(Tulisan ini merupakan Ringkasan Disertasi Muhammad Taufiq pada
program doktor Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pembaca dipersilahkan
mengutip sebagaian atau seluruhnya dengan mencantumkan nama penulis beserta
sumbernya)
I.
KENDALA
PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN SUBSTANSIAL
A
Pemahaman Penegak Hukum terhadap
Sistem Hukum dan Perundang-Undangan
Tindak pidana menjadi
salah satu masalah penting yang harus
segera ditanggulangi oleh aparat
hukum. Tingkat kriminalitas yang tinggi di Indonesia merupakan salah satu bukti
bahwa begitu banyak terjadi kejahatan dan pelanggaran. Tindak kriminal sangat
terkait dengan peran penegak hukum baik secara langsung maupun tidak langsung
memiliki peran penting dalam setiap penyelesaian perkara. Namun, para penegak hukum di Indonesia
hanya berpedoman pada paradigma formal, salah
satunya yang diatur dalam KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana). Selama aparat penegak hukum tidak
mengubah pemikiran bahwa tujuan utama dari penegakan hukum pidana adalah
mewujudkan kebenaran dan keadilan, selama itu pula proses hukum akan
melahirkan kontroversi.[1]
Penulis
menggunakan pendekatan kasus dalam mengurai kelemahan sistem peradilan pidana
di Indonesia dalam kaitannya dengan aparat penegak hukum. Penulis menguraikan
penyelesaian yang diakukan oleh aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim)
yang ternyata masih jauh dari rasa keadilan yang diharapkan oleh masyarakat.
Penanganan terlalu terpaku dengan peraturan perundang-undangan, sehingga dapat
diketahui bahwa pemahaman aparat penegak hukum terhadap hukum menjadi salah
satu penyebab gagalnya mewujudkan keadilan substansial.
Kasus-kasus yang penulis contohkan di muka terjadi karena
kebanyakan aparat penegak hukum mereduksi pemahaman bahwa
menegakkan hukum diartikan sama
dengan menegakkan undang-undang. Pemahaman ini membawa implikasi bahwa hukum
(undang-undang) menjadi pusat perhatian. Padahal, masalah penegakan hukum
tidak dapat hanya dilihat dari kaca mata undang-undang saja, tetapi
harus dilihat secara utuh dengan melibatkan semua unsur yang ada, seperti
moral, perilaku, dan budaya. Namun, di sisi lain aparat penegak
hukum dengan mudah menrepaankan restorative
justice terhadap rakyat kalangan atas maupun pejabat.
Kondisi faktual di atas tidak sejalan dengan nilai-nilai
Pancasila, di mana Negara harus mampu mewujudkan hukum yang berkemanusiaan yang
adil dan beradab. Hasil dari sistem peradilan pidana hendaknya dapat
dipertanggungjawabkan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan
bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Sebagai sumber nilai
dan norma dasar negara maka setiap materi muatan perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Di
Indonesia perubahan paradigma keilmuan hukum masih dirasakan lamban. Dunia
hukum Indonesia khususnya tentang makna hukum, praktik hukum, pendidikan hukum
dan realitas keilmuan hukum masik bertahan pada domain positivistik, meskipun
kebutuhan saat ini memperlihatkan paradigma positivistik itu tidak mampu lagi
mengakomodasi pluralitas kearifan lokal, bahkan ada kecenderungan hukum dalam
paradigma positivisme tersebut menindas hukum lokal dan atau menjadi beban
masyarakat lokal.[2]
Penerapan hukum selama ini cenderung mengarah ke arah
silogisme di mana hakim hanya mengkonstatir bahwa Undang-Undang dapat
diterapkan pada peristiwanya, kemudian hakim menerapkannya menurut bunyi
Undang-Undang. Di sini hakim tidak menjalankan fungsinya secara mandiri dalam
menerapkan undang-undang terhadap peristiwanya, kemudian hakim menerapkannya
menurut bunyi undang-undang. Hal ini berarti menempatkan hakim hanya sebagai
corong undang-undang (la bauche qui
pronounce les paroles de laloi). Seharusnya hakim dapat mengisi ruang kosong
yang ada dalam hukum itu, sehingga dapat menemukan hukum (rechtsvinding). Apakah dengan cara melakukan konstruksi hukum dan interprestasi, analogi, dan arghumentum a
contrario.[3]
B
Kelemahan
Sistem Hukum di Indonesia
Sistem
hukum tidak hanya mengacu pada aturan (codes
of rules) dan peraturan (regulations),
namun mencakup bidang yang luas, meliputi struktur, lembaga dan proses (procedure) yang mengisinya serta terkait
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living
law) dan budaya hukum (legal
structure).[4]
Menurut Lawrence Friedman, unsur-unsur sistem hukum
itu terdiri dari struktur hukum (legal
structure), substansi hukum (legal
substance) dan budaya hukum (legal
culture).[5]
Berdasarkan teori Friedman tersebut jika dikaitkan dengan pembangunan sistem
hukum nasioanl di Indonesia, maka sistem hukum nasional merupakan kesatuan dari
berbagai sub sistem nasional, yaitu substansi hukum nasional, struktur hukum
nasional, dan budaya hukum nasional.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis menunjukkan bahwasanya
masih terdapat kelemahan terhadap sistem hukum di Indonesia dilihat dari
substansi, struktur dan budaya hukum. Kelemahan-kelemahan tersebut pada
akhirnya menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembangunan sistem hukum
nasional. Penegakan hukum pidana dalam kerangka sistem peradilan pidana di
Indonesia yang sampai saat ini masih berdasarkan
pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
memang dirasakan belum mewakili berbagai kepentingan. Sebagai contoh, mengenai
kepentingan korban dalam proses peradilan pidana yang diwakili oleh Jaksa
Penuntut Umum, juga masih ada perbedaan yang menyolok dengan kepentingan pelaku
tindak pidana. Oleh karenanya tujuan yang hendak dicapai dalam sistem peradilan
pidana sebagaimana dikemukakan Mardjono Reksodipoetro, yaitu antara lain
menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan, agaknya tidak akan terlaksana secara baik.[6]
Dalam sistem hukum di Indonesia KUHAP boleh saja telah hadir dan dianggap sebagai
karya agung bangsa Indonesia. Namun, dalam praktiknya, perilaku penyidik
tidaklah banyak berubah. Misalnya saja dalam praktik pembunuhan aktivis buruh
Marsinah dan pembunuhan wartawan Harian Bernas Jogja, Fuad Muhammad
Syarifuddin, kedua kasus pembunuhan itu tidak
terungkap siapa pelakunya. Pembunuhan Udin telah
kadaluarsa. KUHP mengatur suatu tindak pidana tak bisa dituntut lagi setelah
mencapai waktu 14 tahun. Pembunuhan Udin 13 Agustus 1996 telah kadaluarsa.
Dengan demikian pembunuh Udin bisa bebas berkeliaran tanpa pernah diadili
sesuai sitem peradilan pidana yang berlaku di Indonesia saat ini.[7]
Sistem hukum yang
buruk di Indonesia merupakan pangkal dari gagalnya mewujudkan keadilan
substansial dalam sistem peradilan pidana. Ketiga unsur dalam teori Friedman
tidak diterapkan secara baik di Indonesia. Struktur hukum, substansi maupun
budaya hukum merupakan tiga komponen yang sangat berpengaruh bagi keadilan
substansial. Namun, sayangnya kelemahan terbesar justru berada dalam ketiga
unsur tersebut. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus hukum yang
konstroversial serta timbulnya reaksi dari masyarakat yang tidak puas akan
sistem peradilan pidana di pengadilan. Masyarakat beranggapan bahwa penanganan
di pengadilan yang kontroversial itu merupakan salah satu pelanggaran hak asasi
manusia.
C
Perilaku Aparat Penegak Hukum dan
Gagalnya Mewujudkan Keadilan Substansial
Dalam kaitan dengan sistem peradilan
pidana, kegagalan dalam penegakan hukum dan pemberdayaan hukum ditengarai oleh
sikap submissive terhadap kelengkapan
hukum yang ada seperti prosedur, doktrin, dan asas hukum Indonesia, selain
ketidakmampuan criminal justice system
dalam mengemban tugasnya. Akibat yang ditimbulkan muncul sejumlah pertanyaan yang
mempersoalkan sejauh mana efisiensi lembaga peradilan dapat diandalkan sebagai
lembaga pencari keadilan, di tengah
tidak profesionalnya aparat jaksa dan aparat penegak hukum lainnya, yang
kemudian bermuara pada ketidakpuasan terhadap eksistensi lembaga peradilan di
negeri ini.[8]
Terlebih bila dalam sistem peradilan tersebut juga dikuasai oleh para mafia
peradilan.
Mafia
peradilan merupakan penyebab kegagalan memfungsikan peradilan sebagai sarana
mencari keadilan. Begitu luas dan mengguritanya tindakan mafia ini terlihat
dari begitu terkenalnya istilah mafia peradilan itu sendiri. Mafia peradilan
diartikan sebagai perbuatan yang bersifat sistematis, konspiratif, kolektif
yang dilakukan oleh aktor tertentu yang mempengaruhi proses penegakan hukum
dengan demikian mafia ini berperan dalam pelanggaran hak asasi. Beranjak dari
praktik mafia peradilan ini maka berkembang menjadi judicial corruption.
Penyebab
lain dari kegagalan mewujudkan sistem peradilan pidana yang berkeadilan
substansial selain mafia peradilan di antaranya karena faktor sebagai berikut [9]:
1. Pendidikan
di Fakultas hukum masih bersifat legalistik (positivistik)
2. Profesi
penegak hukum seperti Polisi, Jaksa, Hakim masih sekedar dijadikan mata
pencaharian untuk mendapatkan gaji (job
opportunity).
3. Rekrutmen
penegak hukum masih bersifat akademik administratif, tidak memakai penilaian
instrumen moral.
Pada
bagian lain pendidikan hukum harus menghargai kebebasan sekaligus menghargai
nilai-nilai individual. Namun tidak berarti pendidikan hukum di Indonesia harus
liberalis-positivistik dan individualistis, karena pada dasarnya pendidikan
yanng berorientasi positivistik dan individualistik itu sangat tidak cocok
dengan kondisi masyarakat Indonesia karena besar kemungkinan pendidikan yang
tujuannya untuk melatih kecakapan kreatif individu atau mengembangkan
karakteristik individu, dibelokkan ke arah kecenderungan individu dan
dikendalikan dengan sekehendak hati individu, dan dalam jangka panjang akan
menjadi pendidikan yang tidak dapat direncanakan, sehingga bertentangan dengan
asas-asas kependidikan Indonesia. Pandangan pendidikan ini melihat manusia
adalah makhluk yang utuh yang memiliki keunggulan dan kekurangan, kekuatan dan
kelemahan. memiliki kekuatan konstruktif dan destruktif, berbudi luhur
sekaligus manusia yang dilematik, memiliki kewajiban-kewajiban sosial, sebagai
hamba Tuhan yang memiliki kewajiban-kewajiban keagamaan.[10]
D
Kelembagaan
Institusi Penegak Hukum
Insitusi penegak hukum yang ideal
menurut penulis seharusnya bersifat progresif. Penegak hukum harus mampu
menggali keadilan di luar teks peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan
dengan pendapat Satjipto Rahardjo yang dalam teorinya menyatakan bahwa hukum
itu tidak hanya teks tertulis (black law letter),
di dalamnya ada roh dari suatu masyarakat. Hukum yang dimaknai hanya sekedar
huruf-huruf yang tercetak dalam sebuah peraturan, maka hukum itu tidak lebih
dari sekedar tengkorak hidup yang berjalan tanpa nyawa. Salah satu yang
menghidupi hukum adalah hati nurani. Dalam hati nurani akan menuntun pada
empati, khususnya berkaitan dengan kesadaran atas dampak yang timbul dari
setiap putusan hakim. Oleh karena itu pula aparat institusi penegak hukum harus
mengedepankan hati nurani dalam penyelesaian perkara pidana.
Dalam sistem peradilan yang berlaku
sekarang penerapan asas presumsion of
innocence tidak jarang diabaikan. Terdakwa yang duduk di persidangan
seolah-olah sudah dianggap bersalah oleh masyarakat, juga hakim yang hanya
berpedoman pada BAP. Dalam sistem peradilan yang diatur dalam KUHAP,
pendampingan Terdakwa oleh Penasihat Hukum masih sebatas hak, bukan kewajiban
terutama untuk kasus-kasus pidana terhadap peradilan wong cilik seperti yang dicontohkan penulis di muka. Artinya hanya
advokat-advokat yang berhati nurani dan peduli terhadap terdakwa saja yang mau
memberikan batuan hukum secara cuma-cuma.
Ketika
membicarakan konstitusi dalam keadaan normal, tiada perang atau bencana besar
hukum selalu berkaitan dengan undang-undang yakni aturan dan peraturan. Donal
Black mengemukakan definisi yang ringkas, bahwa hukum diartikan sebagai kontrol
sosial pemerintah kepada warga negara. Sistem peradilan pidana jelas mengarah
kepada pemahaman yang dimaksud. Semua aturan dalam tingkatan apapun
sesungguhnya memiliki maksud atau pedoman bagaimana cara berperilaku. Perubahan
dalam masyarakat hukum yang beradab hanya dapat terjadi bila dilakukan teratur,
rapi dan terpola. Dalam paradigma lama ditekankan bahwa hukum adalah apa yang
diatur dalam undang-undang dan peran hakim sebagai corong perkataan
undang-undang semata (letterkenechten der
wet) demi terciptanya kepastian hukum. Sedangkan dalam paradigma baru yang
digunakan oleh aliran sociological
jurisprudence dan legal realism
ditekankan bahwa undang-undang harus disesuaikan dengan kenyataan-kenyataan
dalam masyarakat. Peran hakim pun tidak boleh menjadi terompet undang-undang saja,
tetapi harus mampu merespon perkembangan dalam masyarakat.[11]
Hal ini sangatlah penting dalam menunjang dan membiasakan budaya hukum dalam
masyarakat. Faktor budaya hukum jelas berperan, pandangan-pandangan dan
nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat merupakan kekuatan sosial (social force) yang secara langsung atau
tidak mempengaruhi mekanisme bekerjanya hukum secara keseluruhan.
II.
MODEL
PENYELESAIAN PERKARA PIDANA YANG BERKEADILAN SUBSTANSIAL
A
Konsep
Hukum yang Berkeadilan Substansial
Hukum pada hakikatnya adalah produk penilaian
akal-budi yang berakar dalam hati nurani manusia tentang keadilan berkenaan
dengan perilaku manusia dan situasi kehidupan manusia. Penghayatan tentang
keadilan memunculkan penilaian bahwa dalam situasi kemasyarakatan tertentu
orang seyogyanya berperilaku dengan cara tertentu, karena hal itu adil atau
memenuhi rasa keadilan.[12]
Menurut Soetandyo Wigjosoebroto[13], konsep hukum dapat
dijabarkan menjadi 5 sebagai berikut :
1.
Hukum adalah asas-asas kebenaran dan keadilan
yang sifatnya kodrati, orientasi pada filsafat;
2.
Hukum adalah norma-norma positif dalam sistem
perundang-undangan hukum nasional, orientasi pada positivisme;
3.
Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim In concret, dan tersistematisasikan
sebagai Judge made, orientasi pada
behavioral sosio-psikologis;
4.
Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang
terlembagakan, eksis, sebagai variabel empiris, orientasi pada struktural;
5.
Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang
terlembagakan, eksis, sebagai variabel empiris, orientasi pada
simbolik-interaksional.
Pemahaman berhukum yang demikian itu boleh
dikatakan sebelum dibahas mengenai
membangun suatu sistem hukum yang baik, maka terlebih dahulu diperlukan suatu
basis yang kokoh yang di atasnya sistem hukum itu dapat dibangun. Secara
sosiologis dapat dikatakan hukum itu ada
untuk dipatuhi dan dilanggar. Dengan kata-kata tersebut maka teks atau skema
hukum tidak pernah dapat menundukkan secara mutlak perilaku manusia di bawah kontrol
(teks) hukum. Dunia yang sudah mengalami perjalanan panjang membentuk kehidupan
berdasarkan hukum dengan sekian kelengkapan yang makin canggih.[14]
Dalam penelitian ini penulis mempunyai sebuah konsep penyelesaian
perkara pidana yang lebih mengedepankan pada aspek keadilan substansial. Adapun
latar belakang pemikirannya dikaitkan dengan ide-ide pembaharuan hukum pidana (penal reform), dan yang dikaitkan dengan
masalah pragmatisme. Latar belakang ide-ide ”penal reform” itu antara lain ide perlindungan korban, ide
harmonisasi, ide restorative justice,
ide mengatasi kekakuan/formalitas dalam sistem yang berlaku, ide menghindari
efek negatif dari sistem peradilan pidana dan sistem pemidanaan yang ada saat
ini, khususnya dalam mencari alternatif lain dari pidana penjara (alternative to imprisonment/alternative to
custody) dan sebagaimana. Latar belakang pragmatisme antara lain untuk
mengurangi stagnasi atau penumpukan perkara (“the problems of court case overload”)[15]
Keadilan
yang lebih bersendikan hati nurani lebih tepat diterapkan di Indonesia untuk
dapat menghasilkan keadilan yang hakiki atau keadilan substansial. Karena
keadilan substansial lebih mendahulukan hakekat dibanding keadilan formal yang
cenderung menempatkan manusia bagian dari buku undang-undang. Sehingga setiap
orang yang bersalah dengan cara apapun dicari kesalahannya untuk dihukum.
Itulah kegagalan keadilan formal.
B
Kelembagaan Penyelesaian Perkara Pidana yang Berkeadilan
Substansial
Indonesia memerlukan hukum yang dapat hidup
dalam realitas sosial yang mampu mengakomodasikan kemungkinan-kemungkinan,
pluralistik, diversitas dan juga perubahan-perubahan yang dinamis. Untuk itu
hukum yang tidak tertulis akan lebih berperan karena melalui hukum yang tidak
tertulis tersebut, hukum menjadi semakin leluasa bergerak untuk menyesuaikan dengan
perubahan realitas tersebut. Dalam hukum tidak tertulis itu, konsensus menjadi
bagian penting dari daya kerja hukum. Apabila hukum dapat bekerja dalam ruang
yang bersifat chaos , maka terjadilah
perubahan yang cukup mendasar tentang hakikat keadilan yang selama ini
dikembangkan oleh kaum positivisme hukum.[16]
Hukum tampil dalam bentuk-bentuk skema tertulis
dan perilaku, maka cara berhukum pun tidak hanya satu melainkan lebih. Di sini
Satjipto Rahardjo memakai ungkapan cara berhukum substansial dan artifisial.
Cara berhukum substansial adalah yang dimulai dari interaksi antara para
anggota suatu komunitas sendiri yang kemudian menimbulkan hukum. Tipe tersebut
dikenal sebagai interactional law.
Interaksi tersebut sebuah proses kimiawi yang akan menghasilkan sebuah pola
yang mapan dan pada akhirnya berfungsi sebagai hukum. Di sini tidak ada sebuah
badan yang khusus membuat hukum, melainkan hukum tumbuh secara serta merta
dalam interaksi antara para anggota masyarakat,
selanjutnya akan
berkembang kaidah yang berkesinambungan. Kehadiran kaidah ini tidak dimulai
dari pembuatan secara sengaja melainkan muncul secara serta merta. Pembentukan
kaidah seperti inilah yang oleh Satjipto Rahardjo disebut sebagai cara berhukum
yang substansial.[17]
C
Kondisi
Ideal Sistem Peradilan Pidana yang Dapat
Mewujudkan Keadilan Substansial
Sebuah negara hukum tentu
mengakui dan melindungi hak individu. Pengakuan terhadap hak individu dijamin
dalam asas persamaan di hadapan hukum. Apabila ada persamaan di hadapan hukum (equality before the law), maka ada
persamaan perlakuan (equal treatment)
bagi semua orang. Persamaan di hadapan hukum ini menjamin adanya akses untuk
memperoleh keadilan (access to justice).
Salah satu bentuk akses untuk memperoleh keadilan (access to justice) adalah adanya jaminan atas akses kepada advokat
(access to legal counsel), artinya
kalau orang mampu dapat menunjuk advokat untuk membela kepentingannya, fakir
miskin juga mempunyai hak untuk dibela advokat dari organisasi bantuan hukum.
Perolehan pembelaan dari seorang advokat (access
to legal counsel) adalah hak asasi manusia setiap orang dan merupakan salah
satu unsur untuk memperoleh keadilan (access
to justice) bagi semua orang (justice
for all).[18]
Tobias dan Petersen mengatakan bahwa “due process of law”, yang berasal dari dokumen Magna Charta, 1215,
merupakan “constitutional guaranty … that
no person will be deprived of life, liberty or property for reasons that are
arbitrary”. Proses hukum ini “… protects
the citizen against arbitrary actions of the government”. Karena itu inti
dari proses hukum yang adil dan ideal adalah :
1. Tersangka (maupun terdakwa) berhak
untuk didengar pandangannya tentang bagaimana peristiwa yang dituduhkan padanya
itu terjadi (hearing)
2. Dalam pemeriksaan (sejak pertama
kali di kepolisian) ia selalu berhak didampingi oleh penasihat hukum (legal counsel)
3. Terdakwa berhak mendapat kesempatan
yang seluas - luasnya untuk menyusun dan mengajukan pembelaannya (defense)
4. Adalah kewajiban penuntut umum untuk
membuktikan kesalahan terdakwa dengan bukti-bukti yang sah menurut hukum (legal evidence)
5. Pengadilan yang memeriksanya
haruslah bebas dari tekanan. siapapun dan dengan hakim yang tidak berpihak (a fair and impartial court).[19]
Selain terjaminnya hak
atas bantuan hukum, dalam sistem peradilan pidana seharusnya tercipta pula
peradilan yang cepat, ringan dan murah. Dalam kasus Mbok Minah penulis
mencontohkan betapa
peradilan tidak berjalan cepat, ringan dan murah. Kerugian yang diderita oleh
korban dalam perkara tersebut memang seharga Rp 2.100,-, namun Mbok Minah harus
mengeluarkan uang sedikitnya Rp 50.000,- untuk
sekali perjalanan ke Kejaksaan dan Pengadilan. Sistem seperti ini seharusnya
bisa dipangkas, artinya sejak awal proses penyidikan sudah ditawarkan
penyelesaian secara kekeluargaan untuk mencapai perdamaian. Apabila telah
tercapai kesepakatan itu, kemudian dimintakan penetapan dari Pengadilan. Konsep
seperti ini sebenarnya sudah terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Anak. Penulis berpendapat sistem peradilan yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tersebut sangat layak diterapkan dalam
Sistem Peradilan Pidana di masa depan. Dalam Sistem Peradilan Anak sangat
mengedapankan keadilan restoratif di mana pada sistem tersebut menggunakan
istilah diversi di semua tingkat pemeriksaan, yaitu pengalihan penyelesaian
perkara pidana ke proses di luar peradilan pidana. Selain diversi perlu juga
diadopsi lembaga plea bargaining
untuk menyelesaikan perkara pidana yang berkeadilan sebagaimana di Amerika. Belum adanya lembaga Plea Bargaining di dalam hukum
acara pidana, menuntut sikap hukum yang responsif dari
pengadilan dan hakim dalam menjatuhkan pidana.[20]
D
Pembaharuan KUHP dan
KUHAP untuk Menuju Keadilan Substansial
Setelah puluhan tahun dipergunakan sebagai dasar
bagi penegakan hukum pidana, maka lambat laun KUHP dan KUHAP mengalami
ketertinggalan dengan kemajuan ilmu pengetahun dan teknologi serta budaya
masyrakat Indonesia, oleh karenanya sangat dirasa perlu untuk melakukan
perubahan. Menurut Barda Nawawi Arif[21], latar belakang dan
urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek
sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural, atau dari berbagai aspek kebijakan
(khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan
hukum). Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna suatu upaya
untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan
nilai-nilai sentra sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang
melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum
di Indonesia. Perlu adanya perubahan pula dalam
peraturan hukum acara pidana di Indonesia. KUHAP yang sudah berjalan lebih dari
30 tahun tentu diperlukan pembaharuan. Di Indonesia sendiri pembaharuan KUHAP
telah tertuang dalam RUU KUHAP.[22]Dalam
RUU KUHAP 2012 terdapat hal-hal
baru yang belum terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Acara pidana
yang diatur dalam RUU KUHAP dilaksanakan secara wajar (fair) dan para pihak berlawanan secara berimbang (adversarial). Sifat berimbang pada RUU
KUHAP ini akan melindungi kepentingan korban tindak pidana.[23]
Dalam RUU KUHP tahun 2012 disebutkan pada Pasal
12 di mana Hakim dalam mengadili suatu perkara
pidana mempertimbangkan tegaknya hukum dan keadilan. Jika
dalam mempertimbangkan tegaknya hukum dan keadilan terdapat pertentangan yang
tidak dapat dipertemukan, hakim dapat mengutamakan keadilan.[24]
Rumusan ini menunjukkan bahwa dalam penegakan hukum pidana hendaknya
mengutamakan aspek keadilan dari pada kepastian hukum. Konsep ini sejalan
dengan pemikiran Gustav Radburg yang lebih menekankan keadilan dalam hukum.
E
Keadilan Substansial
dalam Konsep Penyelesaian Perkara Pidana
Setiap orang yang bersalah melakukan tindak
pidana memang harus dihukum, namun perlu dipertimbangkan pula dari aspek
sosiologis, sebagai contoh semisal
apabila pelaku tindak pidana tersebut adalah anak-anak atau nenek-nenek.
Apabila pelaku anak-anak, maka dalam hukum pidana terdapat kekhususan yang
disebut dengan pidana anak. Sebagai sarana pembaharuan masyarakat, hukum pidana
anak merupakan bidang hukum yang sangat penting, karena hukum pidana merupakan
bidang hukum yang memiliki perhatian potensi berkenaan dengan perlindungan
anak.[25]
Suatu terobosan baru cara penyelesaian secara
restoratif telah dilakukan Mahkamah Agung. Banyaknya kasus kecil seperti pencurian 6 piring oleh Rasminah
mengusik hati nurani Mahkamah Agung. Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan
Nomor 2 Tahun 2012 mengenai Penyesuaian
Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. Jika sebelumnya yang
disebut tindak pencurian ringan yang nilainya kurang dari Rp 250, kini diubah
menjadi Rp 2,5 juta. Dengan dikeluarnya Perma ini maka jika selama ini kasus
pencurian seperti kasus Rasminah tidak bisa dikenakan lagi Pasal 362 KUHP
tentang pencurian biasa. Terobosan Mahkamah Agung ini bisa menjadi titik terang
untuk mengembangkan ilmu hukum pidana, dan juga sebagai bukti hukum itu untuk manusia sehingga hukum
mengikuti perkembangan peradaban manusia.[26] Di tingkat penyidikan, Kapolri melalui
Surat Nomor : B/ 3022/ XII/ 2009/ Sdeops tanggal 14 Desember 2009 tentang
Penanganan Kasus melalui Alternatif
Dispute Resolution (ADR) menjadi pedoman bagi penyidik untuk
memberlakukan alternatif penyelesaian perkara sebelum dilakukan proses pidana.
Menurut Surat Kapolri tersebut, penegakan hukum terkait dengan penanganan
perkara pidana yang mempunyai kerugian materi/ekonomi sangat kecil,
penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep ADR. Penyelesaian perkara
melalui konsep ADR tersebut harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara,
namun apabila tidak terjadi kesepakatan baru diselesaikan sesuai prosedur hukum
yang berlaku. Namun, walaupun Surat Kapolri tersebut mengatur tentang konsep
ADR sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana, namun tidak dijelaskan
perkara apa sajakah yang dapat diterapkan konsep ADR tersebut.[27]
F
Partisipasi Masyarakat dalam Penyelesaian Perkara
Pidana
Hukum sangatlah
dekat masyarakat, oleh karenanya hukum tersebut akan menjangkau seluruh aspek
kehidupan. Brian Z. Tamanaha[28]menyampaikan
bahwa hukum dan masyarakat memiliki bingkai yang disebut “The Law Society Framework” yang memiliki karakteristik hubungan
tertentu. Hubungan tersebut ditunjukkan dengan dua komponen dasar. Komponen
pertama terdiri dari dua tema pokok yaitu, ide yang menyatakan bahwa hukum
adalah cermin masyarakat dan ide bahwa fungsi hukum adalah untuk mempertahankan
“social order”. Komponen kedua
terdiri dari tiga elemen yaitu custom/consent,
morality/reason dan positive law. Custom/consent and morality/reason
dapat dipahami dalam pemikiran Donald Black sebagai culture.
Dalam hal penyelesaian
perkara pidana, masyarakat dapat berpartisipasi melalui sebuah lembaga yang
mengawasi pelaksanaan sistem peradian pidana. Tidak hanya itu, menurut penulis
masyarakat harus terlibat langsung dalam penegakan hukum pidana. Partisipasi
masyarakat ini sangatlah penting, karena dari pandangan pandangan masyarakatlah
dapat dinilai apakah proses penyelesaian perkara pidana itu dapat mewujudkan
keadilan atau tidak. Menurut penulis penyelesaian perkara pidana hendaknya
tidak dimonopoli oleh aparat penegak hukum. Justru dalam penyelesaian itulah
masyarakat dilibatkan, sehingga tercapai keadaan yang seimbang. Penyelesaian
dilakukan musyawarah dengan melibatkan keluarga pelaku, korban, dan masyarakat
tempat kejadian perkara. Aparat penegak hukum seharusnya memfasilitasi
musyarawah tersebut, dan melaksanakan apa yang telah disepakati dalam
musyawarah. Hasil musyawarah menunjukkan bahwa perkara ini diselesaikan secara
damai.
[1] Muhammad Taufiq. Kontroversi Hukum. Joglosemar. 25 November 2009
[2] Dalam kegundahan dan rasa gelisah, namun
diserati semangat cukup besar, ditampilkan sebuah pemikiran yang mencoba keluar
dari hegemoni paradigma positivisme hukum, yaitu paradigma yang senantiasa
memahamkan teori-teori mekanis, dilandasi keteraturan dan ketertiban.Anthon. F
susanto berkeyakinan bahwa upaya untuk menampilkan pikiran alternatif itu
bersifat radikal, agar realitas keilmuan hukum dapat dipotret secara utuh.
Lihat.Anthon. F. Susanto. Op. Cit.
Hal. 15-16
[3] Zulkifli, dkk. Op. Cit Hal 32-33
[4] Syafuddin
Kalo.Penegakan Hukum yang Menjamin
Kepastian Hukum dan Rasa Keadilan Masyarakat, Suatu Pemikiran. Makalah
disampaikan pada “Pengukuhan Pengurus Tapak Indonesia Koordinator Daerah
Sumatera Utara”, pada hari Jum’at, 27 April 2007, bertempat di Gayo Room Garuda
Plaza Hotel, Jl. Sisingamangaraja No. 18 Medan.
[5] Lawrence M.
Friedman. 1984.American Law : An
invalueabe guide to the many faces of the law, and how it affects our daily
lives. New York : W.W. Norton
& Company. Hal. 6
[6] Mardjono
Reksodipoetro, 1983, Bahan Bacaan Wajib Matakuliah Sistim Peradilan Pidana,
Jakarta : Pusat Dokumentasi Hukum UI. selanjutnya disebut Marjono Reksodipoetro
II. Hal 11-12
[7] Kompas, 2010. Elegi Penegakan Hukum, Kisah Sum Kuning, Prita, Hingga Janda Pahlawan
Jakarta : Penerbit Buku Kompas. Hal 3
[8] Satjipto Rahardjo,2006. Membedah Hukum Progresif, Jakarta :
Penerbit Kompas, Jakarta, Hal. ix
[9] Pendapat penulis berdasarkan hasil
observasi serta wawancara dengan para hakim, jaksa, dan polisi.
[10] Anthon. F. Susanto. Op.Cit. Hal. 257
[11] Muhammad
Taufiq. Gagalnya Diplomasi Hukum Kita.
Joglosemar, 22 Juni 2011
[12] B.
Arief Sidharta.Op. Cit. Hal. 88
[13] Soetandyo Wigjosoebroto. Konsep Hukum, Tipe Kajian dan Metode Penelitiannya. Makalah
disampaikan pada penataran Metodologi Penelitian Hukum di Fakultas HukumUnhas :
Makasar, 4-5 Februari 1994
[14] Ibid Hal 158-159
[15] Upaya
untuk mengurangi beban pengadilan (penumpukan perkara), di beberapa negara lain
juga ditempuh dengan dibuatnya ketentuan mengenai “penundaan penuntutan” (“suspension of prosecution”) atau “penghentian/penundaan bersyarat” (“conditional
dismissal/discontinu-ance of the proceedings”) walaupun bukti-bukti sudah cukup, seperti diatur dalam Pasal 248
KUHAP (Hukum Acara Pidana) Jepang *)
dan Pasal 27-29 KUHP (Hukum Pidana Materiel) Polandia. (Lihat Barda Nawawi
Arief, 2000.Kebijakan Legislatif dalam
Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, cetakan ke -3 Semarang : BP
UNDIP hal. 169-171).
[16] Tentang keadilan menurut positivisme
hukum, Hans Kelsen menjelaskan apa arti sesungguhnya dari perkataan bahwa suatu
tata sosial adalah tata yang adil. Pertanyaan ini berarti tata tersebut
mengatur perbuatan manusia menurut suatu cara yang memuaskan bagi semua orang,
sehingga semua orang menemukan kebahagiaannya di dalam tata tersebut. Kerinduan
inilah yang tidak dapat ditemukan manusia sebagai seorang individu tersendiri
dan oleh sebab itu berusaha mencarinya di dalam masyarakat. Keadilan adalah
kebahagiaan sosial. Lihat. Anthon F. Susanto. Op. Cit. Hal. 282-283
[17] Satjipto
Rahardjo.2009.Hukum dan Perilaku.Jakarta
: Kompas. Hal. 49-50
[18] Frans H. Winarta. 2009.Suara Rakyat Hukum Tertinggi.Jakarta :
Kompas. Hal. 15
[19] Abdul Latief.2010. Jaminan UUD 1945 dalam Proses Hukum yang Adil, dalam Jurnal
Konstitusi Volume 1 Nomor 1 Februari 2010 Hal. 59
[20] Artidjo Alkostar. Op. Cit. Hal. 4
[21] Barda
Nawawi Arif. 2008. Bunga Rampai Kebijakan
Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru). Jakarta: Kencana.
Hal. 28
[22] RUU
KUHAP terbaru diajukan oleh Presiden RI ke DPR tanggal 11 Desember 2012.
[23] Lihat
Pasal 133 RUU KUHAP 2012
[24] Lihat
Penjelasan Pasal 12 ayat (2) RUU KUHP 2012. Di sini dijelaskan bahwa keadilan
dan kepastian hukum merupakan dua tujuan hukum yang kerap kali tidak sejalan
satu sama lain dan sulit dihindarkan dalam praktik hukum. Suatu peraturan hukum
yang lebih banyak memenuhi tuntutan kepastian hukum maka semakin besar
pula kemungkinan aspek keadilan terdesak. Ketidaksempurnaan
peraturan hukum ini dalam praktik dapat diatasi dengan jalan memberi penafsiran
atas peraturan hukum tersebut dalam penerapannya pada kejadian-kejadian
kongkret. Apabila dalam penerapan dalam kejadian kongkret, keadilan dan
kepastian hukum saling mendesak, maka hakim sejauh mungkin mengutamakan
keadilan di atas kepastian hukum.
[25] Supriyanta.2012. Membangun Model Penanganan Tindak Pidana Anak Melalui Sistem Peradilan
Pidana yang Sesuai dengan Prinsip Due Process of Law. Disertasi. Program
Doktor Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret. Hal.6
[26] Banyaknya
kasus kecil sampai ke pengadilan karena pasal KUHP yang menyebut pencurian
ringan maksimal kerugian Rp 250. Dengan kondisi sosial ekonomi sekarang, maka
tidak ada lagi pencurian yang dikategorikan ringan. Nilai kerugian maksimal
inilah yang diubah oleh Mahkamah Agung.
[27] Alternatif
Penyelesaian Perkara Pidana. http://te-effendi-pidana.blogspot.com/2011/10/alternatif-penyelesaian-perkara-pidana.html.
Diakses 13 September 2013. Pukul. 11.00 WIB.
[28] Satjipto Rahardjo. Pendekatan Holistik Terhadap Hukum.
Bacaan untuk Mahasiswa Program doktor Ilmu Hukum Undip Oktober 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar