WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Rabu, 27 November 2013

MODEL PENYELESAIAN PERKARA PIDANA YANG BERKEADILAN SUBSTANSIAL



(Tulisan ini merupakan Disertasi Muhammad Taufiq pada program doktor Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pembaca dipersilahkan mengutip sebagaian atau seluruhnya dengan mencantumkan nama penulis beserta sumbernya)


ABSTRAK
MUHAMMAD TAUFIQ. T310908005. MODEL PENYELESAIAN PERKARA PIDANA YANG BERKEADILAN SUBSTANSIAL. Promotor : Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H.,M.Hum., Co. Promotor : Prof. Dr. Supanto, S.H.,M.Hum. Disertasi. Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Secara keseluruhan penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kegagalan proses penyelesaian perkara pidana di Indonesia dalam mewujudkan keadilan substansial. Selain itu penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan model ideal penyelesaian perkara pidana yang berkeadilan substansial. Hasil penelitian ini menghasilkan beberapa rekomendasi terkait penanganan perkara pidana di Indonesia yang salah satunya melalui model baru dari penulis.
Latar belakang penelitian ini berangkat dari beberapa peristiwa tindak pidana di Indonesia yang ternyata penanganannya oleh para aparat hukum menimbulkan ketidakpuasan dari masyarakat. Ketidakpuasan ini karena aparat hukum seperti polisi, jaksa dan hakim terlalu kaku dalam melaksanakan hukum acara pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP. Kebanyakan kasus-kasus tersebut menimbulkan kerugian yang tidak seberapa dan layak diselesaikan di luar pengadilan dengan perdamaian. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya, aparat penegak hukum tidak mempertimbangkan besar kecilnya kerugian yang ditimbulkan dan tidak pula melihat latar belakang terjadinya tindak pidana, atau di sisi lain vonis yang dijatuhkan hakim tidak selaras dengan rasa keadilan dalam masyarakat. Hal inilah yang akhirnya memunculkan reaksi dalam masyarakat terhadap aparat hukum.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum empiris dengan menggunakan pendekatan kasus. Data yang digunakan meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh penulis langsung dari sumbernya. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, studi pustaka, observasi, dan Focus Group Discussion (FGD), dan Teknik Sampling. Analisis data kualitatif dilakukan melalui tiga alur yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian penulis yang mendasarkan pada wawancara, observasi dan studi pustaka, maka pemahaman aparat penegak hukum di Indonesia menyamakan penegakan hukum sama dengan penegakan Undang-Undang, sehingga sangat diutamakan kepastian hukum. Akibatnya nilai keadilan dan kemanfaatan sering diabaikan. Inilah yang menjadi penyebab mengapa penyelesaian perkara dan sistem peradilan pidana tidak dapat menciptakan keadilan substansial. Oleh karenanya diperlukan model baru dalam penyelesaian perkara pidana. Model tersebut memberikan peluang kepada para pihak baik korban maupun pelaku untuk menyelesaikan perkara pidana itu secara damai dan seimbang. Tujuan utama yang ingin dicapai dalam model tersebut adalah terciptanya keadilan substansial.

Kata Kunci : Penyelesaian Perkara Pidana, Sistem Peradilan Pidana, Keadilan
Substansial.

ABSTRACT
MUHAMMAD TAUFIQ. T310908005. MODEL OF A RIGHTEOUS SOLUTION SUBSTANTIAL CRIMINAL MATTERS. Promotor: Prof. Dr.. Hartiwiningsih, SH, M.Hum., Co. Promotor: Prof. Dr. Supanto, SH, M.Hum. Dissertation. Doctor of Science Law of Faculty of Law Sebelas Maret University, Surakarta.
Overall, this study aims at investigating the failure of the criminal settlement process in Indonesia in creating substantial justice. Additionally, this study intends to find out the ideal model of a righteous solution of substantial criminal matters. Results of this study produce some recommendations related to the handling of the criminal matters in Indonesia, one of those is through a new model found by the author.
The background of this study started from some criminal events happened in Indonesia which in the reality were handled by the law enforcement officers that raise dissatisfaction from the society. This dissatisfaction is caused by the law enforcement officers such as the police, prosecutors and judges are too rigid in implementing the criminal law as regulated in the Criminal Procedure Code (KUHAP). Most of these cases result in losses that are not worth to be solved in the court which is actually can be done out of the court and gain the reconciliation statement. On the other hand, the opposite happens occasionally. The law enforcement officers do not consider the size of the losses and do not look at the background of the crime. In another words, the sentencing decided by the judges is not aligned with the sense of justice in society. This is what ultimately led to be the reaction of the society towards the law enforcement officers.
This research is an empirical legal research using case-based. This study used primary and secondary data. Primary data obtained by the author directly from the source. The data were collected through interviews, literature studies, observations, and Focus Group Discussions (FGD), and Sampling Techniques. Qualitative data analysis was done through three grooves of data reduction, data presentation, and conclusion withdrawal.
From the results of the study that is based on the interviews, observations and literature studies, the understanding of law enforcement in Indonesia equalize law enforcement with legislation enforcement, so it needs the legal certainty in the reality. As a result, the value of justice and expediency often neglected. This is the cause why the settlement and the criminal justice system can not create substantial justice. Therefore, it can be stated that the law in Indonesia requires a new model in the resolution of the criminal case. The model provides an opportunity to all the parties, both the victims and the perpetrators to resolve the criminal case in a peaceful and balance situation. The main objective to be achieved in the model is the creation of substantial justice.

Keywords: Criminal Case Settlement, Criminal Justice System, Substantial Justice

I.      PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah
Pembangunan hukum di Indonesia saat ini secara umum belum sesuai dengan yang diharapkan. Sistem hukum yang mengedepankan kepastian hukum dalam bentuk aturan normatif semata yang mempengaruhi pemikiran para Sarjana Hukum menjadi salah satu penyebab belum berhasilnya penegakan hukum. Begitu banyak dampak yang dirasakan bila semua penegak hukum dan sarjana hukum berpikiran positifis, yaitu suatu masalah selalu dicari kepastian hukum atau sumber hukumnya terlebih dahulu untuk menyelesaikannya.
Hal inilah yang mendorong penulis menyusun disertasi mengenai Model Penyelesaian Perkara Pidana Yang Berkeadilan Substansial, agar tercapai keadilan yang sesungguhnya. Gustav Radbruch[1], seorang filosof hukum Jerman mengajarkan konsep tiga ide unsur dasar hukum  yang oleh sebagian pakar diidentikkan juga sebagai tujuan hukum. Dengan kata lain, tujuan hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Bagi Radbruch, ketiga unsur itu merupakan tujuan hukum secara bersama-sama, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Pada bagian lain terkadang hukum dapat menjadi penghambat. Misalnya saja ketika terjadi pelanggaran hak yang dilakukan oleh seseorang, maka akan menimbulkan konsekuensi bahwa hukum tersebut akan dicabut dari dirinya berdasarkan putusan pengadilan yang adil.[2] Menurut Suteki,[3] seringkali sebagian masyarakat memahami hukum hanya sekedar sebagai perangkat peraturan hukum positif yang tercerabut dari pemahaman aspek filosofi dan sosiologisnya, sehingga gambar hukum yang ditampilkan tidak utuh melainkan hanya sebuah fragmen atau skeleton, yakni peraturan perundang-undangan saja. Hal tersebut mendorong munculnya anggapan bahwa apabila hukum telah diselenggarakan sebagaimana tertulis yang berupa huruf-huruf mati (black letter law) seolah-olah pekerjaan pencarian keadilan itu telah selesai.
Suteki[4] mencontohkan beberapa fenomena peradilan terhadap “wong cilik” (the poor) yang kemudian oleh penulis ditambahkan kasus-kasus baru misalnya:
1.     Kasus pencurian satu buah semangka (di Kediri), Cholil dan Basar Suyanto dipidana 15 hari percobaan 1 bulan.[5]
2.      Kasus pencurian kapuk randu seharga Rp 12.000 (4 anggota keluarga ditahan di LP Rowobelang) dan para terdakwa dipidana penjara 24 hari.[6]
3.     Kasus Pak Klijo Sumarto (76) tersangka pencurian setandan pisang kluthuk mentah seharga Rp 2.000 di Sleman : 7 Desember 2009 (mendekam di LP Cebongan Sleman).[7]
4.     Kasus mbok Minah (dituduh mencuri 3 biji kakao seharga Rp 2.100 : 2 Agustus 2009, dihukum pidana percobaan 1 bulan 15 hari).[8]
5.     Kasus Lanjar Sriyanto (Karanganyar) yang didakwa menyebabkan kematian istrinya karena kecelakaan motor di Karanganyar, tragis kasus ini karena isterinya meninggal dunia dan dia sendiri ditahan.[9]
6.     Kasus Aspuri tentang pencurian sehelai baju tetangganya seharga Rp 10.000, ditahan pada bulan November 2009.[10]
7.     Kasus pencurian sepasang sandal jepit milik anggota Polisi yang dilakukan oleh AAL (15 tahun) yang tetap dinyatakan bersalah meskipun sandal yang dimaksud terbukti bukan milik anggota polisi yang dimaksud.[11]
8.     Kasus Rasminah, seorang nenek yang didakwa mencuri enam biji piring majikannya. Dalam kasus ini Harifin Tumpa yang merupakan mantan Ketua Mahkamah Agung memberikan tanggapan bahwa kasus ini seharusnya tidak perlu sampai pengadilan artinya cukup didamaikan pihak kepolisian agar supaya ada keseimbangan.[12]
9.     Kasus Rawi (66 tahun) yang didakwa mencuri 50 gram merica. Pengadilan Negeri Sinjai memvonis Rawi selama 2 bulan 25 hari.[13]
10.     Kasus suporter Singo Edan (Indra Azwan) yang menuntut keadilan, agar polisi yang menabrak mati anaknya pada tahun 1993 lalu dihukum. Kasus ini tidak ada kelanjutannya yang jelas.[14]
11.     Misbakhul Munir dan Budi Hermawan, keduanya dijadikan Terdakwa di Pengadilan Negeri Magelang karena memotong dua pohon bambu yang menimpa rumah warga. [15]
12.     Nani Setyowati, ibu rumah tangga 45 tahun yang mengalami kecelakaan lalu lintas saat memboncengkan anaknya. Anaknya yang bernama Kumariah Sekar Hamidah tewas terlindas truk, sedangkan Nani sendiri harus dirawat di rumah sakit karena kaki kanannya patah[16]
13.     Kasus Rasyid Rajasa (putra Menko Perekonomian, Hatta Rajasa). Rasyid mengantuk saat mengemudi sehingga menabrak mobil di depannya. Kasus ini menyebabkan dua orang tewas dan tiga orang luka-luka.[17]
Contoh-contoh di atas menunjukkan lemahnya sistem penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Fenomena tersebut pada akhirnya membentuk sebuah persepsi di masyarakat yaitu mahalnya keadilan bagi rakyat kecil. Hukum yang sekarang berlaku mudah diputarbalikkan dengan undang-undang, sehingga landasan penegakan hukum bukanlah keadilan tetapi undang-undang.
Penulis berpendapat penyelesaian perkara pidana seharusnya berpedoman pada prinsip keadilan dan keseimbangan bagi masing-masing pihak. Keadilan yang dimaksud adalah keadian substansial, penulis di sini menilai bahwa keadilan substansial harus dikedepankan. Keadilan substansial itu sendiri merupakan keadilan yang seimbang antara pelaku dan korban tindak pidana. Pelaku tindak pidana harus bertanggung jawab dan memberikan ganti kerugian terhadap korban, dan korban memaafkan pelaku tindak pidana. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka penulis melakukan penelitian ini.

B.   Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan pokok yang dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini adalah :
1.     Mengapa proses penyelesaian perkara pidana dalam sistem peradilan pidana saat ini tidak dapat mewujudkan keadilan substansial ?
2.     Bagaimana model penyelesaian  perkara pidana yang berkeadilan substansial ?

C.   Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1.           Penyelesaian perkara pidana saat ini hanya mengacu pada hal-hal yang tertulis dalam undang-undang saja. Akibatnya banyak dirasakan oleh masyarakat yang sebenarnya menginginkan penyelesaian yang cepat dan berkeadilan substansial. Munculnya fenomena kasus orang kecil menunjukkan bahwa penegakan hukum pidana masih memiliki banyak kelemahan dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelemahan penyelesaian perkara pidana dalam sistem peradilan pidana yang berlaku saat ini agar dapat terwujud keadilan substansial.
2.           Beranjak dari dirasakannya kelemahan-kelemahan dalam penyelesaian perkara pidana, maka penulis mempunyai sebuah gagasan untuk menciptakan suatu model penyelesaian perkara pidana yang lebih mengedepankan aspek substansial dan tidak terikat dengan formalitas sebagaimana diatur dalam undang-undang saat ini. Oleh karena itu hasil penelitian ini diharapkan dapat menemukan sebuah model penyelesaian perkara pidana yang berkeadilan subtansial.

D.   Manfaat Penelitian
                       1.            Sistem peradilan pidana yang berlaku saat ini menimbulkan ketidakpuasan dalam masyarakat. Ini terjadi karena hasil akhir dari penanganan perkara pidana ini tidak bisa memberikan jaminan keadilan secara substansial. Secara praktis hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang kelemahan sistem peradilan pidana yang berlaku saat ini, sehingga dapat dicari model penyelesaian lain yang mengedepankan keadilan subtansial. Dengan demikian dapat diwujudkan sebuah konsep yang mampu merekonstruksi sistem peradilan pidana. Di samping itu penelitian ini menghasilkan sebuah konsep penanganan perkara pidana baru sebagai alternatif penyelesaiannya. Melalui konsep penyelesaian yang ditawarkan oleh penulis maka penyelesaian perkara pidana lebih mengedepankan aspek keadilan sehingga hasil akhir dari proses penyelesaian tersebut ialah terciptanya kembali harmonisasi sosial dalam masyarakat.
                       2.            Penelitian ini dapat menjadi referensi untuk menciptakan suatu tatanan hukum menghasilkan pula konsep penanganan perkara pidana baru sebagai alternatif penyelesaiannya. Bagi kepentingan pengambil kebijakan, penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pembentuk undang-undang dan penegak hukum. Bagi pembentuk undang-undang penelitian ini sebagai masukan pembaruan kebijakan formulasi sistem peradilan pidana di Indonesia ke depan.

II.   LANDASAN/ KAJIAN TEORI
Dalam Penelitian ini penulis menggunakan beberapa teori keadilan sebagai pisau analisis. Adapun teori-teori keadilan tersebut di antaranya teori keadilan Aristoteles, Teori Keadilan John Rawls, Teori Keadilan Hukum Murni dari Hans Kelsen, dan Teori Keadilan Hukum Islam. Teori-teori tersebut kemudian penulis hubungkan dengan keadilan substansial. Aristoteles telah memberikan arti keadilan bahwa, “justicia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi”. Keadilan tidak lain merupakan kehendak yang ajeg dan menetap untuk memberikan masing-masing bagiannya. Pendapat Aristoteles juga memunculkan adanya dua macam keadilan yaitu keadilan distributief dan keadilan commutatief.[18] Sementara John Rawls telah menyempurnakan prinsip-prinsip keadilannya menjadi sebagai berikut: Pertama, setiap orang memiliki klaim yang sama untuk memenuhi hak-hak dan kemerdekaan dasarnya yang kompatibel dan sama jenisnya untuk semua orang, serta kemerdekaan berpolitik yang sama dijamin dengan nilai-nilai yang adil; Kedua, ketidaksamaan sosial dan ekonomi dapat dipenuhi atas dasar dua kondisi, yaitu: (a) melekat untuk jabatan-jabatan dan posisi-posisi yang dibuka bagi semua orang di bawah kondisi adanya persamaan kesempatan yang adil; dan (b) kemanfaatan sebesar-besarnya bagi anggota-anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan.[19]
Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa upaya untuk memuaskan keadilan setiap orang dapat difokuskan kepada pendapat mayoritas. Keadilan yang dirasakan mayoritas penduduk dapat dipandang sebagai keadilan yang mewakili masyarakat secara umum. Keadilan mayoritas membawa kepada sistem demokrasi yang berlaku di negara-negara modern. Semakin modern sebuah sistem politik dan hukum di suatu negara, sudah sewajarnya semakin adil keadilan hukum di negara tersebut.[20]Namun, kehendak mayoritas menurut penulis tidak dapat dijadikan pedoman dalam menetukan nilai keadilan itu sendiri. Kehendak mayoritas bisa saja salah dan tidak mewujudkan nilai substansi keadilan. Keadilan substansial lebih diterapkan karena ukuran keadilan bukan dilihat pada pendapat mayoritas ataupun minoritas melainkan keseimbangan antara para pihak.
Keadilan dikaitkan dengan hukum Islam maka, “adil” Kata ‘adl dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali dalam Al Quran. Kata ‘adl sendiri disebutkan 13 kali, yakni pada Surat Al Baqarah ayat 48, 123, dan 282 ; Surat  An-Nisa’ ayat 58; Surat Al-Ma’idah ayat 95, 106; Surat Al-An‘am ayat 70; Surat An-Nahl ayat 76, 90; Surat Al-Hujurat ayat 9; serta Surat Ath-Thalaq ayat 2. Kata ‘adl dalam Al-Quran memiliki aspek dan objek yang beragam, begitu pula pelakunya. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna ‘adl (keadilan). Pengertian ini yang paling banyak terdapat di dalam Al-Quran, antara lain pada Surat An-Nisa’ ayat 3, 58 dan 129; Surat Asy-Syura ayat 15; Surat Al-Ma’idah ayat 8; Surat An-Nahl ayat 76, 90; dan Surat Al-Hujurat ayat 9. Kata ‘adl dengan arti sama (persamaan) pada ayat-ayat tersebut yang dimaksud adalah persamaan dalam hak. Dalam Islam, antara keimanan dan keadilan tidak terpisah. Orang yang imannya benar dan berfungsi dengan baik akan selalu berlaku adil terhadap sesamanya. Hal ini tergambar dengan sangat jelas dalam Surat Al Maidah ayat 8. Menurut pendapat penulis  keadilan dalam Islam mendasari tercapainya keadilan substansial karena dalam Islam antara keimanan dan keadilan adalah dua hal yang tidak terpisahkan, artinya dengan keimanan ia bisa menentukan hukum positif demi mewujudkan keadilan substansial. Keadilan dalam Islam tidak bicara mengenai prosedur dalam penyelesaian perkara, melainkan bagaimana terwujudnya keadilan tersebut bagi para pihak. Hal ini bisa dilihat dalam kasus Darsem dan Ahmad Fauzi, yang setelah dilakukan proses negosiasi dengan melibatkan keluarga pelaku dan korban serta pemerintah tidak jadi dieksekusi. Proses ini sejalan dengan ide penyelesaian perkara pidana yang berkeadilan substansial yang digagas oleh penulis. Dengan demikian, proses penyelesaian perkara pidana bukanlah monopoli atau berada pada area pelaku tindak pidana dan negara. Berdasarkan teori-teori keadilan di atas, maka kemudian penulis mengemukakan tentang arti keadilan substansial dan dikaitkan dalam perspektif Pancasila.
Selain teori keadilan, penulis menggunakan pula teori hukum pidana sebagai dasar pengetahuan tentang arti dan tujuannya. Hubungannya dengan konsep pembangunan sistem hukum nasional, dalam penulis menggunakan teori sistem hukum sebagaimana disampaikan oleh Lawrence M. Friedman, di mana sistem hukum tersebut terdiri atas tiga komponen yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Pengkajian tentang teori sistem hukum itu pula dikaji lebih lanjut dengan teori berlakunya hukum dari Seidman. Di samping itu pembangunan sistem hukum penulis kaji dengan teori berlakunya hukum yang disampaikan Robert Seidman. Menurut Seidman, secara garis besar bekerjanya hukum dalam masyarakat akan ditentukan oleh beberapa faktor utama. Faktor-faktor tersebut antara lain :
                            1.            Bersifat yuridis normatif (menyangkut pembuatan peraturan perundang-undangannya)
                            2.            Penegakannya (para pihak dan peranan pemerintah)
                            3.            Serta faktor yang bersifat yuridis sosiologis (menyangkut pertimbangan ekonomis serta kultur hukum pelaku bisnis)[21]
Dalam hubungannya dengan konsep hukum, penulis mengkaji berdasarkan teori yang disampaikan oleh Philipe Nonet dan Philip Selznick. Pandangan keduanya sangat fokus terhadap pengayaan dalam ilmu hukum terutama dalam menganalisis institusi-institusi hukum.[22] Philipe Nonet dan Philip Selznick membedakan tiga jenis hukum yaitu: hukum represif, hukum otonom dan hukum responsif. Menurut Nonet dan Selznick hukum responsif merupakan teori tentang profil hukum yang dibutuhkan dalam masa transisi. Karena harus peka terhadap situasi transisi di sekitarnya, maka hukum responsif tidak saja dituntut menjadi sistem yang terbuka, tetapi juga harus mengandalkan keutamaan tujuan, yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dalam bekerjanya hukum itu. Dalam teori hukum responsif, Nonet dan Selznick menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik.[23]
Pembangunan sistem peradilan pidana di Indonesia ke depannya menurut penulis perlu dikembangkan melalui pendekatan restorative justice. Restorative justice tersebut erat kaitannya dengan konsep hukum progresif sebagaimana disampaikan oleh Satjipto Rahardjo. Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis menguraikan pula teori restorative justice beserta contoh penerapannya di negara lain. Ciri yang menonjol dari restorative justice, kejahatan ditempatkan sebagai gejala yang menjadi bagian tindakan sosial dan bukan sekedar pelanggaran hukum pidana semata.[24]
Menurut TF. Marshall[25] dalam Papernya Restorative justice : An Overview, menjelaskan tujuan Restorative Justice sebagai berikut :
-         to attend fully to victims’ needs – material, financial, emotional and social including those personally close to the victim who may be similarly affected. (untuk memenuhi sepenuhnya kebutuhan korban - material, keuangan, emosional dan sosial termasuk mereka yang secara pribadi dekat dengan korban yang mungkin juga terpengaruh).
-         to prevent re–offending by reintegrating offenders into the community. (untuk mencegah terulangnya pelanggaran dengan kembalinya pelaku kedalam masyarakat)
-         to enable offenders to assume active responsibility for their actions. (memungkinkan pelaku untuk memikul tanggung jawab aktif atas tindakan mereka)
-         to recreate a working community that supports the rehabilitation of offenders and victims and is active in preventing crime. (untuk menciptakan sebuah komunitas kerja yang mendukung rehabilitasi pelaku dan korban dan aktif dalam mencegah kejahatan)
-         to provide a means of avoiding escalation of legal justice and the associated costs and delays. (untuk menyediakan sebuah sarana menghindari eskalasi keadilan hukum dan biaya yang terkait serta penundaan)

Selanjutnya Tony F Marshall[26] dalam paper yang sama juga menyatakan sebagai berikut :
“Restorative justice is centrally concerned with restoration: restoration of the victim, restoration of the offender to a law - abiding life, restoration of the damage caused by crime to the community. Restoration is not solely backward-looking; it is equally, if not more, concerned with the construction of a better society in the present and the future.”

Hal tersebut berarti perhatian Restorative justice berpusat pada pemulihan: pemulihan korban, pemulihan pelaku untuk hidup taat kepada hukum, pemulihan kerusakan yang disebabkan oleh kejahatan kepada masyarakat.

III.           METODE PENELITIAN
A     Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan tiga pendekatan yaitu pendekatan kasus, perundang-undangan dan pendekatan yuridis sosiologis. Pendekatan Kasus (case approach), dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan dan berkekuatan hukum tetap. Hal yang menjadi kajian pokok dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan.[27] Dalam penelitian ini Penulis mengambil beberapa contoh kasus yang ditelaah sebagai referensi bagi suatu isu hukum. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) dilakukan dengan cara menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkutan dengan permasalahan yang sedang dibahas. Hasil dari telaah tersebut merupakan argumen untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. Penelitian ini menggunakan pula pendekatan yuridis sosiologis, yaitu penelitian hukum yang menekankan pada langkah-langkah observasi dan analisis yang bersifat empiris-kualitatif, maka sering disebut pula dengan “sociolegal research”.[28]
B      Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapat penulis dari sumber pertama baik dari individu atau perseorangan seperti hasil wawancara, kuesioner yang dibuat dan disebarkan oleh peneliti kepada hakim, jaksa, polisi dan pengacara. Untuk penelitian ini penulis mengadakan serangkaian wawancara dengan aparat penegak hukum, antara lain jaksa pada Kejaksaan Negeri Karanganyar, pejabat intel Kejaksaan Agung, ketua Pengadilan Negeri Jepara, Hakim-hakim Pengadilan Negeri Jepara, Ketua Pengadilan Negeri Sukoharjo, dosen hukum yaitu : Sudaryono, Triyanto, dan Ustadz Abdullah. Data Sekunder terdiri atas bahan hukum  primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
C      Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka, observasi, wawancara, focus group discussion, dan teknik sampling.  Studi pustaka dilakukan dengan cara melakukan penelusuran informasi kepustakaan yang menggambarkan pandangan-pandangan terdahulu maupun sekarang tentang topik penelitian yang terdapat dalam jurnal-jurnal, buku-buku, maupun dokumen lain yang sejenis. Studi pustaka juga penulis gunakan untuk mengumpulkan literatur-literatur yang relevan dengan topik penelitian.[29] 
Observasi lapangan dilakukan penulis untuk memberi perhatian khusus, melihat, dan mendengar dengan seksama. Peneliti menggunakan semua perasaan untuk mencatat apa yang dilihat, didengar, dicium, dirasakan dan disentuh. Peneliti menjadi instrumen untuk menyerap semua sumber informasi yang ada di lapangan.[30]
Penulis melakukan observasi sistematis maupun non-sistematis. Instrumen observasi sistematis berupa pedoman observasi sedangkan untuk observasi non-sistematis tidak memerlukan instrumen pengamatan. Pedoman observasi berisi sebuah daftar jenis kegiatan yang timbul dan diamati. Dalam proses observasi, peneliti memberikan tanda pada kolom tempat peristiwa. Adapun pelaksanaannya peneliti lakukan dalam bentuk mengikuti proses persidangan, melakukan wawancara dengan pelaku, korban, polisi hakim serta jaksa. Peneliti secara aktif terlibat di dalamnya termasuk menjadi penasihat hukum dalam kasus yang dijadikan bahan penelitian. Pelaksanaan observasi dalam penelitian ini penulis lakukan di Pengadilan Negeri  Jepara, Kejaksaan Negeri Karanganyar, Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Sukoharjo, Polresta Surakarta.
Penelitian ini menggunakan model wawancara terstruktur (structured interview) dan tidak terstruktur (unstructured interview). Wawancara terstruktur menggunakan instrumen berupa pedoman wawancara (tertulis) yang dibuat sebelum melakukan wawancara. Sebelum wawancara terstruktur peneliti memberitahu narasumber lebih dahulu untuk membuat kesepakatan waktu dan tempat wawancara termasuk kisi-kisi wawancara. Adapun wawancara tidak terstruktur tidak menggunakan pedoman baku di mana peneliti bertanya, mendengarkan, merasakan, dan merekam semua yang dikatakan narasumber secara natural/ informal.[31] Wawancara tidak terstruktur dilakukan dengan teknik sampling atau tanpa sepengetahuan narasumber. Dalam penelitian ini Penulis melakukan wawancara dengan para Hakim di Pengadilan Negeri Jepara yaitu H. Rohendi, Purwono, Adrianus Agung Putranto, Dadi Rachmadi, Boy Syailendra, Derman Parlungguan Nababan, dan Moch. Arif Satrio. Di Pengadilan Negeri Sukoharjo Penulis melakukan wawancara dengan Dwitomo selaku Ketua Pengadilan Negeri Sukoharjo. Di Kejaksaan Negeri Karanganyar Penulis melakukan wawancara dengan Yudha Tangguh Alasta, Faisal Banu, 7 orang jaksa lainnya. Di Kejaksaan Agung Jakarta Penulis melakukan wawancara dengan Puji Tri Asmoro selaku satgas intel. Di Arab Saudi Penulis juga mewancarai Ustadz Abdullah Bin Ibnu Abbas alumni Universitas Madinah. Wawancara dilakukan penulis mengenai hukum pidana di Arab.
Focus Group Discussion  yang telah penulis lakukan merupakan teknis khusus dalam penelitian kualitatif ini di mana beberapa orang secara informal diwawancarai dalam sebuah diskusi kelompok.[32]Focus Group Discussion (FGD) merupakan bentuk diskusi kelompok terarah.[33]Pada tanggal 27 Desember 2011 penulis mengadakan FGD bertempat di Kantor Harian Umum Joglosemar Solo. FGD ini mendiskusikan tema tentang Keadilan Substansial dan dilakukan kurang lebih selama 90 menit. Penulis melakukan FGD dengan 16 orang di mana salah satu bertindak sebagai moderator. Narasumber di antaranya Kasat Reskrim Polresta Surakarta Kompol Edi Suranta Sitepu, SIK, Wakil Ketua Pengadilan Agama Surakarta Drs. Aam Amarullah, M.H., Dosen Hukum Pidana FH UMS Sudaryono, S.H., M.H., Dosen Kewarganegaraan FKIP UNS Dr. Triyanto Pujowinarto, S.H. M.Hum., sejumlah pengacara dan wartawan.  Masalah yang dibahas dalam FGD ini adalah  mengenai penegakan hukum dan  alternatif penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan keadilan, dengan membahas  kasus-kasus yang terjadi di sekitar Wilayah Surakarta. 

D     Teknik Analisis Data
Analisis data kualitatif terdiri dari tiga alur kegiatan yang dilakukan  penulis secara bersamaan yaitu : reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemfokusan, penyederhanaan, abstraksi, dan transformasi terhadap data kasar yang diperoleh dari catatan lapangan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis data yang bertujuan untuk menajamkan, mengelompokkan, memfokuskan, pembuangan yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data untuk memperoleh kesimpulan final. Penyajian data dilakukan dengan menyajikan sekumpulan informasi yang tersusun dalam suatu kesatuan bentuk yang disederhanakan, selektif dalam konfigurasi yang mudah dipakai sehingga memberi kemungkinan adanya pengambilan keputusan. Setelah data tersaji secara baik dan terorganisasi maka dilakukan penarikan kesimpulan atau verifikasi.[34]
Dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan seluruh data yang didapatkan dalam penelitian, yang sekiranya  data tersebut relevan dengan kepentingan atau tujuan penelitian ini langsung penulis sajikan dan kemudian ditarik kesimpulan. Namun demikian sekiranya data yang disajikan atau ditampilkan ternyata kemudian kurang begitu relevan kemudian peneliti kesampingkan, baru yang memenuhi persyaratan untuk kepentingan penelitian ditampilkan, sesudah itu baru diambil kesimpulan.


[1] Gustav Radbruch, Teori Gabungan (vereniging theori), http://id.shvoong.com, diakses 26 Agustus 2011 Gustav Radbruch adalah seorang filosof hukum dan seorang legal scholar dari Jerman yang terkemuka yang mengajarkan konsep tiga ide unsur dasar hukum. Ketiga konsep dasar tersebut dikemukakannya pada era Perang Dunia II. Hukum menjalankan fungsinya sebagai sarana konservasi kepentingan manusia dalam masyarakat. Tujuan hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai yang membagi hak dan kewajiban antara setiap individu di dalam masyarakat. Hukum juga memberikan wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.
[2] Adrianus Meliala, Penyelesaian Sengketa Alternatif : Posisi Dan Potensinya di Indonesia, makalah, FISIP Universitas Indonesia, Jakarta.Hal. 2
[3] Lihat Suteki, Kebijakan Tidak Menegakkan Hukum (Non Enforcement of Law) Demi Pemuliaan Keadilan Substansial, Pidato Pengukuhan, Disampaikan pada Penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, di Semarang pada tanggal 4 Agustus 2010, hal 5-7. Menurut Suteki pula, selama ini hukum hanya dipahami sebatas skeleton legal formalistik yang terasing dengan masyarakatnya dan sering kali terpasung legalitas formalnya, sehingga tidak mampu menghadirkan keadilan substantif  kepada rakyatnya (bringing substantive justice to the people), bahkan seringkali penegak hukum justru menjadi predator keadilan (predator of justice).
[4] Suteki, Kebijakan Tidak Menegakkan Hukum (Non Enforcement of Law) Demi Pemuliaan Keadilan Substansial, Pidato Pengukuhan, Disampaikan pada Penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, di Semarang pada tanggal 4 Agustus 2010, hal 5-6
[6] Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan. Advokasi Tindak Pidana Ringan dan Pengefektifan Denda sebagai Alternatif Hukuman. http://www.leip.or.id/kegiatan/239-advokasi-tindak-pidana-ringan-dan-pengefektifan-denda-sebagai-alternatif-hukuman.html. Diakses tanggal 1 Juni 2012. Pukul 12.47
[8] Mbok Minah (60-an tahun) , seorang Nenek miskin di desa Darmakradenan, Banyumas, Jawa Tengah. Ia harus berhadapan dengan dengan tuntuan hukum di Meja Hijau akibat Laporan Pihak PT Rumpun Sari Intan, sebuah perusahaan perkebunan coklat atas tuduhan “telah mencuri tiga biji kakao”. Hanya dengan dalil pencurian senilai Rp. 2.100,- kekuatan uang bisa menggiring seorang lansia miskin dan buta hukum sampai berkorban secara moril, energi, dan materi yang jauh lebih banyak. Hakim yang kemudian menjatuhkan sanksi 1,5 bulan (dengan tidak perlu masuk kurungan) pun sempat meneteskan air mata kesedihan saat membacakan putusan, karena sebenarnya dia menganggap kasus itu tidak perlu sampai di ruang persidangan. Namun apa boleh buat ia hanya menjalankan tugas lantaran berkasnya sudah memenuhi syarat. Lihat Laode Ida. 2010.Negara Mafia. Yogyakarta : Galang Press. Hal. 45
[9] Penulis menjadi pengacara Lanjar pada persidangan ke -3 tanggal 7 Januari 2010, Lanjar  diadili di Pengadilan Negeri Karanganyar didakwa sebagai penyebab kematian istrinya yakni pada hari Senin, 21 September 2009 sekira pukul 08.10 WIB, terdakwa Lanjar Sriyanto mengendarai sepeda motor Yamaha No.Pol. AD-5630-U dari Colomadu menuju Solo atau dari arah barat menuju ke timur dengan kecepatan ± 60 km/jam berjalan searah di belakang kendaraan Suzuki Carry, dalam jarak yang terlalu dekat Suzuki Carry di depannya tiba-tiba berhenti mendadak sehingga terdakwa menabrak Suzuki Carry tersebut yang kemudian melarikan diri, akibat tabrakan itu terdakwa dan pemboncengnya Samto Warih Waluyo terjatuh ke kiri, sedangkan istrinya Saptaningsih terlempar ke kanan atau arah selatan, namun sungguh malang dari arah berlawanan muncul kendaraan Izusu Panther milik anggota Kepolisian Ngawi No.Pol. AE-1639-JA langsung menabrak kepala yang mengakibatkan kematian istrinya. Selama persidangan mobil Panther dan pengemudi tidak pernah dijadikan alat bukti atau tersangka, justru Lanjar dijadikan tersangka tunggal sebagaimana yang diatur dan diancam dalam Pasal 359 KUHP. Kasus ini menjadi kontroversi dan mendapat liputan banyak media, termasuk Kick Andy Metro TV dalam episode Peradilan Sesat “Lanjar Sriyanto “ Pada persidangan ke-3 Lanjar ditangguhkan penahanannya setelah sempat ditahan selama 1 bulan 7 hari, di akhir persidangan Lanjar dinyatakan bersalah tetapi tidak dapat dihukum karena apa yang dilakukannya dalam kondisi terpaksa yang tak seorangpun manusia dapat menghindarkannya. Namun Mahkamah Agung Republik Indonesia berpendapat lain pada perkara tingkat Kasasi Lanjar Siyanto justru divonis bersalah dan dihukum percobaan 2 bulan 15 hari.
[13]Rawi dihadapkan ke meja hijau setelah dua orang tetangganya bernama Rustam dan Camat mengadukannya ke aparat kepolisian Polsek Sinjai Selatan dalam tuduhan pencurian setengah ons merica, milik Abbase di Dusun Sengkang, Desa Bulukamase, Kecamatan Sinjai Selatan. Namun dalam perjalanan kasusnya, entah mengapa jumlah barang bukti kemudian bertambah dari setengah ons menjadi setengah kilo. Adanya dugaan rekayasa kasus terungkap setelah salah seorang tahanan Polsek Sinjai Selatan yang satu sel dengan terdakwa menjadi saksi di persidangan dan membeberkan rekayasa yang diduga dilakukan oleh kapolsek. Lihat http://regional.kompas.com/read/2012/02/09/22220682/Mencuri.Setengah.Ons.Merica..Kakek.Rawi.Dipenjara Diakses tanggal 5 Juni 2012 Pukul 11.12
[14]Kasus yang menimpa keluarga INDRA AZWAN  asal genuk watu Barat Kota Malang tersebut terjadi pada tahun 1993 adalah putra pertamanya RIFKY ANDIKA (almarhum) yang pada saat itu berusia 12 tahun. Waktu itu 8 Pebruari 1993 masih kelas 6 SD pulang belajar kelompok, ketika sedang menyeberang di tengah jalan Letjen. S. Parman ditabrak sebuah mobil NOPOL L 512 BN yang kemudian langsung melarikan diri. Setelah tabrakan terjadi ada orang yang mengejar mobil tersebut yang ternyata langsung masuk kantor POLWIL MALANG, pada waktu itu di Jalan Jaksa Agung Suprapto Malang, ternyata seorang polisi atas nama Lettu DJOKO SUMANTRI. Lihat http://sangpencarikeadilan.blogspot.com/p/indra-azwan.html diakses tanggal 6 Juni 2012 Pukul 13.32
[15]Lihat http://www.seputar-indonesia.com/news/munir-dan-budi-akhirnya-menghirup-udara-bebas. Diakses pada tanggal 5 Februari 2013 Pukul 14.13.
[17]Lihat http://m.tribunnews.com/2013/03/26/rasyid-rajasa-si-anak-menteri-diberi-vonis-ringan-ini-dia-alasannya.
[18] Arief Nugroho, Dyah Hapsari Prananingrum. Ketidak Adilan dalam Perjanjian Jual-Beli Sayur. dalam Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 10 No. 2. September 2007. Hal. 212
[19]Pan Mohamad Faiz.2009. Teori Keadilan Jhon Rawls dalam Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 1, April 2009 Hal 143
[20]A. Madjedi Hasan.Op. Cit. Hal. 145-146
[21]    Suteki. 2008.Rekonstruksi Politik Hukum Tentang Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Air Berbasis Nilai Keadilan Sosial (Studi Privatisasi Pengelolaan Sumber Daya Air). Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang). Hal. 34  
[22]    Moh. Mahfud MD.2008. Sari Kuliah Kebijakan Pembangunan Hukum Pada Program Doktor Ilmu Hukum PPs. FH. UII, Yogyakarta: PPs UII. Hal.2
[23]    Bernart L. Tanya, dkk.2006. Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Surabaya : CV. Kita Hal. 239
[24] Muhammad Mustofa, Pemulihan Hak-Hak Sipil Mantan Napi, FISIP UI, Jakarta, http://internalnapi.blogspot.com, diakses tanggal 26 Agustus 2011
[25]    Tony F Marshall, Op. Cit
[26]    Ibid
[27]  Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Hal. 94
[28]  J. Supranto.2003.Metode Penelitian Hukum dan Statistik. Bandung : Rineka Cipta. Hal 3
[29]John W Creswell. 2008. Educational Research : Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research, Third Edition. USA : Edwards Brothers, Inc Hal. 89
[30] William L Neuman.2006. Social Research Methods, Qualitative and Quantitative Approaches, Sixth Edition. USA : Pearson. Hal. 396

[31]William L Neuman. Op. Cit Hal. 406
[32]Katherine Bischoping dan Jennifer Dykema.1999.Toward a Social Psycological Progamme for Improving Focus Group Methoda of Developing Questionnairres. Journal of Official Statistics Vol. 5 Hal. 495
[33]William L Neuman. Op. Cit Hal. 412

[34]Mattew B Miles and Micheal Huberman.1984. Qualitative Data Anaysis, A Sourcebook of New Methods. Beverly Hills Ca : Sage Publications Inc. Hal 21-22


Tidak ada komentar:

Posting Komentar