(Tulisan ini merupakan Disertasi Muhammad Taufiq pada
program doktor Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pembaca dipersilahkan
mengutip sebagaian atau seluruhnya dengan mencantumkan nama penulis beserta
sumbernya)
ABSTRAK
MUHAMMAD TAUFIQ. T310908005. MODEL
PENYELESAIAN PERKARA PIDANA YANG BERKEADILAN SUBSTANSIAL. Promotor : Prof. Dr.
Hartiwiningsih, S.H.,M.Hum., Co. Promotor : Prof. Dr. Supanto, S.H.,M.Hum.
Disertasi. Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Secara
keseluruhan penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kegagalan proses
penyelesaian perkara pidana di Indonesia dalam mewujudkan keadilan substansial.
Selain itu penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan model ideal penyelesaian
perkara pidana yang berkeadilan substansial. Hasil penelitian ini menghasilkan
beberapa rekomendasi terkait penanganan perkara pidana di Indonesia yang salah
satunya melalui model baru dari penulis.
Latar
belakang penelitian ini berangkat dari beberapa peristiwa tindak pidana di Indonesia
yang ternyata penanganannya oleh para aparat hukum menimbulkan ketidakpuasan
dari masyarakat. Ketidakpuasan ini karena aparat hukum seperti polisi, jaksa
dan hakim terlalu kaku dalam melaksanakan hukum acara pidana sebagaimana diatur
dalam KUHAP. Kebanyakan kasus-kasus tersebut menimbulkan kerugian yang tidak
seberapa dan layak diselesaikan di luar pengadilan dengan perdamaian. Akan
tetapi yang terjadi justru sebaliknya, aparat penegak hukum tidak
mempertimbangkan besar kecilnya kerugian yang ditimbulkan dan tidak pula
melihat latar belakang terjadinya tindak pidana, atau di sisi lain vonis yang
dijatuhkan hakim tidak selaras dengan rasa keadilan dalam masyarakat. Hal
inilah yang akhirnya memunculkan reaksi dalam masyarakat terhadap aparat hukum.
Penelitian
ini merupakan jenis penelitian hukum empiris dengan menggunakan pendekatan
kasus. Data yang digunakan meliputi data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh penulis langsung dari sumbernya. Pengumpulan data dilakukan dengan
wawancara, studi pustaka, observasi, dan Focus
Group Discussion (FGD), dan Teknik Sampling. Analisis data kualitatif
dilakukan melalui tiga alur yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan
kesimpulan.
Berdasarkan
hasil penelitian penulis yang mendasarkan pada wawancara, observasi dan studi
pustaka, maka pemahaman aparat penegak hukum di Indonesia menyamakan penegakan
hukum sama dengan penegakan Undang-Undang, sehingga sangat diutamakan kepastian
hukum. Akibatnya nilai keadilan dan kemanfaatan sering diabaikan. Inilah yang
menjadi penyebab mengapa penyelesaian perkara dan sistem peradilan pidana tidak
dapat menciptakan keadilan substansial. Oleh karenanya diperlukan model baru
dalam penyelesaian perkara pidana. Model tersebut memberikan peluang kepada
para pihak baik korban maupun pelaku untuk menyelesaikan perkara pidana itu
secara damai dan seimbang. Tujuan utama yang ingin dicapai dalam model tersebut
adalah terciptanya keadilan substansial.
Kata
Kunci : Penyelesaian Perkara Pidana, Sistem Peradilan Pidana,
Keadilan
Substansial.
ABSTRACT
MUHAMMAD TAUFIQ. T310908005. MODEL OF A RIGHTEOUS SOLUTION SUBSTANTIAL
CRIMINAL MATTERS. Promotor: Prof. Dr.. Hartiwiningsih, SH, M.Hum., Co.
Promotor: Prof. Dr. Supanto, SH, M.Hum. Dissertation. Doctor of Science Law of
Faculty of Law Sebelas Maret University, Surakarta.
Overall,
this study aims at investigating the failure of the criminal settlement
process in Indonesia in creating substantial justice. Additionally, this study intends to find out the ideal model of a
righteous solution of substantial criminal matters. Results of this study
produce some recommendations related to the handling of the criminal matters in
Indonesia, one of those is through a new model found by the author.
The
background of this study started from some criminal events happened in Indonesia
which in the reality were handled by
the law enforcement officers that raise dissatisfaction from the society. This
dissatisfaction is caused by the law enforcement officers such as the police,
prosecutors and judges are too rigid in implementing the criminal law as
regulated in the Criminal Procedure Code (KUHAP). Most of these cases result in
losses that are not worth to be solved in the court which is actually can be
done out of the court and gain the reconciliation statement. On the other hand,
the opposite happens occasionally. The law enforcement officers do not consider
the size of the losses and do not look at the background of the crime. In another
words, the sentencing decided by the judges is not aligned with the sense of
justice in society. This is what ultimately led to be the reaction of the
society towards the law enforcement officers.
This
research is an empirical legal research using case-based. This study used primary and secondary
data. Primary data obtained by the author directly from the source. The data
were collected through interviews, literature studies, observations, and Focus
Group Discussions (FGD), and Sampling Techniques. Qualitative data analysis was
done through three grooves of data reduction, data presentation, and conclusion
withdrawal.
From the
results of the study that is based on the interviews, observations and
literature studies, the understanding of law enforcement in Indonesia equalize
law enforcement with legislation enforcement, so it needs the legal certainty
in the reality. As a result, the value of justice and expediency often
neglected. This is the cause why the settlement and the criminal justice system
can not create substantial justice. Therefore, it can be stated that the law in
Indonesia requires a new model in the resolution of the criminal case. The
model provides an opportunity to all the parties, both the victims and the
perpetrators to resolve the criminal case in a peaceful and balance situation.
The main objective to be achieved in the model is the creation of substantial
justice.
Keywords:
Criminal Case Settlement, Criminal Justice System, Substantial Justice
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pembangunan
hukum di Indonesia saat ini secara umum belum sesuai dengan yang diharapkan.
Sistem hukum yang mengedepankan kepastian hukum dalam bentuk aturan normatif
semata yang mempengaruhi pemikiran para Sarjana Hukum menjadi salah satu
penyebab belum berhasilnya penegakan hukum. Begitu banyak dampak yang dirasakan
bila semua penegak hukum dan sarjana hukum berpikiran positifis, yaitu suatu
masalah selalu dicari kepastian hukum atau sumber hukumnya terlebih dahulu untuk
menyelesaikannya.
Hal
inilah yang mendorong penulis menyusun disertasi mengenai Model Penyelesaian
Perkara Pidana Yang Berkeadilan Substansial, agar tercapai keadilan yang
sesungguhnya. Gustav Radbruch,
seorang filosof hukum Jerman mengajarkan konsep tiga ide unsur dasar hukum yang oleh sebagian pakar diidentikkan juga
sebagai tujuan hukum. Dengan kata lain, tujuan hukum adalah keadilan,
kemanfaatan dan kepastian. Bagi Radbruch, ketiga unsur itu merupakan tujuan
hukum secara bersama-sama, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Pada bagian lain terkadang hukum dapat
menjadi penghambat. Misalnya saja ketika terjadi pelanggaran hak yang dilakukan
oleh seseorang, maka akan menimbulkan konsekuensi bahwa hukum tersebut akan
dicabut dari dirinya berdasarkan putusan pengadilan yang adil.
Menurut Suteki,
seringkali sebagian masyarakat memahami hukum hanya sekedar sebagai perangkat
peraturan hukum positif yang tercerabut dari pemahaman aspek filosofi dan
sosiologisnya, sehingga gambar hukum yang ditampilkan tidak utuh melainkan
hanya sebuah fragmen atau skeleton,
yakni peraturan perundang-undangan saja. Hal tersebut mendorong munculnya
anggapan bahwa apabila hukum telah diselenggarakan sebagaimana tertulis yang
berupa huruf-huruf mati (black letter law)
seolah-olah pekerjaan pencarian keadilan itu telah selesai.
Suteki
mencontohkan beberapa fenomena peradilan terhadap “wong cilik” (the poor) yang kemudian oleh penulis
ditambahkan kasus-kasus baru misalnya:
1. Kasus
pencurian satu buah semangka (di Kediri), Cholil dan Basar Suyanto dipidana 15
hari percobaan 1 bulan.
2. Kasus pencurian kapuk randu seharga Rp 12.000
(4 anggota keluarga ditahan di LP Rowobelang) dan para terdakwa dipidana
penjara 24 hari.
3. Kasus
Pak Klijo Sumarto (76) tersangka pencurian setandan pisang kluthuk mentah
seharga Rp 2.000 di Sleman : 7 Desember 2009 (mendekam di LP Cebongan Sleman).
4. Kasus
mbok Minah (dituduh mencuri 3 biji kakao seharga Rp 2.100 : 2 Agustus 2009,
dihukum pidana percobaan 1 bulan 15 hari).
5. Kasus
Lanjar Sriyanto (Karanganyar) yang didakwa menyebabkan kematian istrinya karena
kecelakaan motor di Karanganyar, tragis kasus ini karena isterinya meninggal
dunia dan dia sendiri ditahan.
6. Kasus
Aspuri tentang pencurian sehelai baju tetangganya seharga Rp 10.000, ditahan
pada bulan November 2009.
7. Kasus
pencurian sepasang sandal jepit milik anggota Polisi yang dilakukan oleh AAL
(15 tahun) yang tetap dinyatakan bersalah meskipun sandal yang dimaksud
terbukti bukan milik anggota polisi yang dimaksud.
8. Kasus
Rasminah, seorang nenek yang didakwa mencuri enam biji piring majikannya. Dalam
kasus ini Harifin Tumpa yang merupakan mantan Ketua Mahkamah Agung memberikan
tanggapan bahwa kasus ini seharusnya tidak perlu sampai pengadilan artinya cukup
didamaikan pihak kepolisian agar supaya ada keseimbangan.
9. Kasus
Rawi (66 tahun) yang didakwa mencuri 50 gram merica. Pengadilan Negeri Sinjai
memvonis Rawi selama 2 bulan 25 hari.
10. Kasus
suporter Singo Edan (Indra Azwan) yang menuntut keadilan, agar polisi yang
menabrak mati anaknya pada tahun 1993 lalu dihukum. Kasus ini tidak ada
kelanjutannya yang jelas.
11. Misbakhul
Munir dan Budi Hermawan, keduanya dijadikan Terdakwa di Pengadilan Negeri
Magelang karena memotong dua pohon bambu yang menimpa rumah warga.
12. Nani
Setyowati, ibu rumah tangga 45 tahun yang mengalami kecelakaan lalu lintas saat
memboncengkan anaknya. Anaknya yang bernama Kumariah Sekar Hamidah tewas terlindas
truk, sedangkan Nani sendiri harus dirawat di rumah sakit karena kaki kanannya
patah
13. Kasus
Rasyid Rajasa (putra Menko Perekonomian, Hatta Rajasa). Rasyid mengantuk saat
mengemudi sehingga menabrak mobil di depannya. Kasus ini menyebabkan dua orang
tewas dan tiga orang luka-luka.
Contoh-contoh di atas menunjukkan
lemahnya sistem penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Fenomena tersebut
pada akhirnya membentuk sebuah persepsi di masyarakat yaitu mahalnya keadilan
bagi rakyat kecil. Hukum yang sekarang berlaku mudah diputarbalikkan dengan
undang-undang, sehingga landasan penegakan hukum bukanlah keadilan tetapi
undang-undang.
Penulis
berpendapat penyelesaian perkara pidana seharusnya berpedoman pada prinsip
keadilan dan keseimbangan bagi masing-masing pihak. Keadilan yang dimaksud
adalah keadian substansial, penulis di sini menilai bahwa keadilan substansial
harus dikedepankan. Keadilan substansial itu sendiri merupakan keadilan yang
seimbang antara pelaku dan korban tindak pidana. Pelaku tindak pidana harus bertanggung
jawab dan memberikan ganti kerugian terhadap korban, dan korban memaafkan
pelaku tindak pidana. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka penulis
melakukan penelitian ini.
B.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas, maka permasalahan pokok yang dikaji lebih lanjut
dalam penelitian ini adalah :
1. Mengapa
proses penyelesaian perkara pidana dalam sistem peradilan pidana saat ini tidak
dapat mewujudkan keadilan substansial ?
2. Bagaimana
model penyelesaian perkara pidana yang
berkeadilan substansial ?
C.
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini
adalah :
1.
Penyelesaian perkara pidana saat ini hanya mengacu pada hal-hal yang
tertulis dalam undang-undang saja. Akibatnya banyak dirasakan oleh masyarakat
yang sebenarnya menginginkan penyelesaian yang cepat dan berkeadilan
substansial. Munculnya fenomena kasus orang kecil menunjukkan bahwa penegakan
hukum pidana masih memiliki banyak kelemahan dalam pelaksanaannya. Oleh karena
itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelemahan penyelesaian
perkara pidana dalam sistem peradilan pidana yang berlaku saat ini agar dapat
terwujud keadilan substansial.
2.
Beranjak dari
dirasakannya kelemahan-kelemahan dalam penyelesaian perkara pidana, maka
penulis mempunyai sebuah gagasan untuk menciptakan suatu model penyelesaian
perkara pidana yang lebih mengedepankan aspek substansial dan tidak terikat
dengan formalitas sebagaimana diatur dalam undang-undang saat ini. Oleh karena
itu hasil penelitian ini diharapkan dapat menemukan sebuah model penyelesaian
perkara pidana yang berkeadilan subtansial.
D.
Manfaat
Penelitian
1.
Sistem
peradilan pidana yang berlaku saat ini menimbulkan ketidakpuasan dalam
masyarakat. Ini terjadi karena hasil akhir dari penanganan perkara pidana ini
tidak bisa memberikan jaminan keadilan secara substansial. Secara praktis hasil
penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang kelemahan sistem peradilan
pidana yang berlaku saat ini, sehingga dapat dicari model penyelesaian lain
yang mengedepankan keadilan subtansial. Dengan demikian dapat diwujudkan sebuah
konsep yang mampu merekonstruksi sistem peradilan pidana. Di samping itu penelitian
ini menghasilkan sebuah konsep penanganan perkara pidana baru sebagai
alternatif penyelesaiannya. Melalui konsep penyelesaian yang ditawarkan oleh
penulis maka penyelesaian perkara pidana lebih mengedepankan aspek keadilan
sehingga hasil akhir dari proses penyelesaian tersebut ialah terciptanya
kembali harmonisasi sosial dalam masyarakat.
2.
Penelitian
ini dapat menjadi referensi untuk menciptakan suatu tatanan hukum menghasilkan
pula konsep penanganan perkara pidana baru sebagai alternatif penyelesaiannya.
Bagi kepentingan pengambil kebijakan, penelitian ini dapat menjadi masukan bagi
pembentuk undang-undang dan penegak hukum. Bagi pembentuk undang-undang
penelitian ini sebagai masukan pembaruan kebijakan formulasi sistem peradilan
pidana di Indonesia ke depan.
II.
LANDASAN/
KAJIAN TEORI
Dalam
Penelitian ini penulis menggunakan beberapa teori keadilan sebagai pisau
analisis. Adapun teori-teori keadilan tersebut di antaranya teori keadilan
Aristoteles, Teori Keadilan John Rawls, Teori Keadilan Hukum Murni dari Hans
Kelsen, dan Teori Keadilan Hukum Islam. Teori-teori tersebut kemudian penulis
hubungkan dengan keadilan substansial. Aristoteles
telah memberikan arti keadilan bahwa, “justicia
est constans et perpetua voluntas ius
suum cuique tribuendi”. Keadilan tidak lain merupakan kehendak yang ajeg dan menetap untuk memberikan
masing-masing bagiannya. Pendapat Aristoteles juga memunculkan adanya dua macam
keadilan yaitu keadilan distributief
dan keadilan commutatief.
Sementara John Rawls telah menyempurnakan prinsip-prinsip keadilannya menjadi
sebagai berikut: Pertama, setiap orang memiliki klaim yang sama untuk
memenuhi hak-hak dan kemerdekaan dasarnya yang kompatibel dan sama jenisnya
untuk semua orang, serta kemerdekaan berpolitik yang sama dijamin dengan
nilai-nilai yang adil; Kedua, ketidaksamaan sosial dan ekonomi dapat
dipenuhi atas dasar dua kondisi, yaitu: (a) melekat untuk jabatan-jabatan dan
posisi-posisi yang dibuka bagi semua orang di bawah kondisi adanya persamaan
kesempatan yang adil; dan (b) kemanfaatan sebesar-besarnya bagi anggota-anggota
masyarakat yang paling tidak diuntungkan.
Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa upaya
untuk memuaskan keadilan setiap orang dapat difokuskan kepada pendapat
mayoritas. Keadilan yang dirasakan mayoritas penduduk dapat dipandang sebagai
keadilan yang mewakili masyarakat secara umum. Keadilan mayoritas membawa
kepada sistem demokrasi yang berlaku di negara-negara modern. Semakin modern
sebuah sistem politik dan hukum di suatu negara, sudah sewajarnya semakin adil
keadilan hukum di negara tersebut.Namun,
kehendak mayoritas menurut penulis tidak dapat dijadikan pedoman dalam
menetukan nilai keadilan itu sendiri. Kehendak mayoritas bisa saja salah dan
tidak mewujudkan nilai substansi keadilan. Keadilan substansial lebih
diterapkan karena ukuran keadilan bukan dilihat pada pendapat mayoritas ataupun
minoritas melainkan keseimbangan antara para pihak.
Keadilan dikaitkan dengan hukum Islam
maka, “adil” Kata ‘adl dalam berbagai
bentuknya terulang sebanyak 28 kali dalam Al Quran. Kata ‘adl sendiri disebutkan 13 kali, yakni pada Surat Al Baqarah ayat
48, 123, dan 282 ; Surat An-Nisa’ ayat
58; Surat Al-Ma’idah ayat 95, 106; Surat Al-An‘am ayat 70; Surat An-Nahl ayat
76, 90; Surat Al-Hujurat ayat 9; serta Surat Ath-Thalaq ayat 2. Kata ‘adl dalam Al-Quran memiliki aspek dan
objek yang beragam, begitu pula pelakunya. Keragaman tersebut mengakibatkan
keragaman makna ‘adl (keadilan).
Pengertian ini yang paling banyak terdapat di dalam Al-Quran, antara lain pada
Surat An-Nisa’ ayat 3, 58 dan 129; Surat Asy-Syura ayat 15; Surat Al-Ma’idah
ayat 8; Surat An-Nahl ayat 76, 90; dan Surat Al-Hujurat ayat 9. Kata ‘adl dengan arti sama (persamaan) pada
ayat-ayat tersebut yang dimaksud adalah persamaan dalam hak. Dalam Islam,
antara keimanan dan keadilan tidak terpisah. Orang yang imannya benar dan
berfungsi dengan baik akan selalu berlaku adil terhadap sesamanya. Hal ini
tergambar dengan sangat jelas dalam Surat Al Maidah ayat 8. Menurut pendapat penulis keadilan dalam Islam mendasari tercapainya
keadilan substansial karena dalam Islam antara keimanan dan keadilan adalah dua
hal yang tidak terpisahkan, artinya dengan keimanan ia bisa menentukan hukum
positif demi mewujudkan keadilan substansial. Keadilan dalam Islam tidak bicara
mengenai prosedur dalam penyelesaian perkara, melainkan bagaimana terwujudnya
keadilan tersebut bagi para pihak. Hal ini bisa dilihat dalam kasus Darsem dan
Ahmad Fauzi, yang setelah dilakukan proses negosiasi dengan melibatkan keluarga
pelaku dan korban serta pemerintah tidak jadi dieksekusi. Proses ini sejalan
dengan ide penyelesaian perkara pidana yang berkeadilan substansial yang digagas
oleh penulis. Dengan demikian, proses penyelesaian perkara pidana bukanlah
monopoli atau berada pada area pelaku tindak pidana dan negara. Berdasarkan
teori-teori keadilan di atas, maka kemudian penulis mengemukakan tentang arti
keadilan substansial dan dikaitkan dalam perspektif Pancasila.
Selain
teori keadilan, penulis menggunakan pula teori hukum pidana sebagai dasar
pengetahuan tentang arti dan tujuannya. Hubungannya dengan konsep pembangunan
sistem hukum nasional, dalam penulis menggunakan teori sistem hukum sebagaimana
disampaikan oleh Lawrence M. Friedman, di mana sistem hukum tersebut terdiri
atas tiga komponen yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.
Pengkajian tentang teori sistem hukum itu pula dikaji lebih lanjut dengan teori
berlakunya hukum dari Seidman. Di samping itu pembangunan sistem hukum penulis
kaji dengan teori berlakunya hukum yang disampaikan Robert Seidman. Menurut
Seidman, secara garis besar bekerjanya hukum dalam masyarakat
akan ditentukan oleh beberapa faktor utama. Faktor-faktor tersebut antara lain
:
1.
Bersifat yuridis normatif (menyangkut
pembuatan peraturan perundang-undangannya)
2.
Penegakannya (para pihak dan peranan
pemerintah)
3.
Serta faktor yang bersifat yuridis sosiologis
(menyangkut pertimbangan ekonomis serta kultur hukum pelaku bisnis)
Dalam
hubungannya dengan konsep hukum, penulis mengkaji berdasarkan teori yang
disampaikan oleh Philipe Nonet dan Philip Selznick.
Pandangan keduanya sangat fokus terhadap pengayaan dalam ilmu hukum terutama
dalam menganalisis institusi-institusi hukum.
Philipe Nonet dan Philip Selznick membedakan tiga jenis hukum yaitu: hukum
represif, hukum otonom dan hukum responsif. Menurut Nonet dan Selznick hukum
responsif merupakan teori tentang profil hukum yang dibutuhkan dalam masa
transisi. Karena harus peka terhadap situasi transisi di sekitarnya, maka hukum
responsif tidak saja dituntut menjadi sistem yang terbuka, tetapi juga harus
mengandalkan keutamaan tujuan, yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya serta
akibat-akibat yang timbul dalam bekerjanya hukum itu. Dalam teori hukum
responsif, Nonet dan Selznick menempatkan hukum
sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan
sosial
dan aspirasi publik.
Pembangunan sistem peradilan pidana di
Indonesia ke depannya menurut penulis perlu dikembangkan melalui pendekatan restorative justice. Restorative justice
tersebut erat kaitannya dengan konsep hukum progresif sebagaimana disampaikan
oleh Satjipto Rahardjo. Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis
menguraikan pula teori restorative
justice beserta contoh penerapannya di negara lain. Ciri yang menonjol dari restorative justice, kejahatan
ditempatkan sebagai gejala yang menjadi bagian tindakan sosial dan bukan
sekedar pelanggaran hukum pidana semata.
Menurut
TF. Marshall
dalam Papernya Restorative justice : An
Overview, menjelaskan tujuan Restorative Justice sebagai berikut :
-
to attend fully to victims’ needs – material, financial, emotional and social
including those personally close to the victim who may be similarly affected. (untuk memenuhi
sepenuhnya kebutuhan korban - material, keuangan, emosional
dan sosial termasuk mereka yang secara pribadi dekat dengan korban yang mungkin juga
terpengaruh).
-
to prevent re–offending by reintegrating offenders into the community. (untuk mencegah
terulangnya pelanggaran dengan kembalinya pelaku kedalam masyarakat)
-
to enable offenders to assume active responsibility for their actions.
(memungkinkan pelaku untuk
memikul tanggung jawab aktif atas tindakan mereka)
-
to recreate a working community that supports the rehabilitation of offenders
and victims and is active in preventing crime. (untuk menciptakan sebuah komunitas kerja yang mendukung rehabilitasi pelaku
dan korban dan aktif dalam
mencegah kejahatan)
-
to provide a means of avoiding escalation of legal justice and the associated costs
and delays. (untuk menyediakan sebuah sarana menghindari eskalasi keadilan
hukum dan biaya yang terkait serta
penundaan)
Selanjutnya Tony F Marshall
dalam paper yang sama juga menyatakan sebagai berikut :
“Restorative
justice is centrally concerned with restoration:
restoration of the victim, restoration of the offender to a law - abiding life,
restoration of the damage caused by crime to the community. Restoration is not
solely backward-looking; it is equally, if not more, concerned with the
construction of a better society in the present and the future.”
Hal tersebut berarti perhatian Restorative justice berpusat pada pemulihan: pemulihan korban, pemulihan
pelaku untuk hidup
taat kepada hukum, pemulihan kerusakan
yang disebabkan oleh kejahatan kepada
masyarakat.
III.
METODE
PENELITIAN
A
Pendekatan Penelitian
Penelitian
ini menggunakan tiga pendekatan yaitu pendekatan kasus, perundang-undangan dan
pendekatan yuridis sosiologis. Pendekatan Kasus (case approach),
dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan
dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan dan berkekuatan
hukum tetap. Hal yang menjadi kajian pokok dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan
untuk sampai kepada suatu putusan.
Dalam penelitian ini Penulis mengambil beberapa contoh kasus yang ditelaah sebagai referensi
bagi suatu isu hukum. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) dilakukan dengan cara menelaah semua
undang-undang dan regulasi yang bersangkutan dengan permasalahan yang sedang
dibahas. Hasil dari telaah tersebut merupakan argumen untuk memecahkan
permasalahan yang dihadapi. Penelitian
ini menggunakan pula pendekatan yuridis sosiologis,
yaitu penelitian hukum yang menekankan pada langkah-langkah observasi dan
analisis
yang bersifat empiris-kualitatif, maka sering disebut pula dengan “sociolegal
research”.
B Sumber
Data
Sumber
data dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapat
penulis dari sumber pertama baik dari individu atau perseorangan seperti hasil
wawancara, kuesioner yang dibuat dan disebarkan oleh peneliti kepada hakim, jaksa, polisi dan pengacara. Untuk penelitian ini penulis mengadakan serangkaian
wawancara dengan aparat penegak hukum, antara lain jaksa pada Kejaksaan Negeri
Karanganyar, pejabat intel Kejaksaan Agung, ketua Pengadilan Negeri Jepara,
Hakim-hakim Pengadilan Negeri Jepara, Ketua Pengadilan Negeri Sukoharjo, dosen
hukum yaitu : Sudaryono, Triyanto, dan Ustadz Abdullah. Data Sekunder terdiri
atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tersier.
C
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini
penulis menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka, observasi,
wawancara, focus group discussion,
dan teknik sampling. Studi pustaka dilakukan
dengan cara melakukan penelusuran informasi kepustakaan yang menggambarkan
pandangan-pandangan terdahulu maupun sekarang tentang topik penelitian yang
terdapat dalam jurnal-jurnal, buku-buku, maupun dokumen lain yang sejenis.
Studi pustaka juga penulis gunakan untuk mengumpulkan literatur-literatur yang
relevan dengan topik penelitian.
Observasi lapangan
dilakukan penulis untuk memberi perhatian khusus, melihat, dan mendengar dengan
seksama. Peneliti menggunakan semua perasaan untuk mencatat apa yang dilihat,
didengar, dicium, dirasakan dan disentuh. Peneliti menjadi instrumen untuk
menyerap semua sumber informasi yang ada di lapangan.
Penulis melakukan
observasi sistematis maupun non-sistematis. Instrumen observasi sistematis
berupa pedoman observasi sedangkan untuk observasi non-sistematis tidak
memerlukan instrumen pengamatan. Pedoman observasi berisi sebuah daftar jenis
kegiatan yang timbul dan diamati. Dalam proses observasi, peneliti memberikan
tanda pada kolom tempat peristiwa. Adapun pelaksanaannya peneliti lakukan dalam
bentuk mengikuti proses persidangan, melakukan wawancara dengan pelaku, korban,
polisi hakim serta jaksa. Peneliti
secara aktif terlibat di
dalamnya termasuk menjadi penasihat hukum dalam kasus yang dijadikan bahan
penelitian. Pelaksanaan observasi dalam penelitian ini penulis lakukan di
Pengadilan Negeri Jepara, Kejaksaan
Negeri Karanganyar, Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Sukoharjo,
Polresta Surakarta.
Penelitian ini
menggunakan model wawancara terstruktur (structured
interview) dan tidak terstruktur (unstructured
interview). Wawancara terstruktur menggunakan instrumen berupa pedoman
wawancara (tertulis) yang dibuat sebelum melakukan wawancara. Sebelum wawancara
terstruktur peneliti memberitahu narasumber lebih dahulu untuk membuat
kesepakatan waktu dan tempat wawancara termasuk kisi-kisi wawancara. Adapun
wawancara tidak terstruktur tidak menggunakan pedoman baku di mana peneliti
bertanya, mendengarkan, merasakan, dan merekam semua yang dikatakan narasumber secara
natural/ informal.
Wawancara tidak terstruktur dilakukan dengan teknik sampling atau tanpa
sepengetahuan narasumber. Dalam penelitian ini Penulis melakukan wawancara
dengan para Hakim di Pengadilan Negeri Jepara yaitu H. Rohendi, Purwono,
Adrianus Agung Putranto, Dadi Rachmadi, Boy Syailendra, Derman Parlungguan
Nababan, dan Moch. Arif Satrio. Di Pengadilan Negeri Sukoharjo Penulis
melakukan wawancara dengan Dwitomo selaku Ketua Pengadilan Negeri Sukoharjo. Di
Kejaksaan Negeri Karanganyar Penulis melakukan wawancara dengan Yudha Tangguh
Alasta, Faisal Banu, 7 orang jaksa lainnya. Di Kejaksaan Agung Jakarta Penulis
melakukan wawancara dengan Puji Tri Asmoro selaku satgas intel. Di Arab Saudi
Penulis juga mewancarai Ustadz Abdullah Bin Ibnu Abbas alumni Universitas
Madinah. Wawancara dilakukan penulis mengenai hukum pidana di Arab.
Focus
Group Discussion
yang telah penulis lakukan merupakan teknis khusus dalam penelitian
kualitatif ini di mana beberapa orang secara informal diwawancarai dalam sebuah
diskusi kelompok.Focus Group Discussion (FGD) merupakan
bentuk diskusi kelompok terarah.Pada
tanggal 27 Desember 2011 penulis mengadakan FGD bertempat di Kantor Harian Umum
Joglosemar Solo. FGD ini mendiskusikan tema tentang Keadilan Substansial dan
dilakukan kurang lebih selama 90 menit. Penulis melakukan FGD dengan 16 orang
di mana salah satu bertindak sebagai moderator. Narasumber di antaranya Kasat
Reskrim Polresta Surakarta Kompol Edi Suranta Sitepu, SIK, Wakil Ketua
Pengadilan Agama Surakarta Drs. Aam Amarullah, M.H., Dosen Hukum Pidana FH UMS
Sudaryono, S.H., M.H., Dosen Kewarganegaraan FKIP UNS Dr. Triyanto Pujowinarto,
S.H. M.Hum., sejumlah pengacara dan wartawan.
Masalah yang dibahas dalam FGD ini adalah mengenai penegakan hukum dan alternatif penyelesaian perkara pidana dengan
pendekatan keadilan, dengan membahas
kasus-kasus yang terjadi di sekitar Wilayah Surakarta.
D
Teknik Analisis Data
Analisis data kualitatif terdiri dari
tiga alur kegiatan yang dilakukan
penulis secara bersamaan yaitu : reduksi data, sajian data, dan
penarikan kesimpulan. Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemfokusan,
penyederhanaan, abstraksi, dan transformasi terhadap data kasar yang diperoleh
dari catatan lapangan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis data yang
bertujuan untuk menajamkan, mengelompokkan, memfokuskan, pembuangan yang tidak
perlu, dan mengorganisasikan data untuk memperoleh kesimpulan final. Penyajian
data dilakukan dengan menyajikan sekumpulan informasi yang tersusun dalam suatu
kesatuan bentuk yang disederhanakan, selektif dalam konfigurasi yang mudah
dipakai sehingga memberi kemungkinan adanya pengambilan keputusan. Setelah data
tersaji secara baik dan terorganisasi maka dilakukan penarikan kesimpulan atau
verifikasi.
Dalam
penelitian ini peneliti mengumpulkan seluruh data yang didapatkan dalam
penelitian, yang sekiranya data tersebut
relevan dengan kepentingan atau tujuan penelitian ini langsung penulis sajikan
dan kemudian ditarik kesimpulan. Namun demikian sekiranya data yang disajikan
atau ditampilkan ternyata kemudian kurang begitu relevan kemudian peneliti
kesampingkan, baru yang memenuhi persyaratan untuk kepentingan penelitian
ditampilkan, sesudah itu baru diambil kesimpulan.
Pan
Mohamad Faiz.2009. Teori Keadilan Jhon
Rawls dalam Jurnal Konstitusi,
Volume 6, Nomor 1, April 2009 Hal 143
J.
Supranto.2003.Metode Penelitian Hukum dan
Statistik. Bandung : Rineka Cipta. Hal 3