Otoritas Jasa Keuangan dan Pengawasan Pasar Modal
Oleh
Dr. Muhammad Taufiq, S.H.,M.H.
Secara historis, ide
untuk membentuk lembaga khusus untuk melakukan pengawasan perbankan telah
dimunculkan semenjak diundangkannya UU No.23/1999 tentang Bank Indonesia. Dalam
UU tersebut dijelaskan bahwa tugas pengawasan terhadap bank akan dilakukan oleh
lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan
undang-undang.Dengan melihat ketentuan tersebut, maka telah jelas tentang
pembentukkan lembaga pengawasan sector jasa keuangan independen harus dibentuk.
Dan bahkan pada ketentuan selanjutnya dinyatakan bahwa pembentukkan lembaga
pengawasan akan dilaksanakan selambatnya 31 Desember 2002. Dan hal tersebutlah,
yang dijadikan landasan dasar bagi pembentukkan suatu lembaga independen untuk
mengawasi sector jasa keuangan.
Akan tetapi dalam
prosesnya, sampai dengan tahun 2010. Perintah untuk pembentukkan lembaga
pengawasan ini, yang kemudian dikenall dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK),
masih belum terealisasi. Kondisi tersebut menyebabkan dalam kurun waktu hampir
satu decade, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidah dapat menjadi pengawas
perkembangan perbankan yang belakangan ada banyak fenomena-fenomena negative.
Seperti Kasus Bank Century yang melakukan penyimpangan tanpa ada ketakutan
bertindak dan dikarenakan memang tidak ada lembaga tertentu yang menjadi
pengawas. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kini bisa menjadi penting, apabila dalam
perkembangan praktek perbankan dan pengawasan perlu dilakukan dengan cara yang
tepat dan sesuai dengan kepentingan.
Disisi yang lain,
para pakar ekonomi mengemukakan pendapat mengenai OJK ini, bahwa Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) mutlak dibentuk guna mengantisipasi kompleksitas sistem keuangan
global. Namun, RUU OJK harus dibahas simultan dengan paket RUU Keuangan lain,
sperti RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), RUU Pasar Modal serta
amandemen UU Bank Indonesia, Perasuransian dan Dana Pensiun. Hal tersebut
terungkap dalam seminar Reformasi. Sektor Keuangan memperkuat Fondasi, Daya
Saing dan Stabilitas Perekonomian Nasional. Pembentukan OJK diperlukan guna
mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis. Di sisi lain,
pembentukan OJK merupakan komitmen pemerintah dalam reformasi sektor keuangan
di Indonesia. Pemerintah mempunyai komitmen tinggi dan menjalankan mandat untuk
melakukan reformasi di sektor keuangan.
Dan sebelum Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) akan diberlakukan di januari 2013, maka perlu adanya
sosialisai kepada masyarakat Indonesia tentang keberadaan OJK ini nantinya
sekaligus untuk memberitahukan tentang tujuan dan fungsi OJK itu sendiri yang
termuat didalam UU RI Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Sedangkan untuk
pembentukkan Dewan Komisioner atau pimpinan tertinggi OJK akan dilaksanakan
pada desember 2012.
Dengan melihat
kehadiran OJK nantinya, dapat dimaksudkan untuk menghilangkan penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power) yang selama ini cenderung muncul. Sebab dalam OJK,
fungsi pengawasan dan pengaturan dibuat terpisah. Akan tetapi meskipun OJK
memiliki fungsi pengaturan dan pengawasan dalam satu tubuh, fungsinya tidak
akan tumpang tindih, sebab OJK secara organisatoris akan terdiri atas tujuh
dewan komisioner. Ketua Dewan Komisioner akan membawahkan tiga anggota dewan
komisioner yang masing-masing mewakili perbankan, pasar modal dan lembaga
keuangan nonbank (LKNB). Kewenangan pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia
akan dikurangi, namun Bank Indonesia masih mendampingi pengawasan. Kalau selama
ini mikro dan makro prudensialnya di Bank Indonesia, nanti OJK akan fokus
menangani mikro prudensialnya.
Berdasarkan Pasal 34
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI), pemerintah diamanatkan membentuk
lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang independen, selambat-lambatnya akhir
tahun 2010. Lembaga ini bertugas mengawasi industri perbankan, asuransi, dana
pensiun, pasar modal, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta
badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat
Alasan pembentukan
OJK ini antara lain makin kompleks dan bervariasinya produk jasa keuangan,
munculnya gejala konglomerasi perusahaan jasa keuangan, dan globalisasi
industri jasa keuangan. Disamping itu, salah satu alasan rencana pembentukan
OJK adalah karena pemerintah beranggapan bahwa BI, sebagai Bank Sentral telah
gagal dalam mengawasi sekor perbankan.
Kegagalan tersebut
dapat dilihat pada saat krisis ekonomi yang melanda Indonesia mulai pertengahan
tahun 1997, dimana sebanyak 16 bank dilikuidasi pada saat itu. Tujuan OJK
dibentuk antara lain agar keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa keuangan
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; mampu mewujudkan
sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan mampu melindungi
kepentingan konsumen dan masyarakat. Disamping itu tujuan pembentukan OJK ini
agar BI fokus kepada pengelolaan moneter dan tidak perlu mengurusi pengawasan
bank karena bank itu merupakan sektor perekonomian. Adapun kronologis lahirnya
OJK dapat dijabarkan sebagai berikut:
a.
Tahun 1999,
Pasca krisis ekonomi yang melumpuhkan industri perbankan pada tahun 1997-1998,
pemerintah langsung berbenah. Gagasan pembentukan otoritas dimasukkan dan
menjadi perintah UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Didalam Pasal
34 disebutkan bahwa:
1.
Tugas
mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang
independen, dan dibentuk dengan undang-undang.
2.
Pembentukan
lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya
31 Desember 2002
b.
Tahun 2004,
Tenggat waktu yang diberikan sampai tahun 2002 dalam pembentukan OJK tak juga
lahir di Indonesia. Pada tahun 2004, pemerintah dan DPR hanya bisa merevisi UU
BI. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia telah lahir.
Didalam Pasal 34 ayat 1 dan 2 terdapat bahasan tentang OJK, yaitu:
1.
Tugas
mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang
independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang.
2.
Pembentukan
lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan
selambat-lambatnya 31 Desember 2010
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa, amandemen UU BI
tersebut merupakan sebuah perselisihan pandangan antara BI dengan Departemen
Keuangan (Kementrian Keuangan). Objek dari perselisihan ini berupa perebutan
wewenang dalam mengontrol industri perbankan. Hal inilah yang mati-matian
dilawan BI dan akhirnya berhasil. Dalam rumusan amandemen yang telah
disepakati, pemindahan kekuasaan industri perbankan dari BI ke OJK masih dapat
diulur selambat-lambatnya sampai akhir 2010.
c.
Tahun 2010,
Lagi-lagi amandemen UU itu meleset dari yang diharapkan. Batas waktu kembali
terlewati. Sampai tutup buku tahun 2010, UU OJK masih belum juga selesai. RUU
OJK yang akan disahkan dalam rapat paripurna pada 17 Desember 2010 malah
menemui jalan buntu, karena pemerintah dan DPR tak menemukan kata sepakat
terhadap struktur dan tata cara pembentukan Dewan Komisioner OJK.
d.
Tahun 2011,
Tahun ini menjadi sejarah baru bagi Indonesia, terutama bagi sistem keuangan di
Indonesia. Pimpinan DPR, Priyo Budi Santoso, akhirnya mengetuk palu tanda
disetujuinya pengesahan Rancangan Undang-Undang Otoritas Jasa keuangan (RUU
OJK) menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR, pada Kamis 27 Oktober
2011. Dalam keputusan tersebut disebutkan supaya panitia seleksi DK OJK harus
terbentuk awal 2012.
e.
Tahun 2012,
Pada awal tahun 2012, Presiden telah membentuk Panitia Seleksi dalam pemilihan
calon anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa keuangan yang secara keseluruhan
terdiri dari 9 orang. Menteri Keuangan Agus Martowardojo terpilih menjadi ketua
seleksi sekaligus anggota, sedangkan anggota lainnya adalah Gubernur Bank
Indonesia (BI) Darmin nasution, Direktur Jendral Pajak Fuad Rahmany, Wakil
Menteri BUMN Mahmuddin Yasin, dan Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah. Kemudian
Komisaris Bank Mandiri Gunarni Soeworo mewakili lembaga keuangan/perbankan,
mantan Direktur BEI Mas Achmad Daniri mewakili pasar modal, Komisaris Wana
Arthalife Ariyanti Suliyano mewakili asuransi/lembaga jasa keuangan non bank,
dan akademisi Muhammad Chatib Basri. Pada pertengahan tahun 2012, anggota
sekaligus Ketua DK OJK terpilih. Seluruhnya berjumlah 9 orang dan dengan
melewati proses seleksi yang ketat. Pada bulan ini pula seluruhnya disahkan
oleh Paripurna DPR.
f.
Tahun 2013, Bapepam-LK akan melebur ke
OJK dan sebagian besar pekerja dari lembaga ini juga akan berubah status
kepegawaiannya. Pada tahun ini jugalah OJK akan mulai dalam penarikan iuran
dari industri keuangan non bank.
g.
Tahun 2014,
Setelah masa transisi satu tahun Bapepam-LK melebur ke OJK, diharapkan tahun
ini adalah serah terimanya pengawasan perbankan dari tangan bank sentral ke OJK
Dasar Hukum Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan
Pembentukan Otoritas
Jasa Keuangan di Indonesia telah diatur dalam sebuah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan yang
diundangkan pada tanggal 22 November 2011.
Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa definisi dari Otoritas Jasa
Keuangan adalah lembaga yang
independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang
secara tegas diatur dalam UU OJK
ini.
Dalam Undang-Undang
No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia ditetapkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan
akan dibentuk paling lambat tahun 2010.
Namun sebelum diamandemen Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia
bunyi ketentuannya adalah “Lembaga Pengawas Jasa Keuangan/LPJK (yang kemudian menjadi Otoritas Jasa
Keuangan) paling lambat sudah harus dibentuk pada akhir Desember 2002”.
Pasal 34
Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia merupakan respon dari krisis yang terjadi di Asia pada tahun
1997-1998 yang sangat berpengaruh
terhadap Indonesia, khususnya pada sektor perbankan. Krisis pada tahun 1997-1998 yang melanda Indonesia mengakibatkan
banyaknya bankbank yang mengalami
koleps sehingga banyak yang mempertanyakan
pengawasan Bank Indonesia terhadap bank-bank. Kelemahan kelembagaan dan pengaturan yang tidak mendukung
diharapkan dapat diperbaiki sehingga tercipta kerangka sistem keuangan yang
lebih tangguh. Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini akan mengambil alih
kewenangan pengawasan perbankan yang selama
ini dipegang oleh Bank Indonesia (BI).
Dalam UU Nomor 21
Tahun 2011 disebutkan, lembaga-lembaga yang akan berada di bawah pengawasan OJK
adalah perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan
atau multifinance, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Lembaga jasa keuangan ini
mencakup pergadaian (PT Pegadaian), lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan
ekspor Indonesia, lembaga pembiayaan sekunder perumahan dan lembaga yang
menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, yaitu
penyelenggaraan program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan.
Akan tetapi OKJ
sebagai lembaga baru tentunya tidak luput dari sejumlah pro dan kontra. Sebagian
kalangan melihat OJK masih memiliki banyak kelemahan yang sangat berpotensi menimbulkan
konflik. Hal ini terutama ditunjukkan dalam sumber pembiayaan dan susunan dewan
komisioner OJK.
Dalam aturan
penjelasan OJK, disebutkan bahwa sumber pembiayaan OJK berasal dari APBN dan
pungutan. OJK berhak mengambil pungutan dari lembaga perbankan yang diawasi.
Hal ini tentunya sangat berpotensi menimbulkan masalah. Ketika lembaga
pengawasan menerima pembiayaan dari bank-bank yang diawasi maka tidak akan
menutup kemungkinan materi pengawasan akan sesuai dengan ‘order’ dari lembaga
atau bank yang diawasi. Pengawasan akan lebih bersifat tebang pilih tergantung
dari jumlah pungutan yang diterima.
Selanjutnya, masih terkait dengan pendanaan, aturan
OJK menyebutkan bahwa kelebihan dana yang diperoleh OJK akan diserahakan kepada
pemerintah. Hal ini akan membuka peluang yang sangat besar bagi pemerintah
untuk menempatkan OJK sebagai sumber pendapatan. Dengan adanya keganjilan dalam
hal pendanaan ini mengakibatkan independensi OJK yang akan semakin
dipertanyakan.
Sebagai lembaga baru,
tentunya OJK tidak luput dari beberapa kelemahan. Untuk itu penting untuk meninjau kembali OJK, baik dalam
aturan hukum maupun implementasi tugas dan fungsinya. Adanya pengalihan tugas pengawasan
perbankan dari Bank Indonesia ke OJK diharapkan menjadi
dorongan bagi kedua lembaga untuk dapat bekerja dengan optimal dan professional.
OJK bertugas untuk mengatur dan mengawasi semua kegiatann yang berhubungan dengan jasa
keuangan di sektor berbankan. Diharapkan dengan adanya
pengawasan yang serius dari OJK tersebut, tidak ada lagi penyelewengan pada jasa keuangan
di sektor
perbankan. Selain bertugas untuk mengawasi jasa keuangan di sektor
perbankan, tugas lain yang tidak kalah penting yang harus
diemban oleh OJK adalah melakukan pengawasan pada kegiatan jasa keuangan di sektor pasar
modal. Pengawasan lain yang juga merupakan tanggung jawab
dari OJK adalah pengawasan pada lembaga peransuransian, lembaga pembiayaan, lembaga dana
pensiun, dan jasa keuangan lain.
Dalam melaksanakan kewenangan pengawasannya, OJK bertanggung jawab kepada publik
melalui DPR sebagai reprentatif atau perwakilan publik. Berdasarkan UU 21
tahun 2011, OJK dibekali kewenangan pemeriksaan dan penyidikan, baik secara rutin
maupun insidentil, onside maupun offside.
Fungsi, Tugas, dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan
Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) memiliki fungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan
pengawasan yang terintegrasi dengan keseluruhan kegiatan dalam sektor jasa
keuangan. OJK bertugas mengatur dan
mengawasi kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal,
perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan
lainnya. Kegiatan OJK yang bersifat mengatur (regulative) dan mengawasi
(controlling) jasa keuangan pada lembaga perbankan terutama berkaitan dengan:
· Perizinan untuk
mendirikan bank; pembukaan kantor bank; penyusunan anggaran dasar dan rencana
kerja bank; kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia di bank; merger,
konsolidasi dan akuisisi bank; serta pencabutan izin usaha bank.
· Kegiatan usaha bank, antara lain, sumber dana, penyediaan dana, dan produk
atau jasa yang ditawarkan.
· Pengaturan dan
pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi likuiditas (kemampuan dalam
memenuhi kewajiban jangka pendek), rentabilitas (kemampuan menghasilkan laba),
solvabilitas (kemampuan untuk melunasi seluruh utang dengan menggunakan seluruh
aset yang dimiliki), kualitas aset, rasio kecukupan modal, batas maksimum
pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;
laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; sistem informasi
debitur; pengujian kredit (credit testing) dan standar akuntansi publik.
· Pengaturan dan pengawasan terhadap penerapan prinsip kehati-hatian,
meliputi manejemen resiko, tata kelola bank, prinsip mengenal nasabah dan anti
pencucian uang, pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan, serta
pemeriksaan bank.
Dalam hal pengaturan, OJK memiliki wewenang :
· menetapkan peraturan pelaksanaan dari UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan
· menetapkan
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
· menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
· menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
· menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
· menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis
terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
· menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola pada Lembaga
Jasa Keuangan;
· menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola,
memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; serta
· menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Sedangkan dalam hal pengawasan, OJK mempunyai wewenang:
· menetapkan
kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
· mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala
Eksekutif (anggota Dewan Komisioner yang bertugas memimpin pelaksanaan
pengawasan kegiatan jasa keuangan dan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada
Dewan Komisioner);
· melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan,
perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan,
pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
· memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak
tertentu;
· melakukan penunjukan pengelola
· menetapkan sanksi
administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
· memberikan
dan/atau mencabut izin usaha; izin orang perseorangan; efektifnya pernyataan
pendaftaran; surat tanda terdaftar; persetujuan melakukan kegiatan usaha;
pengesahan; persetujuan atau penetapan pembubaran; dan penetapan lainnya.
Untuk melaksanakan kegiatannya, OJK mempunyai asas-asas
tertentu yang dijadikan pedoman yaitu:
a.
Asas
Independensi, mengatur tentang sifat kemandirian OJK dalam melaksanakan
kegiatannya
b.
Asas
Kepastian Hukum, bahwa OJK senantiasa berlandaskan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan kegiatannya.
c.
Asas Kepentingan Umum, yakni semua kegiatan OJK
dimaksudkan untuk melindungi dan memajukan kepentingan umum.
d.
Asas
Profesionalitas, ialah pelaksanaan tugas dan wewenang secara profesional, tanpa
keberpihakan.
e.
Asas
Integritas, dimana OJK selalu berpegang teguh pada nilai moral dalam setiap
tindakan dan keputusan yang diambilnya.
f.
Asas Keterbukaan, yang menegaskan perlunya diberikan
kemudahan bagi masyarakat untuk mengetahui kinerja OJK.
g.
Asas
Akuntabilitas, bahwa semua kegiatan dari OJK dapat dipertanggungjawabkan kepada
lembaga berwenang dan masyarakat.
Pembentukan OJK mendapat tanggapan dari pakar – pakar menjelaskan
bahwa Menurut para pakar ekonomi (http://www.wordpress.com.) :
a.
Menkeu
Agus Martowardojo: Pembentukan OJK diperlukan guna mengatasi kompleksitas
keuangan global dari ancaman krisis. Di sisi lain, pembentukan OJK merupakan
komitmen pemerintah dalam reformasi sektor keuangan di Indonesia.
b.
Fuad
Rahmany: menyatakan bahwa OJK akan menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan
(abuse of power) yang selama ini cenderung muncul. Sebab dalam OJK, fungsi pengawasan
dan pengaturan dibuat terpisah.
c.
Darmin Nasution: OJK adalah untuk mencari
efisiensi di sektor perbankan pasar modal dan lembaga keuangan. Sebab, suatu
perekonomian yang kuat, stabil, dan berdaya saing membutuhkan dukungan dari
sektor keuangan.
d.
Deputi
Gubernur BI Muliaman D Hadad: terdapat empat pilar sektor keuangan global yang
menjadi agenda OJK. Pertama, kerangka kebijakan yang kuat untuk menanggulangi
krisis. Kedua, persiapan resolusi terhadap lembaga-lembaga keuangan yang ditengarai
bisa berdampak sistemik. Ketiga, lembaga keuangan membuat surat wasiat jika
terjadi kebangkrutan sewaktu-waktu dan keempat transparansi yang harus dijaga.
Dewan Komisioner
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dipimpin oleh Dewan
Komisioner, seperti yang dijelaskan dalam Bab IV pasal 10 UU No. 21 tahun 2011
tentang OJK, yaitu :
1.
OJK
dipimpin oleh Dewan Komisioner.
2.
Dewan
Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat kolektif dan kolegial.
3.
Dewan
Komisioner beranggotakan 9 (sembilan) orang anggota yang ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
4.
Susunan
Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat terdiri atas:
a.
seorang
Ketua merangkap anggota;
b.
seorang
Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;
c.
seorang
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;
d.
seorang
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;
e.
seorang
Kepala Eksekutif, Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya
merangkap anggota;
f.
seorang
Ketua Dewan Audit merangkap anggota;
g.
seorang
anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan Konsumen;
h.
seorang
anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur
Bank Indonesia; dan
i.
seorang
anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat
eselon I Kementerian Keuangan.
5.
Anggota
Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memiliki hak suara yang
sama.
Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) pada industri keuangan baik bank maupun non bank berada di satu
atap atau sistem pengawasanterpadu, sehingga sistem pengawas bisa bertukar
informasi dengan mudah. Hal inidapat menghindari adanya putusnya informasi
antara badan pengawas bank dannon bank yang telah ada di Indonesia sebelumnya.
Sebagai contoh kasus baikoutBank Century yang telah terjadi yang hingga sampai
saat ini belum terselesaikan.Dalam kasus tersebut Bank Indonesia sebagai
pengawas bank menganggap PT.Antaboga sudah di awasi Bapepam- LK karena
merupakan produk reksa dana,tetapi Bapepam – LK juga tidak mengetahui
keberadaan PT. Antaboga karenaproduk ini di jual dilingkungan bank. Sistem
pengawasan terpadu ini dapat meminimalisasi kemungkinan berbenturannya
kordinasi antar lembaga. Jika ada berbagai lembaga pengawasdalam suatu sistem
keuangan banyak tantangan yang harus
dihadapi salah satunyaadalah memastikan kordinasi antar lembaga – lembaga agar
terciptanya konsistensidalam menentukan suatu kebijakan atau menentukan siapa yang
bertanggungjawab atas suatu kebijakan tersebut.
Otoritas Jasa Keuanga Sebagai Pengawas Pasar Modal
Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) resmi memulai tugasnya sebagai lembaga pengawasan pasar modal
Indonesia dan lembaga non bank menggantikan Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Hal Ini merupakan tugas berat Otoritas Jasa
Keuangan untuk dapat memperbaiki industri keuangan yang menjadi harapan bagi
semua pelaku pasar. Otoritas Jasa Keuangan diharapkan dapat meningkatkan
kinerja keuangan di industri pasar modal Indonesia serta akan agresif
mengadakan edukasi kepada masyarakat Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan akan
membantu otoritas Bursa untuk mendorong perusahaan melakukan pelepasan saham ke
publik melalui mekanisme penawaran umum saham perdana (IPO). Otoritas Jasa
Keuangan juga merencanakan pendekatan ke sejumlah perusahaan yang dianggap
potensial untuk menggelar IPO. Selain
itu, lembaga ini akan menciptakan situasi yang lebih kondusif dan aturan yang
sesuai bagi pelaku pasar. Ada tiga strategi yang disebutkan Otoritas Jasa
Keuangan untuk mendorong pertumbuhan pasar modal di Indonesia.
Selain itu, lembaga
ini akan menciptakan situasi yang lebih kondusif dan aturan yang sesuai bagi
pelaku pasar. Ada tiga strategi yang disebutkan Otoritas Jasa Keuangan untuk
mendorong pertumbuhan pasar modal di Indonesia.
1.
Pendalaman
pasar (market deepening) dengan menambah likuditas di pasar serta jumlah
emiten. upaya yang dilakukan OJK saat ini yakni dengan melakukan pendalaman
pasar (market deepening). Hal itu merupakan salah satu aspek terpenting untuk
menjaga pasar keuangan. Market deepening dilakukan dengan menambah likuiditas
di pasar dan tingkatkan jumlah emiten, basis investor, jenis produk,
infrastruktur yang memadai, serta perkembangan pasar utang.
2.
Market
integrity yang disiapkan untuk membuat pelaku pasar lebih kompetitif dengan
infrastruktur memadai. Infrastruktur merupakan public service obligation, yaitu
sesuatu yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah karena infrastruktur
merupakan prasarana publik paling primer dalam mendukung kegiatan ekonomi suatu
negara. Ketersediaan infrastruktur juga sangat menentukan tingkat keefisienan
dan keefektifan kegiatan ekonomi serta merupakan prasyarat agar berputarnya
roda perekonomian berjalan dengan baik.
3.
Otoritas
Jasa Keuangan akan berupaya menegakan hukum (law enforcement) untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas pasar. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi
memegang pengawasan atas pasar modal dan lembaga keuangan non-bank. Peralihan
ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pasar modal Indonesia. Strategi
untuk meningkatkan investasi pasar modal diantaranya, melakukan pendalaman
pasar untuk meningkatkan likuiditasnya, membuat aturan-aturan baru, integrasi
pasar untuk membuat pelaku pasar modal lebih kompetitif dan meningkatkan
pengawasan agar kualitas dan kuantitas.
Perbandingan OJK dengan BI dan Bapepam-LK
Fungsi yang diemban
OJK bukanlah fungsi yang ringan atau
mudah. Berkaca dari pengalaman negara
lain, lembaga semacam OJK tidak
selalu berhasil dalam menjalankan fungsinya. Saat ini OJK belum bekerja dan sejarah nanti yang akan mencatat berhasil tidaknya OJK dalam menjalankan fungsinya dan apakah OJK mampu berfungsi lebih baik dari BI dan Bapepam-LK. Tolok ukur yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan OJK adalah kemampuannya dalam mencegah dan menangani krisis,
independensinya dan kemampuannya dalam memberikan
perlindungan kepada konsumen di
sektor jasa keuangan.
Pembentukan OJK
dilatarbelakangi adanya krisis
moneter yang melanda Indonesia di akhir
tahun 1990an. Krisis tersebut mengakibatkan
dilikuidasinya 16 bank dan dikucurkannya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada sejumlah bank. Lemahnya pengawasan perbankan oleh BI menyebabkan jatuhnya industri perbankan dan terpuruknya perekonomian Indonesia yang berkepanjangan. Selain pengawasan yang lemah, BI
diduga terlibat praktek kolusi
dengan bank-bank yang diawasinya.
Pengucuran BLBI yang merugikan negara diduga karena adanya praktek kolusi
antara pejabat BI dengan pemilik bank yang menerima BLBI. Begitu pula dalam
kasus bail out Bank Century tahun 2008 diduga karena ada praktek kolusi antara
pejabat BI dengan pemilik bank dan pemerintah yang berkuasa pada masa itu,
sehingga dialihkannya fungsi pengawasan perbankan dari BI ke OJK diharapkan dapat
mencegah terjadinya praktik serupa di masa datang
Beralihnya fungsi
pengawasan perbankan dari BI ke OJK juga diikuti dengan perpindahan pejabat dan
pegawai BI yang melaksanakan fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan
pengawasan sektor perbankan ke OJK. Pejabat dan pegawai OJK akan melaksanakan
fungsi, tugas dan wewenang yang sama seperti ketika mereka bekerja di BI.
Berangkat dari hal ini, maka sulit untuk mengharapkan bahwa OJK akan lebih baik
dari BI dalam menjalankan fungsi pengawasan perbankan, karena yang terjadi di
sini bukanlah perubahan sistem, namun perpindahan kantor aparat pengawas
perbankan dari BI ke OJK. Artinya, tetap terbuka kemungkinan adanya praktek
kolusi di dalam OJK antara aparat yang mengawasi perbankan dengan bank yang
diawasinya.
Otoritas Jasa Keuangan Pengawas Baru Pasar Modal
Kegiatan
di pasar modal Indonesia tidak lagi diawasi Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Pengawasan pasar modal, perbankan dan lembaga
keuangan non bank akan menjadi wewenang Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Rapat Paripurna DPR
RI telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Otoritas Jasa Keuangan
menjadi Undang-Undang (UU) pada 27 Oktober lalu. Keputusan diambil secara
aklamasi oleh para wakil rakyat. Pembahasan RUU OJK berlangsung selama 433
hari, sejak 18 Agustus 2010 hingga finalisasi pada 25 Oktober 2011. Butuh lima
masa sidang untuk membahas pembentukan lembaga superbody ini, yang
diiringi tiga kali permintaan perpanjangan waktu pembahasan untuk menyelesaikan
593 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Sesuai kesepakatan, OJK akan resmi
beroperasi mulai 1 Januari 2013. "Kami mengharapkan dengan disetujuinya
RUU tentang OJK ini akan mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh
secara berkelanjutan dan stabil serta melindungi kepentingan konsumen dan
masyarakat Indonesia," kata Ketua Panitia Khusus RUU OJK Nusron saat
membacakan laporan pada rapat paripurna DPR RI. OJK selanjutnya akan menjadi
lembaga yang membawahkan pengawasan perbankan yang selama ini berada di bawah
Bank Indonesia (BI) dan lembaga keuangan di bawah naungan Bapepam-LK. Tugas
pengaturan dan pengawasan yang berkaitan dengan microprudential banking BI
harus dialihkan ke OJK pada 2013. Sedangkan tugas pengaturan dan pengawasan
terhadap lembaga keuangan seperti pasar modal, asuransi, multifinance, dan dana
pensiun harus dialihkan dari Bapepam-LK ke OJK paling lambat Desember 2012. Masa
transisi dari BI dan Bapepam-LK ke OJK diharapkan berjalan mulus. Para wakil
rakyat dan pemerintah sepakat bahwa segala persyaratan yang dibutuhkan mesti dipersiapkan
dengan cermat, baik menyangkut sumber daya manusia, sistem, dan segala
infrastruktur penunjang.
Menurut Menteri
Keuangan Agus D.W Martowardojo, masa transisi adalah masa di mana fungsi
pengawasan jasa keuangan dari Bapepam-LK dan Direktorat Pengawasan Bank
Indonesia akan dilebur secara bertahap, sebelum OJK berdiri permanen. Selama
masa persiapan dan implementasi UU, OJK akan menggunakan anggaran Bapepam-LK
sekitar Rp300 miliar. Setelah peleburan dua otoritas, dan OJK berfungsi secara
penuh, maka lembaga ini akan mengajukan anggaran belanja sendiri dalam rencana
kerjanya. OJK akan mendapat pendanaan dari APBN dan iuran dari lembaga keuangan
yang diawasi.
Menteri Keuangan
mengharapkan, dengan terbentuknya OJK, keseluruhan kegiatan jasa keuangan di
dalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, berkelanjutan
dan stabil. OJK diharapkan menciptakan stabilitas sistem keuangan nasional,
serta mampu berkoordinasi dengan baik dengan institusi lain yang bersentuhan
dengan sitem finansial. "Untuk mencapai tujuan tersebut, OJK harus
dipastikan merupakan lembaga independen dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya. Adapun pemerintah berpendapat, jabatan ex-officio dibutuhkan
untuk menjalin koordinasi dan harmonisasi kebijakan yang lebih efektif antara
OJK dengan otoritas fiskal dan moneter," kata Menkeu. Sebagai wakil
pemerintah, Menkeu menandaskan, pihaknya memahami bahwa proses peralihan dari
Bapepam-LK dan BI kepada OJK harus dilakukan secara cermat dan hati-hati untuk
mengurangi gejolak yang timbul dalam lingkungan internal institusi lama maupun
industri secara keseluruhan. "Waktu peralihan yang memadai dan
langkahlangkah persiapan peralihan yang terstruktur meningkatkan keyakinan akan
lancarnya proses peralihan dari instansi lama ke OJK," ujarnya. Saat ini,
pemerintah dan DPR RI masih membahas komposisi Dewan Komisioner dalam lembaga
pengawasan industri keuangan tersebut. OJK akan dipimpin oleh Dewan Komisioner
yang berasal dari pemerintahmDPR dan profesional. Dalam perkembangan
pembentukan OJK, ada dua opsi terkait dengan Dewan Komisioner.
1. Pertama adalah dua orang yang berasal dari DPR, dua orang
berasal dari pemerintah, dan lima lainnya berasal dari masyarakat.
2. Kedua adalah dua ex-officio yang berasal dari
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Bank Indonesia (BI), serta tujuh dari
independen.
Pembentukan panitia
seleksi dengan dasar keputusan Presiden dan diketuai oleh Menteri Keuangan,
untuk membuat sistem seleksi Dewan Komisioner OJK. Seleksi akan dilakukan
dengan mengundang pemerintah, masyarakat dan akademisi dengan cara diumumkan.
Bisa juga dengan cara panitia seleksi secara aktif mencari talenta pengalaman
yang baik untuk menjadi Dewan Komisioner.
Untuk awalnya,
menurut Agus Martowardojo, panitia akan menjaring 21 orang Dewan Komisioner.
Nantinya, para peserta ini akan diseleksi Presiden dan akan terpilih menjadi 14
orang calon untuk dilakukan fit and proper test atau uji kelayakan di
DPR RI. "Nanti fit and proper test DPR akan menetapkan tujuh Dewan
Komisioner," jelasnya. Sedangkan khusus untuk ketua Dewan Komisioner, akan
dipilih dari 14 calon yang diusulkan Presiden. Presiden, kata Agus, akan
memilih dua calon yang direkomendasikan menjadi Ketua. "Salah satu Ketua
Komisioner, akan diseleksi pertama oleh DPR, yang terpilih akan jadi Ketua,
yang tidak terpilih boleh jadi Anggota Dewan Komisioner," ungkapnya.
Daftar Pustaka
Anwar, Yusuf. Penegakan Hukum dan Pengawasan Pasar
Modal Indonesia, Bandung: 2008.
Budiarto, Agus. Pengantar Hukum Pasar Modal. Yogyakarta:
Universitas Mataram PRESS. 2004.
Departemen Penerangan RI. Pasar Modal Pembangunan
Nasional, Jakarta. 1984.
Fuady, Munir. Pasar Modal Modern (Tinjauan Hukum).
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 1996.
Fakhruddin, M. dan M. Sopian Hadianto, Perangkat Dan
Model Analisis Investasi Di Pasar Modal. Jakarta: PT Gramedia. 2001.
Indonesia, Undang-Undang Tentang Pasar Modal. Nomor 8
Tahun 1995.
Indonesia, Keputusan Presiden Tentang Pasar Modal. Kepres
No. 52 Tahun 1976.
Indonesia, PP RI Nomor 12 Tahun 2004 Perubahan Atas PP RI
Nomor 45 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Dibidang Pasar Modal.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1952 Tentang
Penetapan Undang-Undang Darurat Tentang Bursa (Lembaga Negara Tahun
1951 Nomor 79) sebagai Undang-Undang (lembar Negara Tahun 1952 Nomor
67).
Badan Pengawas Pasar Modal, Keputusan Ketua Bapepam
tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu, Keputusan Nomor
32/PM/2000 (Peraturan Nomor IX.E.1).