WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Selasa, 09 Februari 2021

 

SEJARAH TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh:

Dr. MUHAMMAD TAUFIQ, S.H., M.H.

 

I.              SEJARAH TINDAK PIDANA KORUPSI

Upaya mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan telah tertuang dalam bentuk peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Di Indonesia langkah-langkah pembentukan hukum positif untuk menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui beberapa masa perubahan peraturan Perundang-undangan. Istilah korupsi sebagai istilah yuridis baru digunakan tahun 1957, yaitu dengan adanya Peraturan Penguasa Militer yang berlaku di daerah Kekuasaan Angkatan Darat (Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957). Beberapa peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia sebagai berikut:

1.    Masa Peraturan Penguasa Militer, yang terdiri dari:

a.    Pengaturan yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat. Rumusan korupsi menurut perundang-undangan ini ada dua yaitu, tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian.[1] Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan material baginya.

b.    Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 berisi tentang pembentukan badan yang berwenang mewakili negara untuk menggugat secara perdata orang-orang yang dituduh melakukan berbagai bentuk perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan (perbuatan korupsi lainnya lewat Pengadilan Tinggi. Badan yang dimaksud adalah Pemilik Harta Benda (PHB).

c.    Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957 merupakan peraturan yang menjadi dasar hukum dari kewenangan yang dimiliki oleh Pemilik Harta Benda (PHB) untuk melakukan penyitaan harta benda yang dianggap hasil perbuatan korupsi lainnya, sambil menunggu putusan dari Pengadilan Tinggi.

d.    Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan darat Nomor PRT/PEPERPU/031/1958 serta peraturan pelaksananya.

e.    Peraturan Penguasaan Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor PRT/z.1/I/7/1958 tanggal 17 April 1958 (diumumkan dalam BN Nomor 42/58). Peraturan tersebut diberlakukan untuk wilayah hukum Angkatan Laut.)[2]

2.    Masa Undang-Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.[3] Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Anti Korupsi, yang merupakan peningkatan dari berbagai peraturan. Sifat Undang-Undang ini masih melekat sifat kedaruratan, menurut pasal 96 UUDS 1950, pasal 139 Konstitusi RIS 1949.20 Undang-Undang ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961.

3.    Masa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI 2958) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4.    Masa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI 387), tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI 4150), itentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137.TNLRI 4250) tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dasar hukum dari munculnya peraturan di luar Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) di atas adalah Pasal 103 KUHP. Di dalam pasal tersebut dinyatakan, “ Ketentuan-ketentuan dalam BAB I sampai dengan BAB VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali oleh Undang-Undang ditentukan lain.”

Ketentuan dalam peraturan perundang-undangan mengatur lain dari pada yang telah diatur dalam KUHP, dapat diartikan bahwa suatu bentuk aturan khusus telah mengesampingkan aturan umum (Lex Specialis Derogat Legi Generali). Dengan kata lain Pasal 103 KUHP memungkinkan suatu ketentuan perundang-undangan di luar KUHP untuk mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur di dalam KUHP. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebenarnya terdapat ketentuan-ketentuan yang mengancam dengan pidana orang yang melakukan delik jabatan, pada khususnya delik-delik yang dilakukan oleh pejabat yang terkait dengan korupsi.

Ketentuan- ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam KUHP dirasa kurang efektif dalam mengantisipasi atau bahkan mengatasi permasalahan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dibentuklah suatu peraturan perundang-undangan guna memberantas masalah korupsi, dengan harapan dapat mengisi serta menyempurnakan kekurangan yang terdapat pada KUHP. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana korupsi, maka ketentuan Pasal 209 KUHP, Pasal 210 KUHP, Pasal 387 KUHP, Pasal 388 KUHP, Pasal 415, Pasal 416 KUHP, Pasal 417 KUHP, Pasal 418 KUHP, Pasal 419 KUHP, Pasal 420 KUHP, Pasal 423 KUHP, Pasal 425 KUHP, Pasal 434 KUHP dinyatakan tidak berlaku.

Perumusan tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 adalah setiap orang (orang-perorangan atau korporasi) yang memenuhi unsur/elemen dari Pasal tersebut. Dengan demikian, pelaku tindak pidana korupsi menurut pasal ini adalah “Setiap Orang”, tidak ada keharusan Pegawai Negeri. Jadi, juga dapat dilakukan oleh orang yang tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau korporasi, yang dapat berbentuk badan hukum atau perkumpulan. Adapun perbuatan yang dilakukan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi adalah sebagai berikut:[4]

1.    Memperkaya diri sendiri, artinya bahwa perbuatan melawan hukum itu pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya sendiri.

2.    Memperkaya orang lain, maksudnya akibat perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau bertambahnya harta bendanya. Jadi, di sini yang diuntungkan bukan pelaku langsung.

3.    Memperkaya korporasi, atau mungkin juga yang mendapat keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporasi, yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 angka 1 undang-undang Nomor 31 Tahun 1999).

Lembaga pemberantasan korupsi dewasa ini telah mengalami perubahan bahkan menunjukan perkembangan guna meningkatkan pemberantasan tindak pidana korupsi, dimulai sejak masa orde lama, masa orde baru dan masa reformasi. Perubahan dan/atau perkembangan tersebut yakni:[5]

A.  Masa Orde Lama

Orde Lama, Kabinet Djuanda, dimasa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang keadaan bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN), badan ini dipimpin oleh A. H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Profesor M.Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada PARAN inilah seluruh pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada PARAN, tetapi langsung kepada presiden. Di imbuhi dengan kekacauan politik, PARAN berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.

Operasi Budhi didirikan pada Tahun 1963, melalui Keputusan Presiden Nomor 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A. H. Nasution, yang pada saat itu menjabat sebagai menteri koordinator pertahanan dan kemanan/KASAB, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Bhudi. kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi kepengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta Lembaga Negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan Kolusi Lagi-lagi alasan politisi menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang bertugas ke Luar Negeri dan direksi lainnya menolak karena belum adanya surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektifitas lembaga ini. Operasi Budhi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang lebih Rp. 11 Miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubaranya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KONTRAF) dengan presiden Soekarno menjadi ketuanya, serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatat bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama kembali masuk kejalur lambat, bahkan macet.

 

B.  Masa Orde Baru

Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato Kenegaraan pada tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan Demokrasi yang terpusat ke Istana, pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun ternyata, ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite 4 (empat) beranggotakan Tokoh-Tokoh Tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof. Johanes, I.J. Kasimo, Mr. Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV. Waringin, PT. Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.

Empat tokoh bersih ini menjadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down dikalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Operasi Tertib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.

C.  Masa Reformasi

Di Era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peratuan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. namun, ditengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkanya ke Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Nasib Serupa tapi tidak sama dialami oleh KPKPN dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri menguap. Artinya, KPK adalah Lembaga Pemberantasan Korupsi Terbaru yang kian bertahan.

Perkembangan Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia:[6]

A.  Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960

Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 pada dasarnya dibentuk untuk menjaring beberapa perbuatan korupsi yang dilakukan oleh suatu badan atau badan hukum tertentu dengan menggunakan fasilitas, modal atau kelonggaran dari Negara dan masyarakat.

B.  Undang-Undang No. 3 Tahun 1971[7]

Terdapat dua alasan mengapa Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dibentuk yaitu:

1.    Perbuatan-perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan dan/atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional.

2.    Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi berhubungan dengan perkembangan masyarakat kurang mencukupi untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan, dan oleh karenanya undang-undang tersebut perlu diganti.

C.  Undang-Undang No. 31 Tahun 1999[8]

Dalam perkembangannya, walaupun keberadaan undang-undang sebelumnya yang mengatur mengenai pemberantasan korupsi yang hakikatnya sudah maju dan progresif, akan tetapi perkembangan masyarakat dan teknologi informasi yang memicu munculnya kejahatan korupsi baru dengan modus operandi yang sama sekali baru mau tidak mau harus ter-cover dalam perundang-undangan pidana korupsi. Jika diuraikan secara rinci ada 9 (sembilan) hal pokok yang menunjukan perkembangan hukum:

1.    Diakuinya korporasi sebagai subjek hukum atau subjek delik dalam tindak pidana korupsi. Pasal 1 ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999.

2.    Pengertian pegawai negeri dalam undang-undang No. 31 Tahun 1999 diperluas maknanya dibandingkan dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971, Pasal 1 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 menyatakan bahwa disebut pegawai negeri meliputi:

a.    Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang kepegawaian;

b.    Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

c.    Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah;

d.    Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah;

e.    Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat.

3.    Sifat melawan hukum dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 secara eksplisit diperluas maknanya tidak hanya melawan hukum formil tetapi juga melawan hukum materiil.

4.    Terdapat penambahan kata “dapat” sebelum frase “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam ketentuan pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3, yang menunjukan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbul akibatnya.

5.    Diperluasnya pengertian keuangan negara atau perekonomian negara.

6.    Diaturnya mengenai ancaman pidana minimum khusus dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999.

7.    Dicantumkannya pidana seumur hidup atau pidana mati atas pelanggaran ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa, dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan dalam keadaaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

8.    Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 juga mengatur perumusan ancaman pidana kumulatif yang terdapat dalam Pasal 2, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 12B ayat (2) antara pidana penjara dan pidana denda.

9.    Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 juga mengatur peradilan in absentia sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 38 ayat (1). Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pasal 43), partisipasi masyarakat dalam bentuk hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan tindak pidana korupsi (Pasal 41) dan memberikan penghargaan kepada mereka yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan atau pengungkapan tindak pidana korupsi.

D.  Undang-Undang No. 20 Tahun 2001[9]

Beberapa perubahan penting dan mendasar dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 yang tidak ditemukan dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yaitu:

1.    Perubahan redaksi penjelasan Pasal 2 ayat (2) sehingga menjadi:

“Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

2.    Rumusan Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11 dan Pasal 12 langsung disebutkan unsur-unsurnya dalam ketentuan Pasal-pasal bersangkutan, tidak lagi mengacu pada pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

3.    Perluasan alat bukti petunjuk sebagaimana dalam ketentuan Pasal 26A khusus untuk tindak pidana korupsi yang diperoleh dari (a) alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan optik atau yang serupa dengan itu; dan (b) dokumen yakni, setiap rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta rancangan foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna.

4.    Substansi Pasal 37 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dirubah secara khusus pada frase “keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan dirinya menjadi “pembuktian tersebut digunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti. Kata “dapat” dalam Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 juga dibuang.

5.    Pasal 43A menentukan bahwa tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum undang-undang No. 31 Tahun 1999 diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan UU No. 3 tahun 1971 dengan ketentuan maskimum pidana penjara yang menguntungkan terdakwa diberlakukan ketentuan Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10 dan Pasal 13 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Ketentuan pidana penjara minimum tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999.

6.    Ketentuan Pasal 43B yang isinya menghapus dan menyatakan tidak berlaku Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 420, 423, 425 dan Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana pada saat mulai berlaku undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

E.   Undang-Undang No. 7 Tahun 2006[10]

Pada dasarnya Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 merupakan pengesahan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), terdapat dua alasan penting mengapa UNCAC perlu diratifikasi:

1.    Tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal akan tetapi merupakan fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan perekonomian sehingga penting adanya kerja sama internasional guna pencegahan dan pemberantasannya termasuk pemulihan atau pengembalian aset-aset hasil-hasil tindak pidana korupsi;

2.    Kerjasama internasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu didukung oleh integritas, akuntabilitas, dan manajemen pemerintahan yang baik.

F.   Undang-Undang No. 46 Tahun 2009[11]

Pada dasarnya undang-undang No. 46 Tahun 2009 tentang pengadilan tindak pidana korupsi dibentuk berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 yang menyatakan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 53 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pada dasarnya sejalan dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan umum yang dibentuk dengan undang-undang tersendiri.

Jika ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak peraturan perundang-undangan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi. Diantaranya ada KUHP, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi beserta revisinya melalui Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, bahkan sudah ada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Secara substansi Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 telah mengatur berbagai aspek yang kiranya dapat menjerat berbagai modus operandi tindak pidana korupsi yang semakin rumit. Dalam Undang-Undang ini tindak pidana korupsi telah dirumuskan sebagai tindak pidana formil, pengertian pegawai negeri telah diperluas, pelaku korupsi tidak didefenisikan hanya kepada orang per-orangan tetapi juga pada korporasi, sanksi yang dipergunakan adalah sanksi minimum sampai pidana mati, seperti yang tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan telah pula dilengkapi dengan pengaturan mengenai kewenangan penyidik, penuntut umumnya hingga hakim yang memeriksa di sidang pengadilan. Bahkan, dalam segi pembuktian telah diterapkan pembuktian tebalik secara berimbang dan sebagai kontrol, undang-undang ini dilengkapi dengan Pasal 41 pengaturan mengenai peran serta masyarakat, kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu pengaturan tindak pidana korupsi dilakukan melalui kerja sama dengan dunia Internasional. Hal ini dilakukan dengan cara menandatangani konvensi PBB tentang anti korupsi yang memberikan peluang untuk mengembalikan aset-aset para koruptor yang di bawa lari ke luar negeri. Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia akan diuntungkan dengan penandatanganan konvensi ini. Salah satu yang penting dalam konvensi ini adalah adanya pengaturan tentang pembekuan, penyitaan dari harta benda hasil korupsi yang ada di luar negeri.[12]

  

II.                KONSTRUKSI HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI

Kebijakan perundang-undangan, khususnya di bidang hukum pidana telah mengalami dinamika yang luar biasa sebagai respon dan wujud kegalauan masyarakat terhadap masalah korupsi yang telah menyengsarakan rakyat Indonesia. Hampir tidak ada satupun tindak pidana yang mendapatkan respons dan perhatian yang sangat luar biasa dari kebijakan perundang-undangan, selain tindak pidana korupsi. Sampai hari ini saja tercatat paling sedikit ada tujuh UU khusus yang secara normatif masih berlaku dan dapat dipergunakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. UU tersebut meliputi :

1.      UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001.

2.      UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

3.      UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

4.      UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

5.      UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

6.      UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

7.      UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003.

 

III.        DEFINISI TINDAK PIDANA KORUPSI

Pengertian Korupsi menurut Helbert Edelherz yang diistilahkan dengan kejahatan kerah putih (white collar crime), Korupsi adalah suatu perbuatan atau serentetan perbuatan yang bersifat ilegal dimana dilakukan secara fisik dengan terselubung untuk mendapatkan uang atau kekayaan serta menghindari pembayaran atau pengeluaran uang atau kekayaan atau untuk mendapatkan bisnis atau keuntungan pribadi.

Pengertian Tindak Pidana Korupsi menurut Suyatno, tindak pidana Korupsi dapat di definisikan ke dalam 4 jenis yaitu :[13]

1.    Discritionery corruption adalah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi.

2.    Ilegal corruption merupakan jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.

3.    Mercenary corruption adalah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.

4.    Ideological corruption yaitu suatu jenis korupsi illegal maupun discretionery yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.

The Lexicon Webster Dictionary, kata korupsi berarti kebusukan, kebejatan, keburukan, ketidakjujuran, dapat disuap, penyimpangan dari kesucian, tidak bermoral, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Pengertian Korupsi menurut pendapat Gurnar Myrdal di dalam bukunya yang berjudul Asian Drama volume 2, Korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan tidak patut yang berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas pemerintahan atau usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak patut, serta kegiatan lainnya seperti penyogokan.

Poerwadarmina, Pengertian Tindak Pidana Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya yang dapat dikenakan sanksi hukum atau pidana. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Menurut UU No. 31 Tahun 1999, Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yang dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun dan dengan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah. Dalam penjelasan UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi (UNCAC), 2003, Pengertian Tindak Pidana Korupsi adalah ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi transparansi, integritas dan akuntabilitas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena itu, maka korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan langkah-langkah pencegahan tingkat nasional maupun tingkat internasional. Dalam pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata pemerintahan yang baik dan kerja sama internasional, termasuk di dalamnya pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi tersebut.

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah masuk sampai keseluruh lapisan masyarakat. Perkembangan tindak pidana korupsi ini terus meningkat dari tahun ke tahun, terhitung banyak jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara, serta tindak pidana korupsi yang dilakukan semakin sistematis yang telah memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Bukan hanya di Indonesia saja, di belahan dunia yang lain tindak pidana korupsi juga akan selalu mendapatkan perhatian yang lebih khusus dibandingkan dengan tindak pidana yang lainnya.

Tindak pidana korupsi merupakan suatu masalah sangat serius dan perlu diperhatikan, karena mengingat dampak negatif tindak pidana korupsi yang dapat mendistorsi berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara dari suatu negara, serta terhadap kehidupan antar negara. Selain itu tindak pidana korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan negara dan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat, politik, bahkan dapat pula merusak nilai-nilai demokrasi serta moralitas bangsa karena dapat berdampak membudayanya tindak pidana korupsi.

 

Sumber : Berbagai Sumber

Martiman Prodjohamidjojo, 2001, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999). Penerbit Mandar Maju, Bandung.

 

Jur. Andi Hamzah, 2005, Pemerantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasioanal. Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

 Darwan Prinst, 2002, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung.

 Mahrus Ali, 2013, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta.

 Firman Wijaya, 2008, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Penerbit Penaku bekerjasama dengan Maharini Press, Jakarta.

 

Pengertian Tindak Pidana Korupsi, http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-tindak-pidana-korupsi.html (dikutip dari : Ermansjah Djaja, 2009. Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Penerbit Sinar Grafika : Jakarta).


[1] Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.31 Tahun 1999). Penerbit Mandar Maju, Bandung 2001, halaman 13.

[2] Jur. Andi Hamzah, Pemerantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasioanal. Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2005.

[3] Martiman Prodjohamidjojo, Op.cit, halaman 15.

 

[4] Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti ,Bandung, 2002, hlm 31.

[5] Ibid, hlm. 11.

[6] Mahrus Ali, 2013, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, hlm. 19.

[7] Ibid, hlm. 22.

[8] Ibid, hlm. 26

[9] Ibid, hlm. 30.

[10] Ibid, hlm. 32.

[11] Ibid, hlm. 41.

[12] Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Penerbit Penaku bekerjasama dengan Maharini Press, Jakarta 2008, halaman 49-50.

[13] Pengertian Tindak Pidana Korupsi, http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-tindak-pidana-korupsi.html (dikutip dari : Ermansjah Djaja, 2009. Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Penerbit Sinar Grafika : Jakarta).

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar