E-COMMERCE DALAM KEJAHATAN BISNIS
A. PENDAHULUAN
Kemajuan teknologi digital yang dipadu dengan
telekomunikasi telah membawa komputer memasuki masa-masa “revolusi”-nya. Di
awal tahun 1970-an, teknologi PC atau Personal Computer mulai diperkenalkan
sebagai alternatif pengganti mini computer. Dengan seperangkat komputer yang
dapat ditaruh di meja kerja (desktop), seorang manajer atau teknisi dapat
memperoleh data atau informasi yang telah diolah oleh komputer (dengan
kecepatan yang hampir sama dengan kecepatan mini computer, bahkan mainframe).
Kegunaan komputer di perusahaan tidak hanya untuk meningkatkan efisiensi, namun
lebih jauh untuk mendukung terjadinya proses kerja yang lebih efektif. Tidak
seperti halnya pada era komputerisasi dimana komputer hanya menjadi “milik
pribadi” Divisi EDP (Electronic Data Processing) perusahaan, di era kedua ini
setiap individu di organisasi dapat memanfaatkan kecanggihan komputer, seperti
untuk mengolah database, spreadsheet, maupun data processing (end-user
computing). Pemakaian komputer di kalangan perusahaan semakin marak, terutama
didukung dengan alam kompetisi yang telah berubah dari monompoli menjadi pasar
bebas. Secara tidak langsung, perusahaan yang telah memanfaatkan teknologi
komputer sangat efisien dan efektif dibandingkan perusahaan yang sebagian
prosesnya masih dikelola secara manual. Pada era inilah komputer memasuki babak
barunya, yaitu sebagai suatu fasilitas yang dapat memberikan keuntungan
kompetitif bagi perusahaan, terutama yang bergerak di bidang pelayanan atau
jasa.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa kepuasan pelanggan
terletak pada kualitas pelayanan. Pada dasarnya, seorang pelanggan dalam
memilih produk atau jasa yang dibutuhkannya, akan mencari perusahaan yang
menjual produk atau jasa tersebut: cheaper (lebih murah), better (lebih baik),
dan faster (lebih cepat). Di sinilah peranan sistem informasi sebagai komponen
utama dalam memberikan keunggulan kompetitif perusahaan. Oleh karena itu, kunci
dari kinerja perusahaan adalah pada proses yang terjadi baik di dalam
perusahaan (back office) maupun yang langsung bersinggungan dengan pelanggan
(front office). Dengan memfokuskan diri pada penciptaan proses (business
process) yang efisien, efektif, dan terkontrol dengan baiklah sebuah perusahaan
akan memiliki kinerja yang handal. Tidak heran bahwa di era tahun 1980-an
sampai dengan awal tahun 1990-an terlihat banyak sekali perusahaan yang
melakukan BPR (Business Process Reengineering), re-strukturisasi, implementasi
ISO-9000, implementasi TQM, instalasi dan pemakaian sistem informasi korporat
(SAP, Oracle, BAAN), dan lain sebagainya. Utilisasi teknologi informasi
terlihat sangat mendominasi dalam setiap program manajemen perubahan yang
dilakukan perusahaan-perusahaan.
Tidak ada yang dapat menahan lajunya perkembangan
teknologi informasi. Keberadaannya telah menghilangkan garis-garis batas antar
negara dalam hal flow of information. Tidak ada negara yang mampu untuk
mencegah mengalirnya informasi dari atau ke luar negara lain, karena batasan
antara negara tidak dikenal dalam virtual world of computer. Penerapan
teknologi seperti LAN, WAN, GlobalNet, Intranet, Internet, Ekstranet, semakin
hari semakin merata dan membudaya di masyarakat. Terbukti sangat sulit untuk
menentukan perangkat hukum yang sesuai dan terbukti efektif untuk menangkal
segala hal yang berhubungan dengan penciptaan dan aliran informasi. Perusahaan-perusahaan
pun sudah tidak terikat pada batasan fisik lagi. Melalui virtual world of
computer, seseorang dapat mencari pelanggan di seluruh lapisan masyarakat dunia
yang terhubung dengan jaringan internet. Sulit untuk dihitung besarnya uang
atau investasi yang mengalir bebas melalui jaringan internet.
Transaksi-transaksi perdagangan dapat dengan mudah dilakukan di cyberspace
melalui electronic transaction dengan mempergunakan electronic money. Tidak
jarang perusahaan yang akhirnya harus mendefinisikan kembali visi dan misi
bisnisnya, terutama yang bergelut di bidang pemberian jasa. Kemudahan-kemudahan
yang ditawarkan perangkat canggih teknologi informasi telah merubah mindset
manajemen perusahaan sehingga tidak jarang terjadi perusahaan yang banting stir
menggeluti bidang lain. Bagi negara dunia ketiga atau
yang sedang berkembang, dilema mengenai pemanfaatan teknologi informasi amat
terasa. Di suatu sisi banyak perusahaan yang belum siap karena struktur budaya
atau SDM-nya, sementara di pihak lain investasi besar harus dikeluarkan untuk
membeli perangkat teknologi informasi. Tidak memiliki teknologi informasi,
berarti tidak dapat bersaing dengan perusahaan multi nasional lainnya, alias
harus gulung tikar.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa Electronic Commerce
telah menjadi primadona dalam wacana pembicaran dunia bisnis global dewasa ini.
Tercatat sejumlah seminar besar mengenai hal ini telah dilakukan oleh para
praktisi bisnis dan teknologi informasi di Indonesia selama kurun waktu dua
tahun terakhir. Setiap seminar yang diadakan pada intinya adalah memperkenalkan
seluk beluk fenomena global yang telah “memaksa” perusahaan untuk mau tidak mau
mencermati keberadaan teknologi ini jika ingin tetap bersaing dan
mempresentasikan beragam teknologi informasi yang tersedia di pasaran untuk
membantu perusahaan meng‐“electronic commerce”‐kan dirinya dalam waktu yang relatif cepat. Majalah‐majalah dan surat kabar‐surat kabar berbau ekonomi dan bisnis pun tidak kalah
gencarnya mempromosikan mengenai kecanggihan teknologi digital ini. Namun
terlepas dari berbagai pandangan dan tanggapan yang ada, terdapat beberapa hal
mendasar yang sama sekali belum tersentuh dalam berbagai wacana tersebut. Hal
ini menyangkut dampak makro yang akan terjadi seandainya diasumsikan bahwa
dunia nanti telah terhubung secara digital, sehingga setiap individu dan
korporasi dapat dengan leluasa bertransaksi melalui internet.
Kini internet telah menjadi persoalan khusus semenjak
dimanfaatkan dalam kegiatan perdagangan atau bisnis. Diakui secara ekonomi,
pemanfaatan internet telah memberikan nilai tambah dalam mempercepat proses
transaksi, tetapi secara yuridis masalah pemanfaatan internet ini sangat
riskan bagi para pihak karena karakteristiknya sangat berbeda dengan bisnis
konvensional, sehingga sulit dijangkau dengan aturan hukum yang berlaku.
E-Commerce merupakan salah satu bentuk tranksaksi
perdagangan paling banyak dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi.
Melalui transaksi perdagangan ini konsep pasar tradisional (penjual dan pembeli
secara fisik bertemu) berubah menjadi sistem Telemarketing (jarak jauh
menggunakan internet). E-Commerce pun telah mengubah cara konsumen dalam
memperoleh produk yang diinginkan.
Alasan ini didasarkan kepada suatu realitas bahwa
transaksi e-commerce yang memanfaatkan media internet sifatnya tidak hanya
sebatas lingkup lokal atau nasional tetapi berjalan tanpa batas, sehingga
menimbulkan choice of law, choice of forum dan
masalah yurisdiksi.
B. Pengertian E-Commerce
Definisi dari “E-Commerce” sendiri sangat beragam,
tergantung dari perspektif atau kacamata yang memanfaatkannya. Association for
Electronic Commerce secara sederhana mendifinisikan E-Commerce sebagai
“mekanisme bisnis secara elektronis”. CommerceNet, sebuah konsorsium industri,
memberikan definisi yang lebih lengkap, yaitu “penggunaan jejaring komputer
(komputer yang saling terhubung) sebagai sarana penciptaan relasi bisnis”.
Tidak puas dengan definisi tersebut, CommerceNet menambahkan bahwa di dalam E-Commerce
terjadi “proses pembelian dan penjualan jasa atau produk antara dua belah pihak
melalui internet atau pertukaran dan distribusi informasi antar dua pihak di
dalam satu perusahaan dengan menggunakan internet”.
E-Commerce sebagai “suatu jenis dari mekanisme bisnis
secara elektronis yang memfokuskan diri pada transaksi bisnis berbasis individu
dengan menggunakan internet sebagai medium pertukaran barang atau jasa baik
antara dua buah institusi maupun antar institusi dan konsumen langsung”.
Beberapa kalangan akademisi pun sepakat mendefinisikan E-Commerce sebagai
“salah satu cara memperbaiki kinerja dan mekanisme pertukaran barang, jasa,
informasi, dan pengetahuan dengan memanfaatkan teknologi berbasis jaringan
peralatan digital.
Perkembangan teknologi informasi terutama internet,
merupakan faktor pendorong perkembangan e-commerce. Internet merupakan jaringan
global yang menyatukan jaringan komputer di seluruh dunia, sehingga
memungkinkan terjalinnya komunikasi dan interaksi antara satu dengan yang lain
diseluruh dunia. Dengan menghubungkan jaringan komputer perusahaan dengan
internet, perusahaan dapat menjalin hubungan bisnis dengan rekan bisnis atau
konsumen secara lebih efisien. Sampai saat ini internet merupakan infrastruktur
yang ideal untuk menjalankan e-commerce, sehingga istilah E-Commerce pun
menjadi identik dengan menjalankan bisnis di internet.
Pertukaran informasi dalam E-Commerce dilakukan dalam
format dijital sehingga kebutuhan akan pengiriman data dalam bentuk cetak dapat
dihilangkan. Dengan menggunakan sistem komputer yang saling terhubung melalui
jaringan telekomunikasi, transaksi bisnis dapat dilakukan secara otomatis dan
dalam waktu yang singkat. Akibatnya informasi yang dibutuhkan untuk keperluan
transaksi bisnis tersedia pada saat diperlukan. Dengan melakukan bisnis secara
elektronik, perusahaan dapat menekan biaya yang harus dikeluarkan untuk
keperluan pengiriman informasi. Proses transaksi yang berlangsung secara cepat
juga mengakibatkan meningkatnya produktifitas perusahaan.
Dengan menggunakan teknologi informasi, E-Commerce dapat
dijadikan sebagai solusi untuk membantu perusahaan dalam mengembangkan
perusahaan dan menghadapi tekanan bisnis. Tingginya tekanan bisnis yang muncul
akibat tingginya tingkat persaingan mengharuskan perusahaan untuk dapat
memberikan respon. Penggunaan E-Commerce dapat meningkatkan efisiensi biaya dan
produktifitas perusahaan, sehingga dapat meningkatkan kemampuan perusahaan
dalam bersaing.
Faktor-faktor yang mendorong perkembangan dari e-commerce
antara lain :
a.
E-Commerce memiliki
kemampuan untuk menjangkau lebih banyak pelanggan dan setiap pelanggan dapat
mengakses seluruh informasi secara terus menerus.
b.
E-Commerce dapat mendorong
kreatifitas dari pihak penjual secara cepat dan tepat dan pendistribusian
informasi yang disampaikan berlangsung secara periodik.
c.
E-Commerce dapat
menciptakan efisiensi yang tinggi, murah serta informatif.
d.
E-Commerce dapat
meningkatkan kepuasan pelanggan dengan pelayanan yang cepat, murah, aman dan
akurat.
e.
E-Commerce tidak hanya
dilakukan dalam suatu wilayah tertentu saja, namun tidak terbatas oleh ruang
dan waktu dimanapun berada.
Pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi e-commerce
adalah :
a.
Penjual, yaitu perusahaan
yang menawarkan produknya baik barang maupun jasa melalui jaringan internet.
b.
Konsumen, yaitu pihak yang
ingin memperoleh pelayanan barang atau jasa dari penjual, dengan sistem
pembayaran yang telah diperjanjikan sebelumnya (baik menggunakan kartu kredit
maupun secara tunai).
c.
Acquirer (Pihak perantara
penagihan yaitu pihak yang meneruskan tagihan kepada penerbit berdasarkan
tagihan yang telah masuk kepadanya yang telah diberikan oleh penjual dan pihak
inilah yang melakukan pembayaran terhadap penjual) dan (pihak perantara
pembayaran yaitu bank dimana pembayaran kredit dilakukan oleh pemegang kartu
kredit kemudian akan mengirimkan pembayaran tersebut kepada penerbit kartu
kredit).
d.
Issuer (perusahaan kartu
kredit yang menerbitkan kartu), Diindonesia ada beberapa lembaga yang diizinkan
untuk menerbitkan kartu kredit, yaitu :
1)
Bank dan lembaga keuangan
bukan bank. Tidak semua bank dapat menerbitkan kartu kredit, hanya bank yang
memperoleh izin dari Card International dapat menerbitkan kartu kredit seperti
Master dan Visa Card.
2)
Perusahaan non bank dalam
hal ini PT. Dinner Jaya Indonesia Internasional yang membuat perjanjian dengan
perusahaan yang ada di luar negeri.
3)
Perusahaan yang membuka
cabang dari perusahaan induk yang ada di luar negeri, yaitu American Express.
Dalam e-commerce, sistem pembayaran yang digunakan adalah
antara lain menggunakan :
a.
Tunai atau electronic
cash.
Sistem ini mirip dengan pemakaian uang tunai dalam
kegiatan sehari-hari, dimana konsumen akan membayar dengan koin atau uang
kertas kepada penjual. Dalam sistem E-Commerce nilai dari koin atau uang kertas
ini akan digantikan oleh nilai digital (digital value) atau dengan digital
token. Beberapa contoh dari
sistem ini adalah; NetCash, VisaCash, Ecash, Millicent, CyberCoin, WorldPay
Dalam menerapkan sistem pembayaran tunai ini ada beberapa
sistem E-Commerce yang menerapkan pembayaran offline, yaitu pembayaran
dilakukan ditempat konsumen pada saat barang diantar (cash on delivery).
b.
Sistem debit.
Pada sistem debit pembayaran dilakukan dengan cara
mengambil (di debit) dari rekening konsumen. Contoh dari sistem ini antara adalah;
Bank Internet Payment System (BIPS), FSTC Electronic Check (Echeck), Ecount.
c.
Sistem kredit
Pada Sistem ini kewajiban pembayaran dialihkan kepada
pihak ketiga. Pedagang akan menerima pembayaran dari pihak ketiga (perantara),
sementara penagihan pembayaran terhadap konsumen akan dilakukan oleh pihak
ketiga. Sistem ini terdiri dari Credit Card over HTTP/SSL dan SET.
d.
Digital Cash
Digital cash adalah bentuk elektronik dari uang yang kita
kenal sehari-hari. Digital Cash dapat dibeli dari Bank yang menerbitkannya.
Digital Cash ini dikembangkan oleh David Chaum yang dikenal sebagai bapak uang
elektronik. Uang elektronik yang dikeluarkan DigiCash diberi nama Ecash
e.
CyberCash
CyberCash adalah sebuah cara pembayaran yang ditujukan
terutama untuk transaksi pembayaran barang-barang yang berharga murah
(micropayments) di internet, karena kartu kredit tidak dapat digunakan untuk
transaksi yang nilainya di bawah minimum pembelian. Dalam skenario CyberCash
konsumen diberi sebuah dompet elektronik yang disebut wallet. Wallet tersebut
dipasang pada komputer konsumen dan dijalankan browser pada saat konsumen
berbelanja. Sebelum digunakan konsumen
harus mengisi wallet-nya terlebih dahulu dengan kartu kredit atau dengan uang
elektronik yang diedarkan CyberCash yang diberi nama CyberCoin. Wallet ini
terhubung secara elektronik dengan informasi kartu kredit konsumen. Pada sisi
pedagang digunakan perangkat lunak Secure Merchant Payment System (SMPS) yang
disediakan oleh CyberCash. Perangkat lunak ini berfungsi menghubungkan antara
Pedagang dengan CyberCash. Sebelum menggunakan CyberCash Pedagang harus
mendaftar terlebih dahulu kepada CyberCash.
f.
First Virtual
First Virtual adalah sebuah perusahaan jasa pelayanan
pembayaran transaksi di internet dengan menggunakan kartu kredit. First Virtual
bertindak sebagai perantara antara konsumen, pengelola kartu kredit dan
pedagang. Dalam skenario sistem
pembayaran yang dilakukan First Virtual konsumen membayar kepada First Virtual
terlebih dahulu. Setelah First Virtual menerima pembayaran dari pengelola kartu
kredit konsumen, baru kemudian pedagang menerima pembayaran dari First Virtual.
g.
NetChex
NetChex adalah cek elektronik yang ditulis konsumen
dengan menggunakan perangkat lunak yang dikeluarkan NetChex. Sebelum konsumen
dapat menggunakan NetChex terlebih dahulu harus mendaftar ke NetChex untuk
mendapatkan shadow account. Waktu konsumen menulis cek yang digunakan bukan
lagi nomor rekening asli tapi menggunakan shadow account, sehingga nomor
rekening bank dan data sensitif lainnya tidak perlu ditransmisikan lewat
internet. Pada waktu proses kliring yang terlibat adalah bank konsumen, bank
pedagang dan NetChex sebagai perantara yang menyimpan data rekening asli dan
shadow account dari konsumen dan pedagang, proses kliringnya tetap dilakukan sesuai
cara yang digunakan perbankan.
h. E-Gold
Hampir sama dengan digitalCash, E-Gold juga merupakan
uang elektronik yang dikeluarkan oleh perusahaan E-Gold tapi dalam bentuk emas,
sehingga nilai uangnya akan mengikuti harga emas dipasaran. Untuk dapat menggunakan
E-Gold konsumen dan pedagang harus mendaftar terlebih dahulu untuk mendapatkan
account dari E-Gold. Pembayaran dilakukan dengan mentransfer E-Gold dalam
jumlah tertentu ke account E-Gold pedagang.
C. Permasalahan Mendasar Dalam E-Commerce.
Permasalahan-permasalahan yang mendasar dalam e-commerce
adalah sebagai berikut :
1.
Permasalahan yang bersifat
substantif, :
a.
Keaslian data message dan
digital signature.
Keabsahan data message ini menadi persoalan yang sangat
vital dalam e-commerce, karena data message inilah yang dijadikan dasar utama
terbentuknya suatu kontrak, baik itu dalam hubungannya dengan kesepakatan
ketentuan-ketentuan dan persyaratan kontrak ataupun dengan substansi
kesepakatan itu sendiri.
b.
Keabsahan (Validity).
Keabsahan suatu kontrak tergantung pada pemenuhan
syarat-syarat kontrak. Apabila syarat-syarat kontrak terlah terpenuhi, yang
terutama adalah adanya kesepakatan atau persetujuan antara para pihak, maka
kontrak dinyatakan terjadi. Dalam e-commerce ini, terjadinya kesepakatan sanagat
erat hubungannya dengan penerimaan atas absah dan otentiknya data message yang
memuat kesepakatan itu.
c.
Kerahasiaan (Privacy)
Kerahasiaan ini meliputi data dan atau informasi dan juga
perlindungan terhadap data dan informasi tersebut dari akses yang tidak sah dan
berwenang.
d.
Keamanan (Security)
Masalah keamanan merupakan masalah penting karena
keberadaannya menciptakan rasa nyaman bagi para pengguna (user) dan pelaku
bisnis untuk tetap menggunakan media elektronik sebagai kepentingan bisnisnya.
e.
Ketersediaan
(availability).
Permasalahan lain yang harus diperhatikan juga adalah
keberadaan informasi yang dibuat dan ditransmisikan secara elektronik yang
harus ada setiap kali dibutuhkan.
2.
Permasalahan yang bersifat
prosedural.
Yaitu pengakuan dan daya mengikat putusan hakim dari
negara lain untuk diberlakukan dan dilaksanakan di negeri lawan, sekalipun hal
ini memakai instrumen-instrumen internasional.
Sepanjang menyangkut permasalahan-permasalahan pidana,
suatu negara memiliki jurisdiksi sebagai berikut :
a.
Jurisdiksi dengan prinsip
teritorial yaitu setiap negara mempunyai jurisdiksi terhadap
kejahatan-kejahatan yang dilakukan diwilayahnya, terhadap setiap orang dan
setiap benda yang berada dalam wilayahnya.
b.
Jurisdiksi berdasarkan
kewarganegaraan atau kebangsaan
c.
Jurisdiksi berdasarkan
perlingdungan kepentingan penting negara. Berdasarkan prinsip ini, suatu negara
dapat melaksanakan jurisdiksinya terhadap warga negara lain yang melakukan
kejahatan di luar negeri yang bisa mengancam kepentingan keamanan, kemerdekaan
dan integritasnya.
d.
Yurisdiksi Universal,
yaitu bahwa setiap negara mempunyai jurisdiksi untuk mengadili tindak kejahatan
tertentu apabila kejahatan tersebut mengancam atau memiliki karakter
membahayakan rakyat internasional tanpa melihat siapa pelaku, warga negara mana
dan tempat kejadiannya dimana.
D. Cyberlaw Dalam E-Commerce
Hak dan kewajiban tidak ada artinya jika tidak dilindungi
oleh hukum yang dapat menindak mereka yang mengingkarinya. Sebuah dokumen untuk
dapat diajukan ke depan pengadilan harus mengikuti tiga aturan utama:
1.
The rule of
authentification;
2.
Hearsay rule; dan
3.
The Best Evidence rule.
Pengadilan modern telah dapat mengadaptasi ketiga jenis
aturan ini di dalam sistem e‐commerce. Masalah
autentifikasi misalnya telah dapat terpecahkan dengan memasukkan unsur‐unsur origin dan accuracy of storage jika email ingin
dijadikan sebagai barang bukti (sistem email telah diaudit secara teknis untuk
membuktikan bahwa hanya orang tertentu yang dapat memiliki email dengan alamat
tertentu, dan tidak ada orang lain yang dapat mengubah isi email ataupun
mengirimkannya selain yang bersangkutan). Termasuk pula untuk proses
autentifikasi dokumen digital yang telah dapat diimplementasikan dengan konsep
digital signature. Aspek hearsay yang dimaksud adalah adanya pernyataan‐pernyataan di luar pengadilan yang dapat diajukan sebagai
bukti. Di dalam dunia maya, hal‐hal semacam email,
chatting, dan tele‐conference dapat menjadi
sumber potensi entiti yang dapat dijadikan bukti.
Namun tentu saja pengadilan harus yakin bahwa berbagai
bukti tersebut benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Faktor best‐evidence berpegang pada
hirarki jenis bukti yang dapat dipergunakan di pengadilan untuk meyakinkan
pihak‐pihak terkait mengenai suatu hal, mulai dari dokumen
tertulis, rekaman pembicaraan, video, foto, dan lain sebagainya. Hal‐hal semacam tersebut di atas selain secara mudah telah
dapat didigitalisasi oleh komputer, dapat pula dimanipulasi tanpa susah payah;
sehubungan dengan hal ini, pengadilan biasanya berpegang pada prinsip
originalitas (mencari bukti yang asli).
Dalam melakukan kegiatan e-commerce, tentu saja memiliki
payung hukum, terutama di negara Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Internet dan Transaksi Elektronik, walaupun belum secara keseluruhan
mencakup atau memayungi segala perbuatan atau kegiatan di dunia maya, namun
telah cukup untuk dapat menjadi acuan atau patokan dalam melakukan kegiatan
cyber tersebut.
Beberapa pasal dalam Undang-Undang Internet dan Transaksi
Elektronik yang berperan dalam e-commerce adalah sebagai berikut :
1.
Pasal 2
Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang
melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang
berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang
memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum
Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
2.
Pasal 9
Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem
Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan
syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.
3.
Pasal 10
(1)
Setiap pelaku usaha yang
menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga
Sertifikasi Keandalan.
(2)
Ketentuan mengenai
pembentukan Lembaga Sertifikasi Keandalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4.
Pasal 18
(1)
Transaksi Elektronik yang
dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak.
(2)
Para pihak memiliki
kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik
internasional yang dibuatnya.
(3)
Jika para pihak tidak
melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik internasional, hukum yang
berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.
(4)
Para pihak memiliki
kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga
penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang
mungkin timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
(5)
Jika para pihak tidak
melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan
kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif
lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi
tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional
5.
Pasal 20
(1)
Kecuali ditentukan lain
oleh para pihak, Transaksi Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi
yang dikirim Pengirim telah diterima dan disetujui Penerima.
(2)
Persetujuan atas penawaran Transaksi
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan
penerimaan secara elektronik.
6.
Pasal 21
(1)
Pengirim atau Penerima
dapat melakukan Transaksi Elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan
olehnya, atau melalui Agen Elektronik.
(2)
Pihak yang bertanggung
jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a.
jika dilakukan sendiri,
segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung
jawab para pihak yang bertransaksi;
b.
jika dilakukan melalui
pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik
menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau
c.
jika dilakukan melalui
Agen Elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik
menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
(3)
Jika kerugian Transaksi
Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat tindakan pihak
ketiga secara langsung terhadap Sistem Elektronik, segala akibat hukum menjadi
tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
(4)
Jika kerugian Transaksi
Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat kelalaian
pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab
pengguna jasa layanan.
(5)
Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya
keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem
Elektronik.
7.
Pasal 22
(1)
Penyelenggara Agen
Elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada Agen Elektronik yang
dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi
yang masih dalam proses transaksi.
(2)
Ketentuan lebih lanjut
mengenai penyelenggara Agen Elektronik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
8.
Pasal 30
(1)
Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem
Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.
(2)
Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem
Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
(3)
Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem
Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau
menjebol sistem pengamanan.
9.
Pasal 46
(1)
Setiap Orang yang memenuhi
unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2)
Setiap Orang yang memenuhi
unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
(3)
Setiap Orang yang memenuhi
unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
E. Contoh Kasus Dalam E-Commerce
Dalam beberapa dekade terakhir ini, banyak sekali
perbuatan-perbuatan pemalsuan (forgery) terhadap surat-surat dan
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan bisnis. Perbuatan-perbuatan pemalsuan
surat itu telah merusak iklim bisnis di Indonesia. Dalam KUH Pidana memang
telah terdapat Bab khusus yaitu Bab XII yang mengkriminalisasi
perbuatan-perbuatan pemalsuan surat, tetapi ketentuan-ketentuan tersebut
sifatnya masih sangat umum. Pada saat ini surat-surat dan dokumen-dokumen
yang dipalsukan itu dapat berupa electronic document yang dikirimkan atau yang
disimpan di electronic files badan-badan atau institusi-institusi pemerintah,
perusahaan, atau perorangan. Seyogyanya Indonesia memiliki ketentuan-ketentuan
pidana khusus yang berkenaan dengan pemalsuan surat atau dokumen dengan
membeda-bedakan jenis surat atau dokumen pemalsuan, yang merupakan lex
specialist di luar KUH Pidana.
Di Indonesia pernah terjadi kasus cybercrime yang
berkaitan dengan kejahatan bisnis, tahun 2000 beberapa situs atau web Indonesia
diacak-acak oleh cracker yang menamakan dirinya Fabianclone dan
naisenodni. Situs tersebut adalah antara lain milik BCA, Bursa Efek Jakarta dan
Indosatnet (Agus Raharjo, 2002.37).
Selanjutnya pada bulan September dan Oktober 2000,
seorang craker dengan julukan fabianclone berhasil
menjebol web milik Bank Bali. Bank ini memberikan layanan internet banking pada
nasabahnya. Kerugian yang ditimbulkan sangat besar dan mengakibatkan
terputusnya layanan nasabah (Agus Raharjo 2002:38).
Kejahatan lainnya yang dikategorikan sebagai cybercrime
dalam kejahatan bisnis adalah Cyber Fraud, yaitu kejahatan yang
dilakukan dengan melakukan penipuan lewat internet, salah satu diantaranya
adalah dengan melakukan kejahatan terlebih dahulu yaitu mencuri nomor kartu
kredit orang lain dengan meng-hackatau membobol situs pada
internet.
Menurut riset yang dilakukan perusahaan Security Clear
Commerce yang berbasis di Texas, menyatakan Indonesia berada di urutan kedua
setelah Ukraina (Shintia Dian Arwida. 2002).
Cyber Squalling, yang dapat diartikan sebagai
mendapatkan, memperjualbelikan, atau menggunakan suatu nama domain dengan
itikad tidak baik atau jelek. Di Indonesia kasus ini pernah terjadi antara PT.
Mustika Ratu dan Tjandra, pihak yang mendaftarkan nama domain tersebut (Iman
Sjahputra, 2002:151-152).
Satu lagi kasus yang berkaitan dengan cybercrime di
Indonesia, kasus tersebut diputus di Pengadilan Negeri Sleman dengan Terdakwa
Petrus Pangkur alias Bonny Diobok Obok. Dalam kasus tersebut, terdakwa didakwa
melakukan Cybercrime. Dalam amar putusannya Majelis Hakim berkeyakinan bahwa
Petrus Pangkur alias Bonny Diobok Obok telah membobol kartu kredit milik warga
Amerika Serikat, hasil kejahatannya digunakan untuk membeli barang-barang
seperti helm dan sarung tangan merk AGV. Total harga barang yang dibelinya
mencapai Rp. 4.000.000,- (Pikiran Rakyat, 31 Agustus 2002).
Namun, beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan
cybercrime dalam kejahatan bisnis jarang yang sampai ke meja hijau, hal ini
dikarenakan masih terjadi perdebatan tentang regulasi yang berkaitan dengan
kejahatan tersebut. Terlebih mengenai UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan
Transaksi Elektronika yang sampai dengan hari ini walaupun telah disahkan pada
tanggal 21 April 2008 belum dikeluarkan Peraturan Pemerintah untuk sebagai
penjelasan dan pelengkap terhadap pelaksanaan Undang-Undang tersebut.
Disamping itu banyaknya kejadian tersebut tidak
dilaporkan oleh masyarakat kepada pihak kepolisian sehingga cybercrime yang
terjadi hanya ibarat angin lalu, dan diderita oleh sang korban.
F. KESIMPULAN
1.
Definisi dari “E-Commerce”
sendiri sangat beragam, tergantung dari perspektif atau kacamata yang
memanfaatkannya. Association for Electronic Commerce secara sederhana
mendifinisikan E-Commerce sebagai “mekanisme bisnis secara elektronis”.
CommerceNet, sebuah konsorsium industri, memberikan definisi yang lebih
lengkap, yaitu “penggunaan jejaring komputer (komputer yang saling terhubung)
sebagai sarana penciptaan relasi bisnis”. Tidak puas dengan definisi tersebut,
CommerceNet menambahkan bahwa di dalam E-Commerce terjadi “proses pembelian dan
penjualan jasa atau produk antara dua belah pihak melalui internet atau
pertukaran dan distribusi informasi antar dua pihak di dalam satu perusahaan
dengan menggunakan internet”.
2.
Permasalahan –permasalahan
yang mendasar dalam e-commerce antara lain :
Pertama, di dalam dunia maya,
virtualisasi merupakan konsep utama yang mendasari bentuk dan struktur sebuah
perusahaan. Di dalam perusahaan virtual, aset-aset yang bersifat fisik sedapat
mungkin ditiadakan. Para pelanggan yang ada di seluruh dunia tidak berhadapan
dengan institusi melalui transaksi fisik yang melibatkan bangunan, orang, dan
benda-benda riil lainnya, melainkan hanya berhadapan dengan sebuah situs
elektronik. Cukup dengan uang $35 setahun (untuk memesan sebuah domain alamat),
sebuah perusahaan dapat berdiri dan menawarkan jasa atau produknya ke berbagai
negara, tanpa harus dibebani dengan berbagai urusan administratif. Penerapan
pasal-pasal cyberlaw yang mempersulit pendirian sebuah perusahaan akan
mengurangi niat pemain-pemain baru untuk mendirikan perusahaan virtual, yang
artinya akan membuat lesu industri di dunia maya.
Kedua, model bisnis yang
diterapkan cenderung menghilangkan segala bentuk mediasi. Hal ini dimungkinkan
terjadi karena melalui jaringan internet, individu dapat dengan mudah melakukan
transaksi dengan individu lain (atau antar perusahaan) secara cepat. Fenomena
ini adalah bentuk sederhana dari sebuah pasar bebas dimana kedua pihak yang
bertransaksi secara sadar melakukan pertukaran jasa atau produk dengan resiko
yang disadari bersama. Penerapan pasal-pasal cyberlaw yang mengurangi
keuntungan maksimum yang selama ini didapatkan oleh kedua belah pihak yang
melakukan transasksi akan berakibat berkurangnya frekuensi dan volume bisnis di
internet.
Ketiga, batasan antara
produsen dan konsumen menjadi kabur. Istilah yang berkembang adalah “prosumer”
karena model bisnis yang ada di dunia maya memungkinkan seseorang untuk menjadi
produsen dan konsumen pada saat yang bersamaan (seperti kasus keanggotaan
American Online, E-Groups, Geocities, dsb.). Penerapan pasal-pasal cyberlaw
yang mendasarkan diri pada sistem ekonomi konvensional (seperti hukum
permintaan dan penawaran) akan mencegah tumbuhnya berbagai model bisnis yang
selama ini menjadi daya tarik dan keunggulan dari dunia maya.
Keempat, adalah suatu
kenyataan bahwa sebuah perusahaan virtual tidak dapat mengerjakan seluruh
bisnisnya sendiri, melainkan harus melakukan kerja sama dengan berbagai
perusahaan virtual lainnya (seperti merchants, content providers, technology
vendors, dsb.). Hal ini berakibat adanya ketergantungan antar perusahaan di
internet yang sangat tinggi. Penerapan pasal-pasar cyberlaw yang mempermudah
sebuah perusahaan untuk gulung tikar akan berakibat runtuhnya bisnis beberapa
perusahaan lain yang bergantung padanya.
Kelima, sumber daya utama yang
mutlak dibutuhkan dalam proses penciptaan produk dan jasa adalah pengetahuan
(knowledge). Karena pengetahuan pada dasarnya melekat pada sumber daya manusia
(unsur-unsur kreativitas, intelektualitas, emosional, dsb.), tidak mengenal batasan
negara, dan mudah dipertukarkan maupun dikomunikasikan, maka segala bentuk
proteksi menjadi tidak relevan dan efektif untuk diterapkan. Penerapan
pasal-pasal cyberlaw yang bersifat membatasi dan mengekang individu untuk
mempergunakan atau mempertukarkan pengetahuan yang dimilikinya akan berdampak
berkurangnya jenis produk atau jasa yang mungkin diciptakan.
Dari kelima prinsip utama di atas terlihat bahwa
perumusan dan pengembangan cyberlaw harus dilakukan secara ekstra hati-hati.
Dunia maya merupakan satu-satunya arena bisnis saat ini yang telah menerapkan
konsep pasar bebas dan globalisasi informasi secara hampir sempurna. Keberadaan
cyberlaw pada dasarnya sangat dibutuhkan bukan semata-mata untuk melindungi
hak-hak konsumen atau menegakkan keadilan dalam aturan main bisnis, namun lebih
jauh untuk mencegah terjadinya “chaos” di dunia maya. Karena walau
bagaimanapun, kekacauan di dunia maya akan berdampak secara langsung terhadap
kehidupan manusia di dunia nyata.
3.
Penerapan cyberlaw yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ekonomi digital dapat berakibat tidak
berkembangnya model transaksi bisnis modern ini. Pemikiran mengenai cyberlaw
ada baiknya untuk mulai dibuka dan dipandang serius. Hal ini sangat perlu
dilakukan mengingat banyaknya para praktisi hukum, manajemen, bisnis, dan
teknologi informasi yang ingin buru-buru menyusun dan membuat konsepnya tanpa
pemahaman yang lengkap dan memadai mengenai konsep perdagangan elektronik, atau
yang lebih dikenal sebagai e-commerce. Gagal memahami dan mengerti mengenai
bagaimana konsep bisnis di dunia maya terjadi dapat membuat keberadaan cyberlaw
menjadi kontraproduktif. Implementasi cyberlaw yang pada mulanya ditujukan
untuk menggairahkan bisnis e-commerce tidak mustahil malah berdampak
sebaliknya, yaitu mematikan pertumbuhan konsep bisnis yang sedang menjadi trend
di berbagai belahan dunia. E-commerce merupakan salah satu varian dari
e-business yang hanya akan secara efektif beroperasi jika prinsip-prinsip
ekonomi digital dipenuhi.
4.
Kasus-kasus cybercrime dalam
bidang e-commerce sebenarnya banyak sekali terjadi, namun ditengah keterbatasan
teknologi dan sumber daya manusia dibidang penyelidikan dan penyidikan, banyak
kasus-kasus yang tidak terselesaikan bahkan tidak sempat dilaporkan oleh
korban.
REFERENSI
Abdul
Wahid, Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara, Cyber Crime,
Refika Aditama, Bandung, 2005
Barda
Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara, Perkembangan Kajian
Cyber Crime Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2006
Budi
Rahardjo Keamanan Sistem Informasi Berbasis Internet,
insane Indonesia, bandung 1998-2005.
Cambridge
William Gibson, 1984, Neuromancer, New York:Ace, hal. 51, dikutip dari Agus
Raharjo, Cybercrime, Citra Aditya, Bandung,
2002
Didik M
Arief Mansur, Gultom, Elisatris, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi,
Refika Aditama, Bandung, cet.ke-2,
2009
Eoghan
Casey , Digital Evidence and Komputer Crime,
(London : A Harcourt Science and Technology Company, 2001)
Ricardus
Eko Indrajit, E-Business; Konsep Dan Aplikasi E-Business, Edisi Koleksi dan Pemikiran,
Editor Yurindra, ____________
Ricardus
Eko Indrajit, E-Commerce; Kiat Dan Strategi Di Dunia Maya, Edisi Koleksi dan
Pemikiran, Editor Yurindra, ___________
https://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-kejahatan-bisnis/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar