WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Selasa, 06 April 2010

Remunerasi dan Penegak Hukum Yang Mati Rasa


Dimuat di Harian Suara Merdeka, hari Selasa 6 April 2010

Oleh : Muhammad Taufiq *

Belum juga terungkap ke mana arah bola panas Century pasca Paripurna . Kini jagad hukum disibukkan perbincangan tentang seorang pegawai golongan tiga Dirjen Pajak bernama Gayus Tambunan. Sudah menjadi kelaziman agar dianggap peduli semua aparat penegak hukum seolah berupaya keras menangkap Gayus. Meski kita tahu Gayus berada di negeri yang hanya butuh waktu kurang dari sejam dengan pesawat udara untuk menjangkaunya, yakni Singapura. Sebuah negeri yang dihuni pesakitan korupsi Indonesia ,namun karena buruknya kinerja penegak hukum, kita tidak pernah mampu menangkap apalagi mengembalikan kerugian negara. Meski dari Batam negeri pencuri pasir Riau ini terlihat dengan mata telanjang, namun karena alasan tidak ada perjanjian ekstradisi. Kita tidak pernah menangkap pencuri uang negara. Pertanyaannya seriuskah kita ingin menangkap koruptor seperti Gayus Tambunan?

Seumpama penegak hukum ingin menangkap Gayus sesungguhnya bisa dan mudah. Semua institusi penegak hukum pernah memeriksa Gayus Tambunan ,mulai dari Mabes Polri, Kejaksaan,Pengadilan bahkan Satgas Mafia Hukum bentukan SBY pernah disinggahi Gayus Tambunan. Sesuai pengakuan Gayus dua hari sebelum dinyatakan buron. Ia sempat curhat kepada Satgas Mafia Hukum, bahwa ia hanyalah ikan teri di lautan markus yang disebut Kantor Pajak. Artinya perbuatan yang ia lakukan adalah hal biasa di tempat kerjanya dan ia tidak merasa bersalah dengan tindakannya itu. Sebagai teri ia punya simpanan 24 milyar, tentunya ikan paus di tempat kerja memiliki simpanan yang jauh lebih besar dari sekedar 24 milyar. Menghubungkan perilaku hukum aparat negara seperti polisi,jaksa dan hakim dengan remunerasi tentulah hal yang menarik.

Remunerasi yang berasal dari bahasa Inggris Remuneration itu diartikan sebagai gaji atau penghargaan bagi orang yang bekerja. Pertanyaannya apa relevansinya dengan upaya penegakkan hukum? Dan apa pengaruhnya bagi peningkatan kinerja ? Pertanyaan itu wajar di tengah krsisis kepercayaan kepada institusi penegak hukum yang ditunjukkan dengan menguaknya jaringan makelar kasus dalam perpajakan . Seperti yang dibongkar Susno di Mabes Polri dan sebelumnya oleh Machfud MD dalam sidang di Mahkamah Konstitusi. Semua sebagai akibat tidak profesionalnya polisi dan jaksa dalam menangani perkara korupsi. Terbukti dalam kasus penanganan Bibit dan Candra selaku pimpinan KPK non aktif kala itu. Sebelumnya saat urip Tri Gunawan tertangkap bersekongkol dengan Markus Arthaliya Suryani meloloskan Joko Candra di mana Kejaksaan Agung dituding tidak becus menangani korupsi . Jaksa Agung Hendarman Supanji alih-alih memperbaiki kinerja. Dia justru meminta tambahan kepada Komisi III DPR-RI anggaran Rp.10 triliun,- dengan maksud untuk memperbaiki fasilitas jaksa sehingga tidak tergoda. Untuk meneliti lebih jauh coba kita telusuri lahirnya berbagai aturan terkait remunerasi . Sesuai dengan Undang-undang NO. 17 tahun 2007, tentang Rencana pembangunan Nasional jangka panjang 2005-2025 dan Peraturan Meneg PAN, Nomor : PER/15/M.PAN/7/2008, tentang Pedoman umum Reformasi birokrasi. Kebijakan Remunerasi diperuntukan bagi seluruh Pegawai negeri di seluruh lembaga Pemerintahan. Yang berdasarkan urgensinya dikelompokan berdasarkan skala prioritas ke dalam tiga kelompok :

a. Prioritas pertama adalah seluruh instansi Rumpun penegak hukum, rumpun pengelola keuangan Negara, rumpun pemeriksa dan pengawas keuangan Negara serta lembaga penertiban aparatur Negara.

b. Prioritas kedua adalah kementrian/lembaga yg terkait dg kegiatan ekonomi, system produksi, sumber penghasil penerimaan Negara dan unit organisasi yang melayani masyarakat secara langsung termasuk Pemda.

c. Prioritas ketiga adalah seluruh kementrian/lembaga yg tidak termasuk prioritas pertama dan kedua.

Dengan demikian sesungguhnya remunerasi yang diterima penegak hukum seperti hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang kemudian memvonis bebas Gayus pada tanggal 12 Maret 2010 bukanlah kontroversi baru. Sebab , mulai 1 April 2008 kontroversi itu sudah terjadi. Saat itu, tunjangan di lingkungan Mahkamah Agung dan pengadilan tinggi naik sangat fantastis. Angka kenaikannya bahkan mencapai 300 persen. . Dalam Perpres No 19/2008 tentang Kinerja Hakim dan Pegawai Negeri di Lingkungan MA dan Peradilan di bawahnya disebutkan, besaran tunjangan untuk ketua MA Rp 31,1 juta dan wakil ketua MA Rp 25,8 juta. Sementara untuk ketua pengadilan tinggi Rp 13 juta, hakim biasa pengadilan tinggi Rp 10 juta, dan hakim pengadilan tinggi kelas II Rp 4,2 juta. Dalam hal ini, yang perlu dicermati, kenaikan tersebut tidak termasuk gaji pokok. Perpres-perpres kontroversi itu tidak akan pernah bisa diakses masyarakat karena selama ini penyusunan dan publikasinya cenderung tertutup. Oleh karena itu, wajar kalau beberapa pihak, terutama kalangan pegiat antikorupsi, menilai kenaikan tunjangan tersebut sangat berlebihan. Apa yang dituangkan dalam perpres itu senyatanya memang tidak kondusif dan terkesan mengabaikan ketentuan di atasnya. Bukan karena disampaikan dalam waktu yang tidak tepat, yakni di saat krisis bahan pokok melanda tanah air, melainkan juga sifat perpres yang tidak mengikuti ketentuan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara. Dalam Pasal 3 Ayat 1 UU Keuangan Negara jelas disebutkan, keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Di negara-negara yang sudah maju seperti Jepang dan China, remunerasi yang berarti tunjangan atau imbalan sudah menjadi hal yang biasa baik di kantor pemerintah maupun swasta. Alasan remunerasi tentu harus berdasar pertimbangan agar mereka bekerja lebih efisien dan maksimal sehingga memberikan out put yang setara pula. Pada gilirannya, itu akan mencegah perilaku korupsi atau menyimpang lainnya. Intinya, tujuan remunerasi adalah membuat setiap pegawai berhasrat kerja tinggi karena yakin semakin efisien dan profesional, dia akan memperoleh imbalan yang tinggi pula. Dalam konteks pemerintahan SBY, remunerasi di lingkungan MA dan PT tentunya bertujuan mewujudkan reformasi birokrasi dengan cara sistem penggajian jelas dan terbuka. Yang pada gilirannya, itu menghindarkan para wakil Tuhan di muka bumi dari berperilaku atau berbuat menyimpang. Yang menjadi pertanyaan, benarkah hakim-hakim kita telah bertindak dan bekerja dengan hasrat yang tinggi dalam menuntaskan berbagai kasus yang merugikan negara belakangan ini sehingga layak memperoleh imbalan yang pantas pula? Seiring dengan masih banyaknya dijumpai putusan yang dalam pandangan pemerhati hukum dinilai tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat dan begitu tingginya perkara yang belum terselesaikan di MA, tentu remunerasi itu mengundang setumpuk kontroversi. Apakah itu bukan sebuah disorientasi pemahaman reformasi birokrasi, yang berarti lebih menyederhanakan proses yang bertele-tele pada birokrasi hukum dengan out put keadilan yang baik karena menjadi cepat dan murah. Dalam pandangan hakim, remunerasi tersebut tentu tidak salah karena parameter hakim sekarang, kesejahteraan itu dinilai dari seberapa besar penghasilan seorang hakim sehingga dia menjadi hidup layak di tengah-tengah masyarakat yang serba mengukur keberhasilan seseorang dari kacamata kesuksesan materi. Dalam kasus mantan Jaksa Agung Muda Kemas Yahya -yang diduga memiliki rumah bernilai miliaran- untuk syukuran naik pangkat saja menghabiskan ratusan juta rupiah, padahal dia cuma punya gaji Rp 7 juta (Tempo, 24 Maret 2008). Karena itu, terjawab sudah bahwa remunerasi di lingkungan birokrasi keadilan saat ini tidak identik dengan peningkatan mutu keadilan. Berdasarkan PP No.21 tahun 2009 tentang tabel gaji anggota Polri terendah Golongan I Tamtata Bayangkara II sebesar Rp.1.090.000,- dan perwira tinggi golongan IV Rp.3.525.000,- . Sebab, dengan gaji yang rendah, toh dia mampu membeli dan memiliki barang-barang mewah. Dalam eksaminasi BLBI, yang muncul justru tindakan konglomerat yang merugikan uang negara triliunan rupiah itu bukan tindak pidana korupsi. Artinya, kalau toh model remunerasi itu diberlakukan di Indonesia dan diawali dari gaji hakim, kemudian dilberlakukan di kepolisian dan kejaksaan sesungguhnya model itu hanya berlaku bagi pemberantasan korupsi kelas teri. Semacam Hakim PN Jakarta Selatan Herman Alesitondi yang dihukum karena memeras saksi Jamsostek dan AKP Suparman penyidik KPK yang dihukum 6 tahun karena memeras saksi. Atau tidak beda dengan seorang jaksa Urip Tri Gunawan yang ditangkap karena diduga menerima uang haram dari Arthalyta. Sementara perkara pokoknya, kasus korupsi triliunan rupiah yang dilakukan Samsul Nursalim, dianggap sudah selesai. Memang tidak bisa disalahkan jika muncul pertanyaan ada apa di balik remunerasi yang fantastis itu? Sebab, pemberantasan korupsi dari waktu ke waktu hanya sebatas pada retorika. Di sisi lain, terjadi pemandangan yang sangat tidak menyenangkan. Yakni,banyak orang miskin tidak mampu menyekolahkan anaknya. Bahkan, ada yang mati kelaparan karena membeli beras atau nasi aking sekalipun, mereka tidak mampu. Ironis memang, Perpres tentang Remunerasi di Lingkungan MA dan Hakim Tinggi serta di lingkungan kepolisian muncul justru pada saat ketimpangan sosial terjadi di mana-mana. Apakah kita memang telah mati rasa atas semua ketimpangan itu. Perpres No 19/2008 akan sangat berarti bila telah dibarengi dengan peningkatan kinerja hakim yang ditandai dengan out put keadilan yang jauh lebih baik. Misalnya, koruptor BLBI dihukum mati atau dihukum seumur hidup. Dan menyeret penerima dan pembagi traveler check pemilihan Miranda Goeltom. Bukan hukumannya dibebaskan seperti Gayus Tambunan atau dikorting seperti David Nusa Wijaya dan Aulia Pohan.


Surakarta, 30 Maret 2010

Muhammad Taufiq SH MH, advokat Mahasiswa S-3 Ilmu Hukum UNS dan penerima beasiswa Study Remuneration dan Corporate Governance di Tokyo, 2008 .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar