Oleh :
Muhammad Taufiq**
Dimuat di Harian Joglosemar, edisi Rabu, 27 Maret 2013
Seperti sebuah
koor yang kompak para petinggi TNI merangkai cerita jika pelaku penyerangan LP
Cebongan,Sleman adalah bukan TNI dan kelompok orang tidak dikenal. Istilah itu
kali pertama muncul diucapkan oleh Pangdam IV Diponegoro Mayjend. TNI Hardiono
Sarojo. Dengan berapi-api ketika ditanya wartawan mengatakan “ itu bukan TNI
itu,bukan Kopassus, Orang Tidak Dikenal “,tentang siapa pelaku penyerangan dan
pembunuhan biadab di LP Cebongan. Disusul komentar Kepala BIN yang mengatakan
“setahu saya dan sudah saya cek,kaliber 7,62 bukan standar TNI lagi”. Begitu
pula komentar adik ipar Presiden RI KSAD,Jendral TNI.Pramono Edi Wibowo ,” ini
kita tidak tahu,saksinya pada mati semua begitu ditanya bagaimana?”.
Serangkaian pernyataan petinggi TNI ini seolah mengamini ketakutan Polri yang
diucapkan oleh Kabirohumas Mabes Polri Brijen Pol.Boy Rafli Umar ,” senjatanya
belum bisa dipastikan karena masih diperiksa di Puslabfor.”
Meski saling menutupi komentar itu jelas tidak
kompak. Sebab jika benar pelakunya OTK (orang tidakdikenal) atau teroris, Menakutkan benar di kota ada
sekelompok terlatih bersenjata bisa leluasa masuk LP dan membunuh laksana
cerita film tanpa diketahui identitas dan pelakunya. Jika demikian apa fungsi intelejen
TNI dan Polri? Wajar jika kita mengatakan negara ini seperti sebuah pesawat
yang tanpa pilot. Memang kambing hitam teroris itu sudah kerap disebut. Namun
dalam kasus tragedi Cebongan jelas tidak tepat. Jika mencari kambing hitam
dengan menuduh pelaku penyerangan LP Cebongan adalah kelompok teroris. Pendapat
Ketua Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional ) Prof.Adrianus Meliala yang
mengatakan “penyebab insiden berdarah ini adalah karena pelaku marah melihat
temannya anggota Kopassus meninggal dunia”. Juga bisa kita simak suara Direktur Eksekutif
Imparsial Poenky Indartu, “ teroris tidak mungkin menyerbu penjara”. Ketua
Kontras Haris Ashar pun berbeda dengan
TNI ,bahwa jenis senjata tempur yang dipakai oleh penyerang tidak
mungkin dimiliki oleh sipil. Cerita atau
karangan teroris sudah muncul sejak lama,meski sering kali tidak masuk akal
karena teroris Indonesia,selalu tertuju pada Islam.
Adalah Sidney Jones yang namanya populer
kembali setelah sebelumnya pernah dicekal masuk Indonesia,merangkai cerita
tentang teroris, meski bagi yang faham tak ada yang baru dalam
analisisnya. Jika dicermati
gambaran yang cukup menyeramkan soal
teroris sesungguhnya bukan hanya dari Sidney Jones saja. Dalam rentang waktu 25 tahun cukup banyak
buku atau artikel yang memberi cap “ menyeramkan” terhadap dunia Islam
dibanding yang memujinya. Tengok saja Islam
Militan (GH.Jansen,1981) atau The
Class of Civilization ( Hutington,1983), meski ada pula publikasi yang agak
obyektif seperti Islamic Trheat ?(
Esposito,1983), The Next Trheat, (
Hippler,1995) ataupun yang cukup simpatik memberikan pembelaan seperti yang
dilakukan Edward Said , ( Orientalism
1988 dan Covering Islam, 1982). Namun demikian bila menyangkut tindak
kekerasan dan radikalisme ,secara umum bisa dikatakan opini yang berkembang di
masyarakat Barat bahwa Islam atau Arab identik dengan Radikalisme dan
terorisme. Di banyak negara barat seperti Inggris dan Swedia, stereotype Islam
sebagai dalang terorisme cukup kental mewarnai pemberitaan media massanya.
Fenomena ini bisa saja secara intelektual mengindikasikan kekurang mengertian
masyarakat yang bersangkutan mengenai masalah politik Timur Tengah, Arab dan
Islam secara lebih obyektif . Tapi penglihatan yang demikian ini bisa saja
disengaja karena untuk berbagai tujuan terutama politik dan militer.Sejauh ini
politik labelisasi atau pencitraan,baik lewat film maupun tulisan-tulisan
merupakan senjata ampuh yang digunakan Amerika Serikat dan Barat pada umumnya
untuk menekan banyak negara yang tidak sejalan dengan kepentingan politik negara
adi daya tersebut. Melalui labelisasi yang didukung oleh kampanye secara
besar-besaran dan sistematis. Maka besar kemungkinan sesuatu yang semula hanya
kira-kira atau dugaan atau prasangka,sesuatu yang sebelumnya tidak ada apa-
apapanya(seperti kasus Cebongan). Bisa berubah menjadi fakta dan realitas yang
pada gilirannya menjadi sebuah hukuman atau sanksi atas nama kemanusiaan. Bila
hukuman itu tidak cukup maka akan ada sanksi tambahan sabagai negara teroris atau pendukung teroris itu sendiri.
Dan sama –sama dimaklumi, bahwa negara dimaksud adalah negara muslim. Meski
pada saat yang sama mereka akan mengatakan menolak jika disebut telah
menebarkan benih kebencian kepada terhadap kaum muslim atau Islam itu sendiri.
Dalam kasus penyerbuan Mapolsek Ogan Komiring Ulu dan LP Cebongan,Sleman memang
keduanya berbeda. Tapi dalam prakteknya sangat sulit untuk dibedakan, apalagi
jika pelakunya adalah memiliki latar belakang historis yang bermusuhan serta
secara kultural berbeda dalam keseharian,yakni TNI dan Polri. Ada kecurigaan
yang cukup kuat bahwa rasa permusuhan yang dialamatkan kepada Islam atau negara
berpenduduk mayoritas Islam. Fakta ini menurut Samuel Hutington bagian dari
sebuah konflik peradaban. Sebagai buktinya negara barat melalui jaringan
medianya secara sistematis dan terencana memposisikan setiap gerakan Ummat
Islam( pencitraan media tentang
kehebatan teroris Indonesia) bertentangan dengan secara diametrikal
dengan nilai-nilai kemanusiaan yang sedang diklaim dan diusung oleh Amerika
Serikat.
Sikap apriori dan penghakiman terhadap
gerakan Islam ini jelas telah menafikan catatan sejarah bahwa dalam setiap
agama atau kelompok sosial manapun dan di manapun, tentu akan ada perorangan atau sekelompok individu tertentu
yang mempunyai sikap ekstrim dan radikal. Jadi secara sosiologis apa yang
dituduhkan dilakukan oleh teroris tidak selalu Islam itu juga sudah pasti
dilakukan oleh ummat, bangsa dan kaum lainnya. Baik sejak dulu hingga
sekarang,miskin atau kaya, bodoh atau terpelajar. Singkat kata sikap ekstrim
atau radikal merupakan fenomena universal, fenomena kemanusiaan yang lahir sebagai respon terhadap politik
kekerasan dan ketidakadilan yang masih ada. Karena di Jerman ada Bader Meinhoff, di Jepang ada Tentara Merah,di Amerika ada Klux Klux Klan, artinya di negara yang
berperadaban maju pun ditemukan sekelompok masyarakat yang berpeilaku ekstrim
atau radikal. Artinya tentara atau polisi atau preman bisa berbuat serupa.
Adalah tugas polisi dan TNI mengungkap siapa gerombolan bersenjata yang bebas
berkeliaran di Jogjakarta tanpa dideteksi oleh TNI dan Polri dan jangan mudah mencari kambing hitam bahwa
pelakunya adalah teroris, dan teroris itu identik dengan komunitas muslim. Jika
demikian jelas telah kacau cara berhukum kita. Karena kita telah menyelesaiakan
masalah dengan cara menimbulkan masalah baru. Jadi TNI dan Polri bekerjalah
dengan standar ilmu yang benar dan jangan mudah mencari kambing hitam.