WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Senin, 26 April 2010

”Karena Markus, Mau Ajak Makan Kapoltabes Saja Susah”

Joglosemar edisi Minggu, 25/04/2010

Keberadaan para makelar kasus yang dibantah pihak kepolisian, tetap saja masih meresahkan para advokat resmi. Akses ke penegak hukum yang dijalani para advokat resmi ini terhalang. Para makelar kasus, seolah-olah membayangi keberadaan para advokat serta penegak hukum untuk mencari celah dan memakelarkan kasus dari mangsanya.
”Memang ada makelar kasus di Solo ini. Karena aksi para markus inilah, kami mau ajak makan pak Kapoltabes saja sekarangnya susahnya minta ampun,” keluh Suharsono, advokat yang membenarkan keberadaan makelar kasus di Solo dan sekitarnya.
Suharsono yang ikut tergabung dalam Peradi ini, juga membenarkan sepak terjang para makelar kasus serta modus-modusnya. ”Mereka cari kasus itu dengan baca koran.
Setiap ada sidang di pengadilan untuk kasus-kasus tertentu, mereka hadir sebelum sidang digelar,” kata Suharsono.
Menurutnya, sejak Peradi mengikrakan perang dengan makelar kasus, keberadaan para advokat resmi untuk akses di institusi hukum kian sulit, dan para makelar kasus semakin membenci para advokat tersebut.

Penyimpangan Interaksi Sosial
Di sisi lain, Sosiolog UNS, RB Sumanto, mengatakan, fenomena keberadaan makelar kasus yang terungkap ini, sebagai sebuah penyimpangan interaksi sosial. Menurutnya, pemberantasan makelar kasus, tidak hanya bisa dilakukan secara sepihak. Sebab, sesuai perannya yaitu sebagai perantara, makelar kasus ini hadir karena ada yang membutuhkan.
”Karena sesuai dengan hukum pasar, penjual itu hadir karena ada pembelinya. Ini sebuah penyimpangan interaksi sosial, dan terjadi karena adanya kesepakatan berbagai pihak. Jadi meski markus dibabat, tapi jika masih ada permintaan dari pasar ya percuma saja,” jelasnya.
Penyimpangan itu terjadi, lanjut Sumanto, karena adanya pengabaian terhadap norma dan etika hukum, baik secara agama, adat, maupun hukum formal itu sendiri. Selain itu, adanya toleransi dari masyarakat terhadap perilaku suka mencari jalan pintas, meski itu dilakukan dengan menghalalkan segala cara juga turut memberikan kontribusi kehadiran makelar kasus.
”Pada dasarnya tidak ada satu orangpun yang ingin terkena masalah, terutama masalah hukum. Nah, celah inilah yang dimanfaatkan para markus, untuk memeras mereka yang baru tersandung kasus hukum,” paparnya.
Untuk itu, dirinya pun menegaskan jika kunci penyelesaian keberadaan makelar kasus ini adalah kesadaran masyarakat itu sendiri untuk patuh pada norma dan etika. Tanpa adanya itu, maka ibarat peribahasa patah satu tumbuh seribu para makelar kasus itu akan selalu bergentayangan menghantui instiusi hukum di Indonesia. ”Pahami aturan hukum, norma, dan etika sosial serta taatilah prosesnya maka markus itu akan hilang dengan sendirinya,” pungkasnya. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar