WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Rabu, 27 November 2013

MODEL PENYELESAIAN PERKARA PIDANA YANG BERKEADILAN SUBSTANSIAL ( Bagian II / Lanjutan)



(Tulisan ini merupakan Ringkasan Disertasi Muhammad Taufiq pada program doktor Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pembaca dipersilahkan mengutip sebagaian atau seluruhnya dengan mencantumkan nama penulis beserta sumbernya)



I.      KENDALA PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN SUBSTANSIAL
A     Pemahaman Penegak Hukum terhadap Sistem Hukum dan Perundang-Undangan
Tindak pidana menjadi salah satu masalah penting yang harus  segera ditanggulangi oleh  aparat hukum. Tingkat kriminalitas yang tinggi di Indonesia merupakan salah satu bukti bahwa begitu banyak terjadi kejahatan dan pelanggaran. Tindak kriminal sangat terkait dengan peran penegak hukum baik secara langsung maupun tidak langsung memiliki peran penting dalam setiap penyelesaian perkara. Namun, para penegak hukum di Indonesia hanya berpedoman pada paradigma formal, salah satunya yang diatur dalam KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana). Selama aparat penegak hukum tidak mengubah pemikiran bahwa tujuan utama dari penegakan hukum pidana adalah mewujudkan kebenaran dan keadilan, selama itu pula proses hukum akan melahirkan kontroversi.[1]
Penulis menggunakan pendekatan kasus dalam mengurai kelemahan sistem peradilan pidana di Indonesia dalam kaitannya dengan aparat penegak hukum. Penulis menguraikan penyelesaian yang diakukan oleh aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) yang ternyata masih jauh dari rasa keadilan yang diharapkan oleh masyarakat. Penanganan terlalu terpaku dengan peraturan perundang-undangan, sehingga dapat diketahui bahwa pemahaman aparat penegak hukum terhadap hukum menjadi salah satu penyebab gagalnya mewujudkan keadilan substansial.
Kasus-kasus yang penulis contohkan di muka terjadi karena kebanyakan aparat penegak hukum mereduksi pemahaman bahwa menegakkan hukum diartikan sama dengan menegakkan undang-undang. Pemahaman ini membawa implikasi bahwa hukum (undang-undang) menjadi pusat perhatian. Padahal, masalah penegakan hukum tidak dapat hanya dilihat dari kaca mata undang-undang saja, tetapi harus dilihat secara utuh dengan melibatkan semua unsur yang ada, seperti moral, perilaku, dan budaya. Namun, di sisi lain aparat penegak hukum dengan mudah menrepaankan restorative justice terhadap rakyat kalangan atas maupun pejabat.
Kondisi faktual di atas tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, di mana Negara harus mampu mewujudkan hukum yang berkemanusiaan yang adil dan beradab. Hasil dari sistem peradilan pidana hendaknya dapat dipertanggungjawabkan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Sebagai sumber nilai dan norma dasar negara maka setiap materi muatan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Di Indonesia perubahan paradigma keilmuan hukum masih dirasakan lamban. Dunia hukum Indonesia khususnya tentang makna hukum, praktik hukum, pendidikan hukum dan realitas keilmuan hukum masik bertahan pada domain positivistik, meskipun kebutuhan saat ini memperlihatkan paradigma positivistik itu tidak mampu lagi mengakomodasi pluralitas kearifan lokal, bahkan ada kecenderungan hukum dalam paradigma positivisme tersebut menindas hukum lokal dan atau menjadi beban masyarakat lokal.[2]
Penerapan hukum selama ini cenderung mengarah ke arah silogisme di mana hakim hanya mengkonstatir bahwa Undang-Undang dapat diterapkan pada peristiwanya, kemudian hakim menerapkannya menurut bunyi Undang-Undang. Di sini hakim tidak menjalankan fungsinya secara mandiri dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwanya, kemudian hakim menerapkannya menurut bunyi undang-undang. Hal ini berarti menempatkan hakim hanya sebagai corong undang-undang (la bauche qui pronounce les paroles de laloi). Seharusnya hakim dapat mengisi ruang kosong yang ada dalam hukum itu, sehingga dapat menemukan hukum (rechtsvinding). Apakah dengan cara melakukan konstruksi hukum dan interprestasi, analogi, dan arghumentum a contrario.[3]

B      Kelemahan Sistem Hukum di Indonesia
Sistem hukum tidak hanya mengacu pada aturan (codes of rules) dan peraturan (regulations), namun mencakup bidang yang luas, meliputi struktur, lembaga dan proses (procedure) yang mengisinya serta terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dan budaya hukum (legal structure).[4] Menurut Lawrence Friedman, unsur-unsur sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).[5] Berdasarkan teori Friedman tersebut jika dikaitkan dengan pembangunan sistem hukum nasioanl di Indonesia, maka sistem hukum nasional merupakan kesatuan dari berbagai sub sistem nasional, yaitu substansi hukum nasional, struktur hukum nasional, dan budaya hukum nasional.  Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis menunjukkan bahwasanya masih terdapat kelemahan terhadap sistem hukum di Indonesia dilihat dari substansi, struktur dan budaya hukum. Kelemahan-kelemahan tersebut pada akhirnya menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembangunan sistem hukum nasional. Penegakan hukum pidana dalam kerangka sistem peradilan pidana di Indonesia yang sampai saat ini masih berdasarkan pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), memang dirasakan belum mewakili berbagai kepentingan. Sebagai contoh, mengenai kepentingan korban dalam proses peradilan pidana yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum, juga masih ada perbedaan yang menyolok dengan kepentingan pelaku tindak pidana. Oleh karenanya tujuan yang hendak dicapai dalam sistem peradilan pidana sebagaimana dikemukakan Mardjono Reksodipoetro, yaitu antara lain menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan, agaknya tidak akan terlaksana secara baik.[6] Dalam sistem hukum di Indonesia KUHAP boleh saja telah hadir dan dianggap sebagai karya agung bangsa Indonesia. Namun, dalam praktiknya, perilaku penyidik tidaklah banyak berubah. Misalnya saja dalam praktik pembunuhan aktivis buruh Marsinah dan pembunuhan wartawan Harian Bernas Jogja, Fuad Muhammad Syarifuddin, kedua kasus pembunuhan itu tidak terungkap siapa pelakunya. Pembunuhan Udin telah kadaluarsa. KUHP mengatur suatu tindak pidana tak bisa dituntut lagi setelah mencapai waktu 14 tahun. Pembunuhan Udin 13 Agustus 1996 telah kadaluarsa. Dengan demikian pembunuh Udin bisa bebas berkeliaran tanpa pernah diadili sesuai sitem peradilan pidana yang berlaku di Indonesia saat ini.[7]
Sistem hukum yang  buruk di Indonesia merupakan pangkal dari gagalnya mewujudkan keadilan substansial dalam sistem peradilan pidana. Ketiga unsur dalam teori Friedman tidak diterapkan secara baik di Indonesia. Struktur hukum, substansi maupun budaya hukum merupakan tiga komponen yang sangat berpengaruh bagi keadilan substansial. Namun, sayangnya kelemahan terbesar justru berada dalam ketiga unsur tersebut. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus hukum yang konstroversial serta timbulnya reaksi dari masyarakat yang tidak puas akan sistem peradilan pidana di pengadilan. Masyarakat beranggapan bahwa penanganan di pengadilan yang kontroversial itu merupakan salah satu pelanggaran hak asasi manusia.

C     Perilaku Aparat Penegak Hukum dan Gagalnya Mewujudkan Keadilan Substansial
Dalam kaitan dengan sistem peradilan pidana, kegagalan dalam penegakan hukum dan pemberdayaan hukum ditengarai oleh sikap submissive terhadap kelengkapan hukum yang ada seperti prosedur, doktrin, dan asas hukum Indonesia, selain ketidakmampuan criminal justice system dalam mengemban tugasnya. Akibat yang ditimbulkan muncul sejumlah pertanyaan yang mempersoalkan sejauh mana efisiensi lembaga peradilan dapat diandalkan sebagai lembaga pencari keadilan,  di tengah tidak profesionalnya aparat jaksa dan aparat penegak hukum lainnya, yang kemudian bermuara pada ketidakpuasan terhadap eksistensi lembaga peradilan di negeri ini.[8] Terlebih bila dalam sistem peradilan tersebut juga dikuasai oleh para mafia peradilan.
Mafia peradilan merupakan penyebab kegagalan memfungsikan peradilan sebagai sarana mencari keadilan. Begitu luas dan mengguritanya tindakan mafia ini terlihat dari begitu terkenalnya istilah mafia peradilan itu sendiri. Mafia peradilan diartikan sebagai perbuatan yang bersifat sistematis, konspiratif, kolektif yang dilakukan oleh aktor tertentu yang mempengaruhi proses penegakan hukum dengan demikian mafia ini berperan dalam pelanggaran hak asasi. Beranjak dari praktik mafia peradilan ini maka berkembang menjadi judicial corruption.
Penyebab lain dari kegagalan mewujudkan sistem peradilan pidana yang berkeadilan substansial selain mafia peradilan di antaranya karena faktor sebagai berikut [9]:
1.  Pendidikan di Fakultas hukum masih bersifat legalistik (positivistik)
2.  Profesi penegak hukum seperti Polisi, Jaksa, Hakim masih sekedar dijadikan mata pencaharian untuk mendapatkan gaji (job opportunity).
3.  Rekrutmen penegak hukum masih bersifat akademik administratif, tidak memakai penilaian instrumen moral.
Pada bagian lain pendidikan hukum harus menghargai kebebasan sekaligus menghargai nilai-nilai individual. Namun tidak berarti pendidikan hukum di Indonesia harus liberalis-positivistik dan individualistis, karena pada dasarnya pendidikan yanng berorientasi positivistik dan individualistik itu sangat tidak cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia karena besar kemungkinan pendidikan yang tujuannya untuk melatih kecakapan kreatif individu atau mengembangkan karakteristik individu, dibelokkan ke arah kecenderungan individu dan dikendalikan dengan sekehendak hati individu, dan dalam jangka panjang akan menjadi pendidikan yang tidak dapat direncanakan, sehingga bertentangan dengan asas-asas kependidikan Indonesia. Pandangan pendidikan ini melihat manusia adalah makhluk yang utuh yang memiliki keunggulan dan kekurangan, kekuatan dan kelemahan. memiliki kekuatan konstruktif dan destruktif, berbudi luhur sekaligus manusia yang dilematik, memiliki kewajiban-kewajiban sosial, sebagai hamba Tuhan yang memiliki kewajiban-kewajiban keagamaan.[10]

D     Kelembagaan Institusi Penegak Hukum
Insitusi penegak hukum yang ideal menurut penulis seharusnya bersifat progresif. Penegak hukum harus mampu menggali keadilan di luar teks peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan pendapat Satjipto Rahardjo yang dalam teorinya menyatakan bahwa hukum itu tidak hanya teks tertulis (black law letter), di dalamnya ada roh dari suatu masyarakat. Hukum yang dimaknai hanya sekedar huruf-huruf yang tercetak dalam sebuah peraturan, maka hukum itu tidak lebih dari sekedar tengkorak hidup yang berjalan tanpa nyawa. Salah satu yang menghidupi hukum adalah hati nurani. Dalam hati nurani akan menuntun pada empati, khususnya berkaitan dengan kesadaran atas dampak yang timbul dari setiap putusan hakim. Oleh karena itu pula aparat institusi penegak hukum harus mengedepankan hati nurani dalam penyelesaian perkara pidana.
Dalam sistem peradilan yang berlaku sekarang penerapan asas presumsion of innocence tidak jarang diabaikan. Terdakwa yang duduk di persidangan seolah-olah sudah dianggap bersalah oleh masyarakat, juga hakim yang hanya berpedoman pada BAP. Dalam sistem peradilan yang diatur dalam KUHAP, pendampingan Terdakwa oleh Penasihat Hukum masih sebatas hak, bukan kewajiban terutama untuk kasus-kasus pidana terhadap peradilan wong cilik seperti yang dicontohkan penulis di muka. Artinya hanya advokat-advokat yang berhati nurani dan peduli terhadap terdakwa saja yang mau memberikan batuan hukum secara cuma-cuma. 
Ketika membicarakan konstitusi dalam keadaan normal, tiada perang atau bencana besar hukum selalu berkaitan dengan undang-undang yakni aturan dan peraturan. Donal Black mengemukakan definisi yang ringkas, bahwa hukum diartikan sebagai kontrol sosial pemerintah kepada warga negara. Sistem peradilan pidana jelas mengarah kepada pemahaman yang dimaksud. Semua aturan dalam tingkatan apapun sesungguhnya memiliki maksud atau pedoman bagaimana cara berperilaku. Perubahan dalam masyarakat hukum yang beradab hanya dapat terjadi bila dilakukan teratur, rapi dan terpola. Dalam paradigma lama ditekankan bahwa hukum adalah apa yang diatur dalam undang-undang dan peran hakim sebagai corong perkataan undang-undang semata (letterkenechten der wet) demi terciptanya kepastian hukum. Sedangkan dalam paradigma baru yang digunakan oleh aliran sociological jurisprudence dan legal realism ditekankan bahwa undang-undang harus disesuaikan dengan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat. Peran hakim pun tidak boleh menjadi terompet undang-undang saja, tetapi harus mampu merespon perkembangan dalam masyarakat.[11] Hal ini sangatlah penting dalam menunjang dan membiasakan budaya hukum dalam masyarakat. Faktor budaya hukum jelas berperan, pandangan-pandangan dan nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat merupakan kekuatan sosial (social force) yang secara langsung atau tidak mempengaruhi mekanisme bekerjanya hukum secara keseluruhan.

II.   MODEL PENYELESAIAN PERKARA PIDANA YANG BERKEADILAN SUBSTANSIAL
A     Konsep Hukum yang Berkeadilan Substansial
Hukum pada hakikatnya adalah produk penilaian akal-budi yang berakar dalam hati nurani manusia tentang keadilan berkenaan dengan perilaku manusia dan situasi kehidupan manusia. Penghayatan tentang keadilan memunculkan penilaian bahwa dalam situasi kemasyarakatan tertentu orang seyogyanya berperilaku dengan cara tertentu, karena hal itu adil atau memenuhi rasa keadilan.[12]
Menurut Soetandyo Wigjosoebroto[13], konsep hukum dapat dijabarkan menjadi 5 sebagai berikut :
                               1.          Hukum adalah asas-asas kebenaran dan keadilan yang sifatnya kodrati, orientasi pada filsafat;
                               2.          Hukum adalah norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan hukum nasional, orientasi pada positivisme;
                               3.          Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim In concret, dan tersistematisasikan sebagai Judge made, orientasi pada behavioral sosio-psikologis;
                               4.          Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis, sebagai variabel empiris, orientasi pada struktural;
                               5.          Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis, sebagai variabel empiris, orientasi pada simbolik-interaksional.
Pemahaman berhukum yang demikian itu boleh dikatakan  sebelum dibahas mengenai membangun suatu sistem hukum yang baik, maka terlebih dahulu diperlukan suatu basis yang kokoh yang di atasnya sistem hukum itu dapat dibangun. Secara sosiologis dapat dikatakan  hukum itu ada untuk dipatuhi dan dilanggar. Dengan kata-kata tersebut maka teks atau skema hukum tidak pernah dapat menundukkan secara mutlak perilaku manusia di bawah kontrol (teks) hukum. Dunia yang sudah mengalami perjalanan panjang membentuk kehidupan berdasarkan hukum dengan sekian kelengkapan yang makin canggih.[14]
Dalam penelitian ini penulis mempunyai sebuah konsep penyelesaian perkara pidana yang lebih mengedepankan pada aspek keadilan substansial.  Adapun latar belakang pemikirannya dikaitkan dengan ide-ide pembaharuan hukum pidana (penal reform), dan yang dikaitkan dengan masalah pragmatisme. Latar belakang ide-ide ”penal reform” itu antara lain ide perlindungan korban, ide harmonisasi, ide restorative justice, ide mengatasi kekakuan/formalitas dalam sistem yang berlaku, ide menghindari efek negatif dari sistem peradilan pidana dan sistem pemidanaan yang ada saat ini, khususnya dalam mencari alternatif lain dari pidana penjara (alternative to imprisonment/alternative to custody) dan sebagaimana. Latar belakang pragmatisme antara lain untuk mengurangi stagnasi atau penumpukan perkara (“the problems of court case overload”)[15]
Keadilan yang lebih bersendikan hati nurani lebih tepat diterapkan di Indonesia untuk dapat menghasilkan keadilan yang hakiki atau keadilan substansial. Karena keadilan substansial lebih mendahulukan hakekat dibanding keadilan formal yang cenderung menempatkan manusia bagian dari buku undang-undang. Sehingga setiap orang yang bersalah dengan cara apapun dicari kesalahannya untuk dihukum. Itulah kegagalan keadilan formal.

B      Kelembagaan Penyelesaian Perkara Pidana yang Berkeadilan Substansial
Indonesia memerlukan hukum yang dapat hidup dalam realitas sosial yang mampu mengakomodasikan kemungkinan-kemungkinan, pluralistik, diversitas dan juga perubahan-perubahan yang dinamis. Untuk itu hukum yang tidak tertulis akan lebih berperan karena melalui hukum yang tidak tertulis tersebut, hukum menjadi semakin leluasa bergerak untuk menyesuaikan dengan perubahan realitas tersebut. Dalam hukum tidak tertulis itu, konsensus menjadi bagian penting dari daya kerja hukum. Apabila hukum dapat bekerja dalam ruang yang bersifat chaos , maka terjadilah perubahan yang cukup mendasar tentang hakikat keadilan yang selama ini dikembangkan oleh kaum positivisme hukum.[16]
Hukum tampil dalam bentuk-bentuk skema tertulis dan perilaku, maka cara berhukum pun tidak hanya satu melainkan lebih. Di sini Satjipto Rahardjo memakai ungkapan cara berhukum substansial dan artifisial. Cara berhukum substansial adalah yang dimulai dari interaksi antara para anggota suatu komunitas sendiri yang kemudian menimbulkan hukum. Tipe tersebut dikenal sebagai interactional law. Interaksi tersebut sebuah proses kimiawi yang akan menghasilkan sebuah pola yang mapan dan pada akhirnya berfungsi sebagai hukum. Di sini tidak ada sebuah badan yang khusus membuat hukum, melainkan hukum tumbuh secara serta merta dalam interaksi antara para anggota masyarakat, selanjutnya akan berkembang kaidah yang berkesinambungan. Kehadiran kaidah ini tidak dimulai dari pembuatan secara sengaja melainkan muncul secara serta merta. Pembentukan kaidah seperti inilah yang oleh Satjipto Rahardjo disebut sebagai cara berhukum yang substansial.[17]  

C     Kondisi Ideal Sistem Peradilan  Pidana yang Dapat Mewujudkan Keadilan Substansial
Sebuah negara hukum tentu mengakui dan melindungi hak individu. Pengakuan terhadap hak individu dijamin dalam asas persamaan di hadapan hukum. Apabila ada persamaan di hadapan hukum (equality before the law), maka ada persamaan perlakuan (equal treatment) bagi semua orang. Persamaan di hadapan hukum ini menjamin adanya akses untuk memperoleh keadilan (access to justice). Salah satu bentuk akses untuk memperoleh keadilan (access to justice) adalah adanya jaminan atas akses kepada advokat (access to legal counsel), artinya kalau orang mampu dapat menunjuk advokat untuk membela kepentingannya, fakir miskin juga mempunyai hak untuk dibela advokat dari organisasi bantuan hukum. Perolehan pembelaan dari seorang advokat (access to legal counsel) adalah hak asasi manusia setiap orang dan merupakan salah satu unsur untuk memperoleh keadilan (access to justice) bagi semua orang (justice for all).[18]
Tobias dan Petersen mengatakan bahwa “due process of law”, yang berasal dari dokumen Magna Charta, 1215, merupakan “constitutional guaranty … that no person will be deprived of life, liberty or property for reasons that are arbitrary”. Proses hukum ini “… protects the citizen against arbitrary actions of the government”. Karena itu inti dari proses hukum yang adil dan ideal adalah :
1.       Tersangka (maupun terdakwa) berhak untuk didengar pandangannya tentang bagaimana peristiwa yang dituduhkan padanya itu terjadi (hearing)
2.       Dalam pemeriksaan (sejak pertama kali di kepolisian) ia selalu berhak didampingi oleh penasihat hukum (legal counsel)
3.       Terdakwa berhak mendapat kesempatan yang seluas - luasnya untuk menyusun dan mengajukan pembelaannya (defense)
4.       Adalah kewajiban penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa dengan bukti-bukti yang sah menurut hukum (legal evidence)
5.       Pengadilan yang memeriksanya haruslah bebas dari tekanan. siapapun dan dengan hakim yang tidak berpihak (a fair and impartial court).[19]
Selain terjaminnya hak atas bantuan hukum, dalam sistem peradilan pidana seharusnya tercipta pula peradilan yang cepat, ringan dan murah. Dalam kasus Mbok Minah penulis mencontohkan betapa peradilan tidak berjalan cepat, ringan dan murah. Kerugian yang diderita oleh korban dalam perkara tersebut memang seharga Rp 2.100,-, namun Mbok Minah harus mengeluarkan uang sedikitnya Rp 50.000,- untuk sekali perjalanan ke Kejaksaan dan Pengadilan. Sistem seperti ini seharusnya bisa dipangkas, artinya sejak awal proses penyidikan sudah ditawarkan penyelesaian secara kekeluargaan untuk mencapai perdamaian. Apabila telah tercapai kesepakatan itu, kemudian dimintakan penetapan dari Pengadilan. Konsep seperti ini sebenarnya sudah terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak. Penulis berpendapat sistem peradilan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tersebut sangat layak diterapkan dalam Sistem Peradilan Pidana di masa depan. Dalam Sistem Peradilan Anak sangat mengedapankan keadilan restoratif di mana pada sistem tersebut menggunakan istilah diversi di semua tingkat pemeriksaan, yaitu pengalihan penyelesaian perkara pidana ke proses di luar peradilan pidana. Selain diversi perlu juga diadopsi lembaga plea bargaining untuk menyelesaikan perkara pidana yang berkeadilan sebagaimana di Amerika. Belum adanya lembaga Plea Bargaining di dalam hukum acara pidana, menuntut sikap hukum yang responsif dari pengadilan dan hakim dalam menjatuhkan pidana.[20]

D     Pembaharuan KUHP dan KUHAP untuk Menuju Keadilan Substansial
Setelah puluhan tahun dipergunakan sebagai dasar bagi penegakan hukum pidana, maka lambat laun KUHP dan KUHAP mengalami ketertinggalan dengan kemajuan ilmu pengetahun dan teknologi serta budaya masyrakat Indonesia, oleh karenanya sangat dirasa perlu untuk melakukan perubahan. Menurut Barda Nawawi Arif[21], latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural, atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum). Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentra sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Perlu adanya perubahan pula dalam peraturan hukum acara pidana di Indonesia. KUHAP yang sudah berjalan lebih dari 30 tahun tentu diperlukan pembaharuan. Di Indonesia sendiri pembaharuan KUHAP telah tertuang dalam RUU KUHAP.[22]Dalam RUU KUHAP 2012 terdapat hal-hal baru yang belum terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Acara pidana yang diatur dalam RUU KUHAP dilaksanakan secara wajar (fair) dan para pihak berlawanan secara berimbang (adversarial). Sifat berimbang pada RUU KUHAP ini akan melindungi kepentingan korban tindak pidana.[23]
Dalam RUU KUHP tahun 2012 disebutkan pada Pasal 12 di mana Hakim dalam mengadili suatu perkara pidana mempertimbangkan tegaknya hukum dan keadilan. Jika dalam mempertimbangkan tegaknya hukum dan keadilan terdapat pertentangan yang tidak dapat dipertemukan, hakim dapat mengutamakan keadilan.[24] Rumusan ini menunjukkan bahwa dalam penegakan hukum pidana hendaknya mengutamakan aspek keadilan dari pada kepastian hukum. Konsep ini sejalan dengan pemikiran Gustav Radburg yang lebih menekankan keadilan dalam hukum.

E      Keadilan Substansial dalam Konsep Penyelesaian Perkara Pidana
Setiap orang yang bersalah melakukan tindak pidana memang harus dihukum, namun perlu dipertimbangkan pula dari aspek sosiologis,  sebagai contoh semisal apabila pelaku tindak pidana tersebut adalah anak-anak atau nenek-nenek. Apabila pelaku anak-anak, maka dalam hukum pidana terdapat kekhususan yang disebut dengan pidana anak. Sebagai sarana pembaharuan masyarakat, hukum pidana anak merupakan bidang hukum yang sangat penting, karena hukum pidana merupakan bidang hukum yang memiliki perhatian potensi berkenaan dengan perlindungan anak.[25]
Suatu terobosan baru cara penyelesaian secara restoratif telah dilakukan Mahkamah Agung. Banyaknya kasus kecil seperti pencurian 6 piring oleh Rasminah mengusik hati nurani Mahkamah Agung. Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Nomor 2 Tahun 2012 mengenai Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. Jika sebelumnya yang disebut tindak pencurian ringan yang nilainya kurang dari Rp 250, kini diubah menjadi Rp 2,5 juta. Dengan dikeluarnya Perma ini maka jika selama ini kasus pencurian seperti kasus Rasminah tidak bisa dikenakan lagi Pasal 362 KUHP tentang pencurian biasa. Terobosan Mahkamah Agung ini bisa menjadi titik terang untuk mengembangkan ilmu hukum pidana, dan juga sebagai bukti  hukum itu untuk manusia sehingga hukum mengikuti perkembangan peradaban manusia.[26] Di tingkat penyidikan, Kapolri melalui Surat Nomor : B/ 3022/ XII/ 2009/ Sdeops tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus melalui Alternatif  Dispute Resolution (ADR) menjadi pedoman bagi penyidik untuk memberlakukan alternatif penyelesaian perkara sebelum dilakukan proses pidana. Menurut Surat Kapolri tersebut, penegakan hukum terkait dengan penanganan perkara pidana yang mempunyai kerugian materi/ekonomi sangat kecil, penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep ADR. Penyelesaian perkara melalui konsep ADR tersebut harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara, namun apabila tidak terjadi kesepakatan baru diselesaikan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Namun, walaupun Surat Kapolri tersebut mengatur tentang konsep ADR sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana, namun tidak dijelaskan perkara apa sajakah yang dapat diterapkan konsep ADR tersebut.[27]

F      Partisipasi Masyarakat dalam Penyelesaian Perkara Pidana
Hukum sangatlah dekat masyarakat, oleh karenanya hukum tersebut akan menjangkau seluruh aspek kehidupan. Brian Z. Tamanaha[28]menyampaikan bahwa hukum dan masyarakat memiliki bingkai yang disebut “The Law Society Framework” yang memiliki karakteristik hubungan tertentu. Hubungan tersebut ditunjukkan dengan dua komponen dasar. Komponen pertama terdiri dari dua tema pokok yaitu, ide yang menyatakan bahwa hukum adalah cermin masyarakat dan ide bahwa fungsi hukum adalah untuk mempertahankan “social order”. Komponen kedua terdiri dari tiga elemen yaitu custom/consent, morality/reason dan positive law. Custom/consent and morality/reason dapat dipahami dalam pemikiran Donald Black sebagai culture.
Dalam hal penyelesaian perkara pidana, masyarakat dapat berpartisipasi melalui sebuah lembaga yang mengawasi pelaksanaan sistem peradian pidana. Tidak hanya itu, menurut penulis masyarakat harus terlibat langsung dalam penegakan hukum pidana. Partisipasi masyarakat ini sangatlah penting, karena dari pandangan pandangan masyarakatlah dapat dinilai apakah proses penyelesaian perkara pidana itu dapat mewujudkan keadilan atau tidak. Menurut penulis penyelesaian perkara pidana hendaknya tidak dimonopoli oleh aparat penegak hukum. Justru dalam penyelesaian itulah masyarakat dilibatkan, sehingga tercapai keadaan yang seimbang. Penyelesaian dilakukan musyawarah dengan melibatkan keluarga pelaku, korban, dan masyarakat tempat kejadian perkara. Aparat penegak hukum seharusnya memfasilitasi musyarawah tersebut, dan melaksanakan apa yang telah disepakati dalam musyawarah. Hasil musyawarah menunjukkan bahwa perkara ini diselesaikan secara damai.



[1] Muhammad Taufiq. Kontroversi Hukum. Joglosemar. 25 November 2009
[2]     Dalam kegundahan dan rasa gelisah, namun diserati semangat cukup besar, ditampilkan sebuah pemikiran yang mencoba keluar dari hegemoni paradigma positivisme hukum, yaitu paradigma yang senantiasa memahamkan teori-teori mekanis, dilandasi keteraturan dan ketertiban.Anthon. F susanto berkeyakinan bahwa upaya untuk menampilkan pikiran alternatif itu bersifat radikal, agar realitas keilmuan hukum dapat dipotret secara utuh. Lihat.Anthon. F. Susanto. Op. Cit. Hal. 15-16
[3] Zulkifli, dkk. Op. Cit Hal 32-33
[4]     Syafuddin Kalo.Penegakan Hukum yang Menjamin Kepastian Hukum dan Rasa Keadilan Masyarakat, Suatu Pemikiran. Makalah disampaikan pada “Pengukuhan Pengurus Tapak Indonesia Koordinator Daerah Sumatera Utara”, pada hari Jum’at, 27 April 2007, bertempat di Gayo Room Garuda Plaza Hotel, Jl. Sisingamangaraja No. 18 Medan.
[5]     Lawrence M. Friedman. 1984.American Law : An invalueabe guide to the many faces of the law, and how it affects our daily lives. New York : W.W. Norton & Company. Hal. 6
[6] Mardjono Reksodipoetro, 1983, Bahan Bacaan Wajib Matakuliah Sistim Peradilan Pidana, Jakarta : Pusat Dokumentasi Hukum UI. selanjutnya disebut Marjono Reksodipoetro II. Hal 11-12
[7] Kompas, 2010. Elegi Penegakan Hukum, Kisah Sum Kuning, Prita, Hingga Janda Pahlawan Jakarta : Penerbit Buku Kompas. Hal 3
[8] Satjipto Rahardjo,2006. Membedah Hukum Progresif, Jakarta : Penerbit Kompas, Jakarta, Hal. ix
[9] Pendapat penulis berdasarkan hasil observasi serta wawancara dengan para hakim, jaksa, dan polisi.
[10] Anthon. F. Susanto. Op.Cit. Hal. 257
[11]    Muhammad Taufiq. Gagalnya Diplomasi Hukum Kita. Joglosemar, 22 Juni 2011
[12]    B. Arief Sidharta.Op. Cit. Hal. 88
[13]    Soetandyo Wigjosoebroto. Konsep Hukum, Tipe Kajian dan Metode Penelitiannya. Makalah disampaikan pada penataran Metodologi Penelitian Hukum di Fakultas HukumUnhas : Makasar, 4-5 Februari 1994

[14]    Ibid Hal 158-159
[15]    Upaya untuk mengurangi beban pengadilan (penumpukan perkara), di beberapa negara lain juga ditempuh dengan dibuatnya ketentuan mengenai “penundaan penuntutan” (“suspension of prosecution”) atau “penghentian/penundaan bersyarat” (“conditional dismissal/discontinu-ance of the proceedings”) walaupun bukti-bukti sudah cukup, seperti diatur dalam Pasal 248 KUHAP (Hukum Acara Pidana) Jepang *) dan Pasal 27-29 KUHP (Hukum Pidana Materiel) Polandia. (Lihat Barda Nawawi Arief, 2000.Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, cetakan ke -3 Semarang : BP UNDIP hal. 169-171).
[16] Tentang keadilan menurut positivisme hukum, Hans Kelsen menjelaskan apa arti sesungguhnya dari perkataan bahwa suatu tata sosial adalah tata yang adil. Pertanyaan ini berarti tata tersebut mengatur perbuatan manusia menurut suatu cara yang memuaskan bagi semua orang, sehingga semua orang menemukan kebahagiaannya di dalam tata tersebut. Kerinduan inilah yang tidak dapat ditemukan manusia sebagai seorang individu tersendiri dan oleh sebab itu berusaha mencarinya di dalam masyarakat. Keadilan adalah kebahagiaan sosial. Lihat. Anthon F. Susanto. Op. Cit. Hal. 282-283
[17]    Satjipto Rahardjo.2009.Hukum dan Perilaku.Jakarta : Kompas. Hal. 49-50
[18] Frans H. Winarta. 2009.Suara Rakyat Hukum Tertinggi.Jakarta : Kompas. Hal. 15
[19] Abdul Latief.2010. Jaminan UUD 1945 dalam Proses Hukum yang Adil, dalam Jurnal Konstitusi Volume 1 Nomor 1 Februari 2010 Hal. 59
[20] Artidjo Alkostar. Op. Cit. Hal. 4

[21]    Barda Nawawi Arif. 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru). Jakarta: Kencana. Hal. 28
[22]    RUU KUHAP terbaru diajukan oleh Presiden RI ke DPR tanggal 11 Desember 2012.
[23]    Lihat Pasal 133 RUU KUHAP 2012
[24]    Lihat Penjelasan Pasal 12 ayat (2) RUU KUHP 2012. Di sini dijelaskan bahwa keadilan dan kepastian hukum merupakan dua tujuan hukum yang kerap kali tidak sejalan satu sama lain dan sulit dihindarkan dalam praktik hukum. Suatu peraturan hukum yang lebih banyak memenuhi tuntutan kepastian hukum maka semakin besar pula  kemungkinan aspek  keadilan terdesak. Ketidaksempurnaan peraturan hukum ini dalam praktik dapat diatasi dengan jalan memberi penafsiran atas peraturan hukum tersebut dalam penerapannya pada kejadian-kejadian kongkret. Apabila dalam penerapan dalam kejadian kongkret, keadilan dan kepastian hukum saling mendesak, maka hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum.
[25]    Supriyanta.2012. Membangun Model Penanganan Tindak Pidana Anak Melalui Sistem Peradilan Pidana yang Sesuai dengan Prinsip Due Process of Law. Disertasi. Program Doktor Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret. Hal.6
[26]    Banyaknya kasus kecil sampai ke pengadilan karena pasal KUHP yang menyebut pencurian ringan maksimal kerugian Rp 250. Dengan kondisi sosial ekonomi sekarang, maka tidak ada lagi pencurian yang dikategorikan ringan. Nilai kerugian maksimal inilah yang diubah oleh Mahkamah Agung.
[28]   Satjipto Rahardjo. Pendekatan Holistik Terhadap Hukum. Bacaan untuk Mahasiswa Program doktor Ilmu Hukum Undip Oktober 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar