Oleh : Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H
Selama ini kita banyak mendengar
kehebatan penyidik KPK melakukan operasi tangkap tangan atas pelaku tindak
pidana korupsi. Namun sedikit dari kita mendengar atau membaca berita hasil
tangkapan berupa hasil tindak pidana korupsi itu sudah dimanfaatkan apa belum ?
atau justru malahan rusak karena negara sudah tidak mengurus. Sebagai contoh total lost Hambalang berdasar audit BPK
sebesar Rp.463,66 miliar. Menurut hemat penulis justru lebih besar
daripada itu karena proyek asrama atlit
itu kini macet. Jadi sesungguhnya negara rugi Rp.1,2 triliun,- akibat macetnya proyek dimaksud.
Dalam
memberantas korupsi semestinya sudah dipikirkan selain menangkap koruptor juga
menyelamatkan atau memanfaatkan aset hasil tindak pidana korupsi atau
menggunakan istilah follow the asset
tidak sekedar follow the suspect.
Sesungguhnya tahun 2009, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Perampasan Aset oleh Pemerintah diusulkan kepada Badan Legislasi DPR untuk
dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas). Menjelang injury time
sebelum disepakati sejumlah 300-an lebih
daftar RUU yang diajukan, RUU tentang Perampasan Aset ternyata termasuk dalam
daftar Prolegnas 2010-2014 dari sekitar 247 RUU. Celakanya, RUU tentang
Perampasan Aset tersebut belum pernah dimasukkan dalam prioritas tahunan oleh
Pemerintah dan DPR pada setiap pembahasan tahunan Prolegnas (tahun 2011 sampai
2014). Alhasil hingga hari ini belum sempat dibahas.
Jika dicermati sesungguhnya Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengatur
cara perampasan aset hasil tindak pidana
korupsi, namun dasar untuk merampasan tersebut tidak menggunakan instrument NCB
Asset Forfeiture, melainkan menggunakan model instrument hukum pidana
(tindak pidana korupsi) melalui putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewisjde). Hal ini patut dimaklumi karena selama ini sistem hukum di
Indonesia lebih cenderung menggunakan sistem continental sedangkan NCB
Asset Forfeiture pada dasarnya dikenal dalam sistem hukum commont law( Suhariyono,29 Agustus 2014)
Pada Pola NCB Asset Forfeiture, hal yang dipersoalkan adalah terkait dengan
lembaga yang mengelola aset hasil rampasan. Supervisi dari Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dalam setiap penyusunan
RUU. Menyatakan perlu dihindari adanya
pembentukan lembaga baru. Sedapat mungkin, lembaga yang sudah ada diberdayakan
atau diberikan fungsi dan tugas yang lebih luas guna menjalankan suatu
undang-undang seperti keberadaan PPATK yang terkesan seperti penyaji data saja.
Dari supervisi tersebut, beberapa alternative yang ditawarkan oleh tim penyusun
RUU yakni Lembaga Rupbasan (Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara) di bawah
Kementerian Hukum dan HAM, Direktorat Jendral Kekayaan Negara Kementerian
Keuangan, atau di Kejaksaan Agung (di bawah Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan
Tata Usaha Negara). Ada beberapa anggota tim mengusulkan dibentuknya lembaga
baru, namun hal ini terganjal oleh pandangan Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi. Sisi lain menurut hemat penulis tidak efektif
dan pemborosan,seperti halnya keberadaan Kompolnas dan Komisi Kejaksaan.
Terdapatnya instrument perampasan
aset, terutama yang bisa menimbulkan efek antara lain . pertama mencegah pelaku melanjutkan tidak pidananya ,sebab pelaku
akan berfikir untuk melakukan tindak pidana,sebab motif ekonomi tidak akan
tercapai , tidak akan menguntungkan karena keuntungan yang didapat akan
dirampas untuk negara. Kedua,
tindakan melakukan perampasan aset akan
menambah dukungan masyarakat dan menjadi moral
force, bahwa pemerintah ternyata
bersungguh-sungguh memerangi korupsi dan tindak pidana lainnya yang
merugikan keuangan negara.
Kenapa hal ini harus dilakukan ? Sebab bentuk
pemidaan yang paling kuno seperti pidana perampasan kemerdekaan (kurungan badan)
terbukti tidak cukup ampuh untuk mencegah dilakukannya tindak pidana korupsi
atau sejenisnya karena pelaku masih bisa
menikmati hasil/keuntungan tindak pidananya se keluar dari penjara beberapa
diantara mereka malah syukuran . Ketiga,.
perampasan aset merupakan ekpresi dalam upaya mendukung dilakukannya perang terhadap tindak
pidana tertentu (korupsi, perdagangan gelap narkotika, illegal loging,illegal fishing, dan human trafficking /perdagangan manusia, juga tindak pidana money lounderings atau pencucian uang
hasil tindak pidana yang termasuk
ketegori extra ordinary crime.) serta
antisipasi dan tindak pidana terorganisasi lainnya.
Sebagaimana diketahui selama ini pemberian
hukuman badan faktanya tidak cukup untuk mengerem laju pertumbuhan tindak
pidana korupsi. Karenanya perlu dilakukan upaya yang jauh lebih keras untuk itu, yakni pemberian
rasa malu ,berupa efek jera . Yakni dengan atau disertai perampasan aset melalui
penyitaan hasil tindak pidana tertentu sebagaimana telah diuraikan di atas.
Tujuan dilakukannya perampasan aset ini tentu saja akan memberikan dampak dan pengaruh yang
signifikan terhadap calon pelaku tindak pidana pada jenis kejahatan tertentu
lainnya. Dengan dipermalukan dan dibuat miskin lebih dahulu Mereka{ para pelaku kejahatan tertentu } akan
takut jika pada akhirnya semua keuntungan hasil kejahatan pidana berujung
penyitaan oleh negara, tanpa harus melalui mekanisme birokrasi hukum berupa
persidangan dalam peradilan pidana. Yang
perlu ditegaskan pada tulisan ini gagasan penyitaan yang berbeda dengan Hukum
Acara Pidana yang kita kenal selama ini .Tidak dimaksudkan sebagai hukuman
tambahan sebagaimana ditentukan selama ini dalam KUHP khususnya pasal 10 atau Undang-Undang tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi No.20/2001
Gagasan dapat dilakukannya perampasan
aset tanpa menunggu putusan yang berkekuatan hukum tetap pada pelaku tindak
pidana tertentu dalam RUU ini bukan hal
baru dan aneh di dunia internasional. Sebab sejatinya RUU Perampasan aset ini
adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kampaye dunia melawan korupsi dan
tindak pidana terorganisasi. PBB melalui UNCAC (The United Nations Convention Againts Corruption) dan UNTOC (The
United Nations Convention Against Transnational Organized Crime), telah mengusahakan
terjalinnya kerjasama antar negara melawan korupsi dan tindak pidana luar biasa
lainnya. Hal ini dilaksanakan dalam bentuk antara lain, meningkatkan kemampuan
negara-negara berkembang merampas kembali aset yang telah diambil secara
melawan hukum oleh para pelaku tindak pidana yang disembunyikan di luar negeri(
termasuk negara tetangga seperti Singapura). Khusus Singapura memiliki catatan
tersendiri karena kita tidak memiliki perjanjian ektradisi. Dalam kaitan dengan
pemberantasan tidak kejahatan tertentu dan upaya merampas aset . Sudah
semestinya terdapat payung hukum ,dalam bentuk setidak-tidaknya upaya
perampasan aset hasil tindak pidana tertentu tersebut mempunyai peraturan atau
undang-undang sendiri yang mengatur cara perampasan aset dan mekanisme atau
hukum formalnya seperti KUHP dan KUHAP.
Jika kita teliti upaya perampasan
aset sesungguhnya telah dikenal dan diatur pula dalam hukum pidana Indonesia atau KUHP yakni dalam Pasal 10 b KUHP ,berupa pidana
tambahan yang memuat : 1.pencabutan hak-hak tertentu.2.perampasan barang-barang
tertentu dan 3.pengumuman putusan hukum.( Muhammad Taufiq ,2012).
Pada bagian lain KUHP kita sudah tegas
meyebutkan dan diatur dalam sejumlah pasal,antara lain diatur pada pasal 39 –
42 KUHP. Sayangnya selain pasal tersebut jarang digunakan hakim, dalam praktek
putusan atas hukuman tambahan tersebut dijatuhkan bersama-sama pidana pokok
sehingga terkesan panjang. Harapan penulis semoga proses legislasi pada periode
DPR-RI 2014- 2019 RUU tersebut termasuk yang diagendakan dan diprioritaskan
dalam pembahasan untuk selanjutnya disahkan menjadi UU.
Surakarta,11
September 2014
Dimuat di harian Solopos edisi Sabtu 13 September 2014