. Pada intinya, ATR/BPN sebagai tim pelaksana pengadaan tanah bertugas dalam proses pencatatan data fisik dan data yuridis, tahapan musyawarah, dan proses penyerahan hak dari pemilik hak sebelumnya ke instansi yang membutuhkan, Saksi sebagai tim pelaksana tidak berwenang menetapkan ganti kerugian, dan/atau melaksanakan proses ganti kerugian. Sehingganya sangat tidak mungkin untuk melakukan tindak pidana korupsi, Menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan merugikan keuangan negara.
c. UNSUR MENYALAHGUNAKAN KEWENANGAN, KESEMPATAN,
ATAU SARANA YANG ADA PADANYA KARENA JABATAN ATAU
KEDUDUKAN
Yang dimaksud dengan “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” merupakan unsur obyektif dari perbuatan yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 Undang Undang Tipikor yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung RI, unsur “menyalahgunakan kewenangan” dalam ketentuan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor merupakan inti delik dari pasal tersebut, sehingga dalam penerapannya untuk melakukan pemidanaan terhadap terdakwa korupsi berdasarkan ketentuan Pasal 3 ini, unsur “menyalahgunakan kewenangan” harus terpenuhi. (vide: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1485K/Pid.Sus/2013, tanggal 2 Oktober 2013, hlm. 132. Sedangkan perbuatan “menyalahgunakan” yang dimaksud adalah penggunaan kewenangan atau kesempatan atau sarana yang ada pada pelaku karena jabatan atau kedudukannya tetapi untuk tujuan yang lain dari maksud diberikannya kewenangan, kesempatan, atau sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan pelaku tersebut. Dalam praktek penegakan hukum pidana korupsi, menyalahgunakan kewenangan dianggap ada, bila seorang pegawai negeri, atau pejabat negara, atau penyelenggara negara telah melakukan suatu perbuatan yang: (a) merupakan kewenangannya, namun dilakukan bertentangan dengan peraturan yang berlaku; (b) merupakan kewenangannya, namun dilakukan bertentangan dengan tujuan diberikannya kewenangan tersebut; (c) bersifat sewenang-wenang (abuse de droit) (vide: Putusan MA RI No. 1340 K / Pid / 1992 tanggal 17 Februari 1992). Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU AP”), penyalahgunaan wewenang dalam Pemerintahan dinyatakan terjadi ketika “badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, dan/atau bertindak sewenang-wenang.”
Philipus M. Hadjon menguraikan tiga unsur utama penyalahgunaan wewenang:
(1) Met opzet (dengan sengaja);
(2) Mengalihkan tujuan wewenang;
(3) Ada interest pribadi yang negatif.
(vide: Philiphus M Hadjon. “Konsep Penyalahgunaan Wewenang Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan”, disampaikan dalam Colloquium Membedah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, Hotel Garden Palace, 5 Juni 2015, hlm. 4)
Bahwa berdasarkan rezim Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU AP”). Kewenangan absolut untuk menguji dan mengadili ada tidaknya penyalahgunaan wewenang berada pada tangan Peradilan Tata Usaha Negara. Keberadaan sarana hukum ini memberikan ruang perlindungan hukum bagi pejabat pemerintahan atas keputusan atau tindakan yang dibuatnya. Jika sebelumnya, seorang pejabat yang diduga menyalahgunakan wewenang (terutama terkait korupsi) ditetapkan sebagai tersangka langsung diperiksa di peradilan umum, maka melalui sarana ini, pejabat yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan kepada PTUN terlebih dahulu untuk memeriksa dan memastikan ada atau tidak adanya unsur penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan/atau tindakan yang telah diambil. (Vide : Zudan Arif Fakrulloh. “Tindakan Hukum Bagi Aparatur Penyelenggara Pemerintahan”, Seminar Nasional, HUT IKAHI Ke-62, Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, 26 Maret
2015, hlm. 13.)
Pembentuk Undang-Undang mengundangkan Undang-Undang Nomor
30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan) yang di dalamnya memuat ketentuan antara lain: Pasal 20 ayat (4) mengenai pengembalian kerugian negara akibat kesalahan administratif yang terjadi karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintahan: Pasal 21 mengenai kompetensi absolut peradilan tata usaha negara untuk memeriksa ada atau tidaknya dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan; Pasal 70 ayat (3) mengenai pengembalian uang ke kas negara karena keputusan yang mengakibatkan pembayaran dari uang negara dinyatakan tidak sah; dan Pasal 80 ayat (4) mengenai pemberian sanksi administratif berat kepada pejabat pemerintahan karena melanggar ketentuan yang menimbulkan kerugian negara. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka dengan adanya UU Administrasi Pemerintahan, kesalahan administratif yang mengakibatkan kerugian negara dan adanya unsur penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintahan tidak selalu dengan cara menerapkan hukum pidana, bahkan dapat dikatakan dalam penyelesaian kerugian negara, UU Administrasi Pemerintahan ingin menegaskan bahwa penerapan sanksi pidana sebagai Upaya terakhir (ultimum remedium);
Pasal 1 angka 22, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dinyatakan, “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Kerugian keuangan atau daerah nyata dan pasti ini, adalah kata lain dari kerugian itu harus betul-betul ada dan merupakan akibat yang nyata dari perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan, sehingga menjadi delik materiil. Apalagi menurut UU AP bahwa untuk menilai ada atau tidaknya perbuatan menyalahgunakan wewenang dapat diuji melalui peradilan tata usaha negara sebagai pendekatan administratif dan cara penyelesaian berdasarkan hukum administrasi, karena penyelesaian melalui hukum pidana dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum, sebagai ultimum remedium. UU Administrasi Pemerintahan telah memberi perlindungan terhadap pejabat pemerintah yang diduga menyalahgunakan wewenang yang merugikan keuangan negara melalui mekanisme pengujian melalui PTUN. Sedangkan ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang yang diduga menimbulkan kerugian negara akan diputuskan berdasarkan hasil pengawasan aparat intern pemerintah;
Sejak UU Administrasi Pemerintahan terbit, kesalahan administrasi yang merugikan keuangan negara belum tentu memenuhi unsur tipikor. Jadi, aparatur sipil negara (ASN) yang diduga melanggar peraturan administrasi karena kesengajaan, kelalaian atau tidak patut baru menjadi delik korupsi apabila ada niat jahat (mens rea), bukan karena jabatannya. Ini setelah menempuh prosedur penyelesaian hukum administrasi terlebih dulu; Ultimum remedium adalah salah satu asas dalam hukum pidana Indonesia yang mengatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir penegakan hukum. Asas ultimum remedium bermakna apabila suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain (kekeluargaan, negosiasi, mediasi, perdata, atau hukum administrasi) hendaklah jalur lain tersebut terlebih dahulu dilakukan.Istilah ultimum remedium juga dapat ditemukan dalam buku yang ditulis oleh Wirjono Prodjodikoro berjudul Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, yang mana menyebutkan norma-norma atau kaidah-kaidah dalam bidang hukum tata negara dan hukum tata usaha negara harus pertama-tama ditanggapi dengan sanksi administrasi. Begitu pula norma-norma dalam bidang hukum perdata pertama-tama harus ditanggapi dengan sanksi perdata. Hanya, apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata ini belum mencukupi untuk mencapai tujuan meluruskan neraca kemasyarakatan, maka baru diadakan juga sanksi pidana sebagai pamungkas (terakhir) atau ultimum remedium;
d. UNSUR “YANG DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA ATAU PEREKONOMIAN NEGARA”
Berdasarkan putusan Nomor 25/PUU-XIV/2016, frasa “dapat” dalam
Pasal tersebut dihilangkan. Hal tersebut merubah pandangan mengenai kerugian negara yang ditimbulkan merupakan kerugian nyata (actual loss) dan bukan perkiraan kerugian (potential loss). Menurut Pasal 1 angka 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan Negara, “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”.
Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian negara yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat.
Bahwa dalam perkara a quo tindakan Kepala BPN TERSANGKA (AR) sebagai Ketua Pelaksana dalam menjalankan tugasnya dengan mengacu kepada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Tanah Bagi Kepentingan Umum dengan menunjuk dan membagikan tugas-tugas kepada instansi-instansi yang lebih berkompeten telah sesuai dengan aturan dasarnya sebagaimana anggaran adalah tugas dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), dan Kantor Jasa Penilaian Publik (KJPP) sebagai penilai atau yang melakukan inspeksi berdasarkan rekomendasi dari BBWS yang kemudian menjadi dasar bagi Ketua Pelaksana dalam mengeluarkan Surat keputusan (SK) untuk KJPP dalam melakukan penilaian data nominal, sehingga dalam hal ini apabila terdapat data yang tidak sesuai dan menimbulkan kerugian negara menjadi tanggung jawab daripada KJPP dalam hasil inspeksi nya. Unsur merugikan keuangan negara dalam perkara a quo belum berhasil dibuktikan secara terang dan nyata oleh Penyidik. Dalam perkara ini penyidik belum mendapatkan hasil audit dari BPKP untuk menentukan besaran kerugian keuangan negara yang terjadi dengan membandingkan antara anggaran dan realisasi anggaran. Lagipula, Saksi TERSANGKA (AR) bukan merupakan pejabat yang berwenang untuk mengelola anggaran sehingganya amat sangat tidak mungkin untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Bahwa selanjutnya akan diuraikan konsep Penyertaaan dalam Pasal 55 KUHP
Bahwa dalam unsur ini sebagaimana dijelaskan dalam (asas-asas hukum pidana di Indonesia dan penerapanya oleh E.Y Kenter, S.H., dan S.R. Sianturi, S.H. jelas makna istilah penyertaan (deelneming) adalah dua orang atau lebih yang melakukan tindak pidana atau dengan kata lain perkataan terhadap dua orang atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana.
Bahwa yang dimaksud dengan pelaku (dader) adalah orang yang memenuhi semua unsur delik sebagaimana dirumuskan oleh Undang Undang, baik unsur subjektif maupun unsur objektif, dader dalam pengertian luas adalah yang dimuat dalam MvT pembentukan Pasal 55 KUHP, yang diantara lain mengutarakan: “yang harus dipandang sebagai dader itu bukan saja mereka yang telah menggerakkan orang lain untuk melakukan delik melainkan juga mereka yang telah menyuruh melakukan dan mereka yang turut melakukan” .
Bahwa dalam perkara a quo unsur ini tidaklah terpenuhi karena dalam fakta hukum yang ada sesuai kronologi diatas menyebutkan apabila perbuatan Kepala BPN TERSANGKA (AR) sebagai Ketua Pelaksana membagikan tugas adalah sesuai sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Tanah Bagi Kepentingan Umum sehingga pertanggungjawaban laporan atau hasil inspeksi menjadi tanggungjawab instansi terkait yang mengerjakan sebagaimana dalam prinsip tindak pidana dimana pertanggungjawaban pidana tidak dapat dipindahkan kepada siapapun, sehingga unsur melakukan, menyuruh serta ikut melakukan tidak dapat terpenuhi karena TERSANGKA (AR) dalam menjalankan perannya adalah telah sesuai dengan peraturan yang diatur.
Bahwa sebagaimana dalam suatu Tindak Pidana tidaklah terlepas dari yang namanya mens rea, hal ini juga berlaku kepada suatu Tindak Pidana Korupsi. Mens rea merupakan sikap batin, niat atau maksud tujuan pelaku dalam melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Dalam suatu Tindak Pidana tidak cukup hanya karena terduga telah melakukan perbuatan yang bertentangan atau melawan hukum namun dilihat dari niat awal terduga tersebut dalam melakukan perbuatannya sehingga meskipun perbuatanya memenuhi rumusan delik dalam peraturan Undang-Undang haruslah juga dilihat niat dan maksud tujuan terduga melakukan perbuatan tersebut apakah ada unsur kesengajaan (opzet) ataupun kelalaian (culpa). Dalam praktik hukum nya kehendak untuk melakukan kejahatan atau kesengajaan (opzet) sangat sulit untuk dibuktikan, sehingga apabila dalam hal ini tidak terbukti maka akan dicari unsur kedua yaitu kelalaian (culpa), dalam hal ini kelalaian mempunyai faktor utama yaitu kesadaran sang pelaku dalam menyadari akan perbuatannya berpotensi dalam munculnya akibat hukum atas perbuatanya atau melanggar hukum atas perbuatanya,dalam kata lain sang pelaku dapat menduga apabila perbuatanya akan menimbulkan akibat yang melawan hukum atau dilarang oleh hukum.
Bahwa dalam perkara a quo apabila dikaitkan dengan mens rea sebagaimana diatas menurut ahli perbuatan TERSANGKA (AR) dalam menjalankan tugasnya sebagai Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah pada proyek pembangunan bendungan margatiga tidak menunjukan niat atau mens rea yang mengarah kepada akibat hukum yang akan timbul sebagaiaman melanggar aturan hukum yang berlaku dalam perkara a quo adalah suatu Tindak Pidana Korupsi, karena dalam fakta hukum yang ada sebagaiamana telah dijabarkan pada kronologi diatas Ketua Pelaksana/Kepala BPN TERSANGKA (AR) dalam menjalankan tugasnya telah sesuai dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Tanah Bagi Kepentingan Umum sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa dalam hal ini sebagaimana dituduhkan kewenangan dalam pengadaan anggaran Pengadaan Tanah Bendungan Margatiga merupakan tugas dari balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) bukan Badan Pertanahan Naisonal (BPN) Lampung Timur, sehingga tidaklah mungkin Ketua Pelaksana TERSANGKA (AR) selaku Kepala BPN menyalahgunakan wewenangnya untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi melalui anggaran tersebut apabila kewenangan anggaran yang membuat bukanlah dirinya sendiri, yang kemudian dalam hasil penilaian ulang atau inspeksi yang menjadi tugas dari Kantor Jasa Penilaian Publik (KJPP) yang secara prosedurnya direkomendasikan oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) mesuji, yang mana hasil rekomendasi tersebut menjadi acuan Ketua Pelaksana/Kepala BPN untuk mengeluarkan Surat Keputusan (SK) untuk KJPP sebagai dasar dala melakukan inspeksi data normatif, maka menurut ahli sepantasnya hasil penilaian yang dilakukan KJPP dapat dipertanggungjawabkan secara personal oleh instansi bukan menjadi tanggungjawab BPN karena harafiahnya data yang mengeluarkan adalah KJPP.
Bahwa dalam penjelasan pembagian tugas diatas apabila dikaitkan dengan mens rea menurut ahli cukuplah dapat dikatakan apabila perbuatan Ketua Pelaksana/Kepala BPN TERSANGKA (AR) dalam hal ini tidak terdapat mens rea baik kesengajaan maupun kelalaian yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri justru atas dasar tersebut menurut ahli Ketua Pelaksana/Kepala BPN TERSANGKA (AR) disini justru dapat dirugikan apabila terdapat hal perbuatan yang menimbulkan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh bukan padanya namun pada lingkup kerjanya.
Tinjauan tentang Dugaan Penyidik Polda Lampung terkait Tindak Pidana Korupsi pada Proses Pengadaan Tanah Bendungan Marga Tiga Kabupaten Lampung Timur
Bahwa hingga Mei 2024, Polda Lampung telah menetapkan empat tersangka, TERSANGKA (AR) mantan Kepala ATR/BPN Kabupaten Lampung Timur, mantan kades Desa Trimulyo, seorang penitip tanaman tumbuh, dan anggota Satgas B).
Pada intinya, Penyidik menduga terdapat markup dan pemalsuan data sehingga tercipta adanya penetapan lokasi fiktif.
Sebagaimana yang telah kami uraikan di atas, berdasarkan peraturan yang ada serta kewenangan dari pejabat-pejabat yang bersangkutan, mark up atau penggelembungan dana ganti kerugian atas proses pengadaan tanah hanya dapat dilakukan oleh penilai atau penilai publik yang bertugas besarnya ganti kerugian (Pasal 110 Permen ATR 19/2021). Besaran ganti kerugian yang ditetapkan oleh Penilai atau Penilai Publik berdasarkan peta bidang tanah, daftar nominatif dan salinan DPPT dengan mempertimbangkan : tanah, Ruang Atas Tanah dan ruang bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, dan/atau kerugian lain yang dapat dinilai (vide: Pasal 109 dan 110 Permen ATR 19/2021). Ketua pelaksana hanya berwenang menetapkan Penilai atau Penilai publik yang bertugas dalam proses pengadaan tanah.
Dengan demikian, Tersangka TERSANGKA (AR) secara yuridis tidak dapat melakukan perbuatan curang dengan membuat markup atau penggelembungan dengan menetapkan fakta fiktif bahwa terdapat tanaman tumbuh sebagai dasar ganti kerugian kepada warga sehingga terdapat penggelembungan dana ganti kerugian yang diberikan kepada warga. Kedudukan TERSANGKA (AR) selaku Ketua Pelaksana masih terlalu tinggi untuk dapat “terjun” langsung mengakali data-data pengadaan tanah dan bagaimanapun proses penilaian serta penetapan ganti kerugian dilakukan oleh Penilai atau penilai publik. Ketua pelaksana pengadaan tanah bertugas memvalidasi pemberian ganti kerugian yang dilakukan oleh instansi yang memerlukan tanah, validasi yang dilakukan oleh ketua pelaksana adalah kegiatan verifikasi kesesuaian data pada daftar nominatif dan peta bidang tanah dengan dokumen atau warkah obyek dan subyek pengadaan tanah serta bentuk ganti kerugian berdasarkan musyawarah (pasal 116 Permen ATR 19/2021), dengan demikian, pada hakikatnya ketua pelaksana hanya bertugas menginisiasi pencatatan, validasi, serta menghubungkan antara instansi pemakai tanah, pemegang hak atas tanah, serta penilai atau penilai publik, ketua pelaksana (tersangka TERSANGKA (AR)) tidak berwenang menetapkan besaran nilai ganti kerugian dan membagikan atau menyerahkan bentuk ganti kerugian kepada pemegang hak atas tanah.
Bahwa seandainya benar (quad non) TERSANGKA (AR) telah terbukti melakukan pemalsuan sehingga terdapat data-data fiktif yang mengakibatkan markup atau penggelembungan besaran dana ganti kerugian, TERSANGKA (AR) tidak dapat menjalankan perbuatan tersebut secara mandiri. Bahwa yang bertugas dalam proses penetapan Daftar Nominatif yang memuat : a. identitas Pihak yang Berhak; b. letak, luas, dan status/jenis hak; c. luas dan jenis bangunan; d. jenis penggunaan dan pemanfaatan tanah; e. tanam tumbuh dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah; dan f. pembebanan Hak Atas Tanah atau fidusia. Yang menjadi dasar penilai atau penilai publik mengenai besaran ganti kerugian, adalah Ketua Satgas B dan membutuhkan tanda tangan dari Ketua Satgas B. Sehingga Tersangka TERSANGKA (AR) sebagai ketua pelaksana secara yuridis tidak dapat melakukan tindakan tersebut.
Bahwa seandainya benar (quad non) TERSANGKA (AR) telah melakukan serangkaian tindakan untuk menggelembungkan dana ganti kerugian kepada pemegang hak atas tanah. Satu-satunya cara agar TERSANGKA (AR) dapat memanfaatkan penggelembungan (markup) tersebut adalah dengan meminta langsung kepada warga pemegang hak atas tanah atas kelebihan yang telah (dituduhkan) dilakukan oleh TERSANGKA (AR). Hal tersebut harus dibuktikan secara terang oleh Penyidik untuk membuktikan perbuatan Tersangka memperkaya diri sendiri dan mengambil keuntungan dari proses pengadaan tanah. Hingga saat ini Tersangka TERSANGKA (AR) tidak terbukti telah menerima sejumlah uang dari warga selaku pemegang hak atas tanah yang ditetapkan menerima sejumlah ganti kerugian.
E. KESIMPULAN
1. Bahwa perbuatan TERSANGKA (AR) selaku Ketua Pelaksana/Kepala BPN dalam Pelaksanaan Pembangunan Proyek Strategis Nasional Bendungan Margatiga T.A 2020-2022 telah mengikuti aturan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Tanah Bagi Kepentingan Umum sebagaimana telah dijabarkan diatas mengenai hal tersebut, dalam pembagian sahnya pembagian tugas dan wewenang kepada instansi yang lebih berkompeten dan ahlinya. Bahwa dalam hal pengadaan anggaran sebagaiamana dijabarkan diatas menjadi kewenangan oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) bukan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lampung Timur sehingga apabila terdapat penyalahgunaan wewenang yang menguntungkan pihak TERSANGKA (AR) selaku Ketua Pelaksana/Kepala BPN hal tersebut menurut ahli sangatlah tidak mungkin karena anggaran dibuat dan dikelola oleh BBWS selaku instansi pengguna tanah, dan bukan BPN, yang kemudian terkait dengan hasil inspeksi data nominal yang menjadi tugas Kantor Jasa Penilaian Publik (KJPP) yang secara prosedur direkomendasikan oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) yang kemudian hasilnya diperuntukan sebagai rekomendasi oleh ketua pelaksana dalam mengeluarkan Surat Keputusan untuk KJPP menurut ahli seharusnya hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi oleh instansi terkait dalam hal ini adalah KJPP.
2. Bahwa perbuatan TERSANGKA (AR) selaku Ketua Pelaksana/Kepala BPN Lampung Timur dalam menjalankan tugasnya pada Pelaksanaan Pembangunan Proyek Strategis Nasional Bendungan Margatiga T.A 2020-2022 menurut ahli tidaklah dapat dikategorikan dalam suatu Tindak Pidana Korupsi sebagaimana disangkakan dalam Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 KUHP karena dalam pemenuhan unsur-unsur pasalnya tidaklah terpenuhi sebagaimana ahli telah jabarkan.
F. REKOMENDASI HUKUM / LANGKAH HUKUM
Dari pembahasan dan kesimpulan di atas dapat disimpulkan bahwa perbuatan Ketua Pelaksana/Kepala BPN TERSANGKA (AR) dalam menjalankan tugasnya sebagai Ketua Pelaksana Pembangunan Proyek Strategis Nasional Bendungan Margatiga T.A 2020-2022 telah mengikuti prosedur serta aturan terkait sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Tanah Bagi Kepentingan Umum, dan tindakan Aan Rosama sebagai Ketua Pelaksana/Kepala BPN bukanlah suatu Tindak Pidana Korupsi sebagaimana Ketentuan dalam UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi karena tidak memenuhi unsur-unsur daripada Pasal yang dipersangkakan yaitu Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 KUHP.
Penyidik dalam perkara ini sebaiknya berfokus pada pejabat-pejabat dalam lingkup Instansi pengguna tanah in casu Balai Besar Wilayah Sungai Mesuji. Instansi pengguna tanah adalah pihak yang mengelola,, menetapkan dan menyalurkan ganti rugi kepada pihak yang berhak sehingga kewenangannya rentan untuk diselewengkan hingga terjadinya tindak pidana Korupsi.
Demikian Legal Opinion ini dibuat oleh Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H. Dosen Pidana Fakultas Hukum UNISSULA Semarang, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.
Semarang, 18 November 2024
Hormat Kami,
Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H.
MUHAMMAD TAUFIQ TEGASKAN BAHWA ISU POLIGAMI KEJAGUNG BUKAN ISU MURAHAN
Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H., Akademisi Hukum Pidana sekaligus Presiden Asosiasi Ahli Hukum Pidana dalam akun tiktoknya @Advokat_Progresif menyoroti Isu bahwa S.T Burhanuddin, Jaksa Agung Republik Indonesia yang santer terkena isu memiliki 5 orang Istri.
Sebelumnya, S.T Burhanuddin diisukan memiliki 5 orang Istri, diantaranya adalah sesama Jaksa, yakni Direktur Pengamanan Pembangunan Strategis pada Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Mia Amiati.
Padahal, ST Burhanuddin juga telah memiliki seorang istri bernama Sruningwati Burhanuddin yang menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Adhyaksa Dharmakarini (IAD) Pusat.
Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H., berpendapat bahwa meskipun isu poligami merupakan ranah privat. Sebagai pejabat publik, ST Burhanuddin sebagai seorang Jaksa Agung harus menyadari bahwa segala tindakannya harus mencerminkan etika seorang pejabat publik yang berintegritas dan taat hukum.
Isu poligami Jaksa Agung sebelumnya sempat dianggap sebagai isu serangan politis kepada Jaksa Agung. Komisi III DPR mengeluarkan statement bahwa tuduhan bahwa Jaksa Agung ST Burhanuddin melakukan poligami merupakan "serangan" terhadap pribadi yang berkaitan dengan kinerja Kejaksaan Agung dalam menangani kasus besar.
"Tuduhan itu adalah serangan terhadap pribadi Jaksa Agung yang berkaitan dengan kinerja Jaksa Agung, terutama ketika Kejaksaan Agung (Kejagung) saat ini makin solid dalam memberantas kejahatan korupsi besar seperti Jiwasraya dan Asabri," kata Pangeran Khairul Saleh, di Jakarta, Sabtu (14/12/24) sebagaimana dilansir Antaranews.
Sebagai Pejabat Publik, ST Burhanuddin tunfuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Selain melanggar ketentuan mengenai Perkawinan bagi PNS, tuduhan poligami ST Burhanuddin menunjukkan kurangnya integritas dan mengindikasikan adanya Nepotisme di dalam Lingkungan Kejaksaaan. Bagaimana tidak, pasangan poligami dari ST Burhanuddin adalah pejabat Tinggi Kejaksaan seperti Direktur di Jamintel, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan seorang Kepala Kejaksaan Negeri.
Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H., dalam akun tiktoknya @Advokat_Progresif menyoroti pendapat partai Penguasa yang mengatakan bahwa isu Poligami ST Burhanuddin merupakan isu murahan. Menurut Taufiq, isu Poligami pejabat tinggi menunjukkan kurangnya kredibilitas pejabat publik dalam menjalankan fungsi pemerintahan.
Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H., menegaskan bahwa sebuah kewajaran bahwa masyarakat menyoroti tindakan privat Pejabat Tinggi karena menjadi konsekuensi bagi pejabat publik untuk diamati oleh masyarakat baik kinerjanya, integritasnya, ataupun kegiatan pribadinya.
Langganan:
Postingan (Atom)