SEJARAH TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh:
Dr. MUHAMMAD TAUFIQ, S.H., M.H.
I.
SEJARAH
TINDAK PIDANA KORUPSI
Upaya mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia
telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak
pidana korupsi. Berbagai kebijakan telah tertuang dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang bersih
dan bebas korupsi, kolusi dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Di Indonesia langkah-langkah pembentukan hukum positif
untuk menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa
perjalanan sejarah dan melalui beberapa masa perubahan peraturan Perundang-undangan.
Istilah korupsi sebagai istilah yuridis baru digunakan tahun 1957, yaitu dengan
adanya Peraturan Penguasa Militer yang berlaku di daerah Kekuasaan Angkatan
Darat (Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957). Beberapa peraturan yang
mengatur mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia sebagai berikut:
1.
Masa
Peraturan Penguasa Militer, yang terdiri dari:
a.
Pengaturan
yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh Penguasa Militer Angkatan
Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat. Rumusan korupsi
menurut perundang-undangan ini ada dua yaitu, tiap perbuatan yang dilakukan
oleh siapa pun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang
lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung
menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian.[1]
Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah
dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah yang
dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan
kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan
material baginya.
b.
Peraturan
Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 berisi tentang pembentukan badan yang
berwenang mewakili negara untuk menggugat secara perdata orang-orang yang
dituduh melakukan berbagai bentuk perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan
(perbuatan korupsi lainnya lewat Pengadilan Tinggi. Badan yang dimaksud adalah
Pemilik Harta Benda (PHB).
c.
Peraturan
Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957 merupakan peraturan yang menjadi dasar
hukum dari kewenangan yang dimiliki oleh Pemilik Harta Benda (PHB) untuk
melakukan penyitaan harta benda yang dianggap hasil perbuatan korupsi lainnya,
sambil menunggu putusan dari Pengadilan Tinggi.
d.
Peraturan
Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan darat Nomor PRT/PEPERPU/031/1958
serta peraturan pelaksananya.
e.
Peraturan
Penguasaan Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor PRT/z.1/I/7/1958
tanggal 17 April 1958 (diumumkan dalam BN Nomor 42/58). Peraturan tersebut
diberlakukan untuk wilayah hukum Angkatan Laut.)[2]
2.
Masa
Undang-Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.[3]
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Anti Korupsi, yang merupakan
peningkatan dari berbagai peraturan. Sifat Undang-Undang ini masih melekat
sifat kedaruratan, menurut pasal 96 UUDS 1950, pasal 139 Konstitusi RIS 1949.20
Undang-Undang ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1961.
3.
Masa
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI 2958) tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4.
Masa
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI 387), tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI 4150), itentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya
pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
(LNRI 2002-137.TNLRI 4250) tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dasar hukum dari munculnya peraturan di luar Kitab
Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) di atas adalah Pasal 103 KUHP. Di dalam pasal
tersebut dinyatakan, “ Ketentuan-ketentuan dalam BAB I sampai dengan BAB
VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan
perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali oleh Undang-Undang
ditentukan lain.”
Ketentuan dalam peraturan perundang-undangan mengatur
lain dari pada yang telah diatur dalam KUHP, dapat diartikan bahwa suatu bentuk
aturan khusus telah mengesampingkan aturan umum (Lex Specialis Derogat Legi
Generali). Dengan kata lain Pasal 103 KUHP memungkinkan suatu ketentuan
perundang-undangan di luar KUHP untuk mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang
telah diatur di dalam KUHP. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
sebenarnya terdapat ketentuan-ketentuan yang mengancam dengan pidana orang yang
melakukan delik jabatan, pada khususnya delik-delik yang dilakukan oleh pejabat
yang terkait dengan korupsi.
Ketentuan- ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat
dalam KUHP dirasa kurang efektif dalam mengantisipasi atau bahkan mengatasi
permasalahan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dibentuklah suatu
peraturan perundang-undangan guna memberantas masalah korupsi, dengan harapan
dapat mengisi serta menyempurnakan kekurangan yang terdapat pada KUHP. Dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana korupsi, maka ketentuan
Pasal 209 KUHP, Pasal 210 KUHP, Pasal 387 KUHP, Pasal 388 KUHP, Pasal 415,
Pasal 416 KUHP, Pasal 417 KUHP, Pasal 418 KUHP, Pasal 419 KUHP, Pasal 420 KUHP,
Pasal 423 KUHP, Pasal 425 KUHP, Pasal 434 KUHP dinyatakan tidak berlaku.
Perumusan tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 adalah setiap orang (orang-perorangan atau
korporasi) yang memenuhi unsur/elemen dari Pasal tersebut. Dengan demikian,
pelaku tindak pidana korupsi menurut pasal ini adalah “Setiap Orang”, tidak ada
keharusan Pegawai Negeri. Jadi, juga dapat dilakukan oleh orang yang tidak
berstatus sebagai pegawai negeri atau korporasi, yang dapat berbentuk badan
hukum atau perkumpulan. Adapun perbuatan yang dilakukan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau korporasi adalah sebagai berikut:[4]
1.
Memperkaya
diri sendiri, artinya bahwa perbuatan melawan hukum itu pelaku menikmati
bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya sendiri.
2.
Memperkaya
orang lain, maksudnya akibat perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang
lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau bertambahnya harta bendanya.
Jadi, di sini yang diuntungkan bukan pelaku langsung.
3.
Memperkaya
korporasi, atau mungkin juga yang mendapat keuntungan dari perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporasi, yaitu kumpulan orang
atau kumpulan kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun
bukan badan hukum (Pasal 1 angka 1 undang-undang Nomor 31 Tahun 1999).
Lembaga pemberantasan korupsi dewasa ini telah mengalami
perubahan bahkan menunjukan perkembangan guna meningkatkan pemberantasan tindak pidana korupsi, dimulai sejak masa orde lama, masa
orde baru dan masa reformasi. Perubahan dan/atau perkembangan tersebut yakni:[5]
A. Masa Orde Lama
Orde Lama,
Kabinet Djuanda, dimasa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan
pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang
keadaan bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara
(PARAN), badan ini dipimpin oleh A. H. Nasution dan dibantu oleh dua
orang anggota yakni Profesor M.Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Kepada PARAN inilah seluruh pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat
tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak,
model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi
keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban
secara langsung kepada presiden, formulir itu tidak diserahkan
kepada PARAN, tetapi langsung kepada presiden. Di imbuhi dengan kekacauan
politik, PARAN berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan
kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
Operasi Budhi
didirikan pada Tahun 1963, melalui Keputusan Presiden Nomor 275 Tahun
1963, pemerintah menunjuk lagi A. H. Nasution, yang pada saat itu menjabat sebagai
menteri koordinator pertahanan dan kemanan/KASAB, dibantu oleh
Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan
Operasi Bhudi. kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku
korupsi kepengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta
Lembaga Negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan
Kolusi Lagi-lagi alasan politisi menyebabkan kemandekan, seperti
Direktur Utama Pertamina yang bertugas ke Luar Negeri dan direksi lainnya
menolak karena belum adanya surat tugas dari atasan, menjadi penghalang
efektifitas lembaga ini. Operasi Budhi ini juga berakhir, meski berhasil
menyelamatkan keuangan negara kurang lebih Rp. 11 Miliar. Operasi Budhi ini
dihentikan dengan pengumuman pembubaranya oleh Soebandrio kemudian diganti
menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KONTRAF)
dengan presiden Soekarno menjadi ketuanya, serta dibantu oleh Soebandrio
dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatat bahwa seiring
dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama
kembali masuk kejalur lambat, bahkan macet.
B. Masa Orde Baru
Pada masa awal
Orde Baru, melalui pidato Kenegaraan pada tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto
terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas
korupsi dalam hubungan dengan Demokrasi yang terpusat ke Istana, pidato
itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun
ternyata, ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada
kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite 4 (empat) beranggotakan
Tokoh-Tokoh Tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof. Johanes,
I.J. Kasimo, Mr. Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama
membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV. Waringin, PT. Mantrust,
Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh
bersih ini menjadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di
Pertamina misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi
komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo
diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib dengan
tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat
mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down dikalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung
semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Operasi Tertib
pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor
di singgasana Orde Baru.
C. Masa Reformasi
Di Era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai
oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau
badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU,
atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid,
membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK)
melalui Peratuan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. namun, ditengah
semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim
ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi akhirnya dibubarkan dengan logika
membenturkanya ke Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Nasib Serupa tapi
tidak sama dialami oleh KPKPN dengan dibentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN
sendiri menguap. Artinya, KPK adalah Lembaga Pemberantasan
Korupsi Terbaru yang kian bertahan.
Perkembangan Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia:[6]
A. Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960
Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 pada dasarnya
dibentuk untuk menjaring beberapa perbuatan korupsi yang dilakukan oleh suatu
badan atau badan hukum tertentu dengan menggunakan fasilitas, modal atau
kelonggaran dari Negara dan masyarakat.
B. Undang-Undang No. 3 Tahun 1971[7]
Terdapat dua alasan mengapa Undang-Undang No. 3 Tahun
1971 dibentuk yaitu:
1.
Perbuatan-perbuatan
korupsi sangat merugikan keuangan dan/atau perekonomian negara dan menghambat
pembangunan nasional.
2.
Undang-Undang
No. 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak
Pidana Korupsi berhubungan dengan perkembangan masyarakat kurang mencukupi
untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan, dan oleh karenanya undang-undang
tersebut perlu diganti.
C. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999[8]
Dalam perkembangannya, walaupun keberadaan undang-undang
sebelumnya yang mengatur mengenai pemberantasan korupsi yang hakikatnya sudah
maju dan progresif, akan tetapi perkembangan masyarakat dan teknologi informasi
yang memicu munculnya kejahatan korupsi baru dengan modus operandi yang sama
sekali baru mau tidak mau harus ter-cover dalam perundang-undangan pidana
korupsi. Jika diuraikan secara rinci ada 9 (sembilan) hal pokok yang menunjukan
perkembangan hukum:
1.
Diakuinya
korporasi sebagai subjek hukum atau subjek delik dalam tindak pidana korupsi.
Pasal 1 ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999.
2.
Pengertian
pegawai negeri dalam undang-undang No. 31 Tahun 1999 diperluas maknanya
dibandingkan dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971, Pasal 1 ayat (2) UU No. 31
Tahun 1999 menyatakan bahwa disebut pegawai negeri meliputi:
a.
Pegawai
negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang kepegawaian;
b.
Pegawai
negeri sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
c.
Orang
yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah;
d.
Orang
yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah;
e.
Orang
yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau
fasilitas dari Negara atau masyarakat.
3.
Sifat
melawan hukum dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 secara eksplisit diperluas
maknanya tidak hanya melawan hukum formil tetapi juga melawan hukum materiil.
4.
Terdapat
penambahan kata “dapat” sebelum frase
“merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam ketentuan pasal 2
ayat (1) dan Pasal 3, yang menunjukan bahwa tindak pidana korupsi merupakan
delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya
unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbul akibatnya.
5.
Diperluasnya
pengertian keuangan negara atau perekonomian negara.
6.
Diaturnya
mengenai ancaman pidana minimum khusus dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999.
7.
Dicantumkannya
pidana seumur hidup atau pidana mati atas pelanggaran ketentuan Pasal 2 ayat
(1), Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa, dalam hal tindak
pidana korupsi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan dalam keadaaan tertentu,
pidana mati dapat dijatuhkan.
8.
Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 juga mengatur perumusan ancaman pidana kumulatif yang
terdapat dalam Pasal 2, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12, Pasal
12B ayat (2) antara pidana penjara dan pidana denda.
9.
Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 juga mengatur peradilan in absentia sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 38 ayat (1). Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pasal 43), partisipasi masyarakat dalam bentuk
hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan tindak pidana
korupsi (Pasal 41) dan memberikan penghargaan kepada mereka yang telah berjasa
membantu upaya pencegahan, pemberantasan atau pengungkapan tindak pidana
korupsi.
D. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001[9]
Beberapa perubahan penting dan mendasar dalam
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 yang tidak ditemukan dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yaitu:
1.
Perubahan
redaksi penjelasan Pasal 2 ayat (2) sehingga menjadi:
“Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu”
dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan
alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila
tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi
penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat
kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan
pengulangan tindak pidana korupsi.
2.
Rumusan
Pasal 5, 6, 7,
8, 9, 10, 11 dan Pasal 12 langsung disebutkan unsur-unsurnya dalam
ketentuan Pasal-pasal bersangkutan, tidak lagi mengacu pada pasal-pasal dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
3.
Perluasan
alat bukti petunjuk sebagaimana dalam ketentuan Pasal 26A khusus untuk tindak
pidana korupsi yang diperoleh dari (a) alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan
optik atau yang serupa dengan itu; dan (b) dokumen yakni, setiap rekaman atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik
apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa
tulisan, suara, gambar, peta rancangan foto, huruf, tanda, angka atau perforasi
yang memiliki makna.
4.
Substansi
Pasal 37 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dirubah secara khusus pada frase “keterangan
tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan dirinya menjadi
“pembuktian tersebut digunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan
bahwa terdakwa tidak terbukti. Kata “dapat” dalam Pasal 37 ayat (4)
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 juga dibuang.
5.
Pasal
43A menentukan bahwa tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum undang-undang
No. 31
Tahun 1999 diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan UU No.
3 tahun 1971 dengan ketentuan maskimum pidana penjara
yang menguntungkan terdakwa diberlakukan ketentuan Pasal 5,
6, 7, 8, 9, 10 dan Pasal 13 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Ketentuan pidana penjara minimum tidak
berlaku bagi tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999.
6.
Ketentuan
Pasal 43B yang isinya menghapus dan menyatakan tidak
berlaku Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 420, 423, 425 dan Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana pada
saat mulai berlaku undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas
undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
E.
Undang-Undang
No. 7 Tahun 2006[10]
Pada dasarnya Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 merupakan pengesahan United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC), terdapat dua alasan penting mengapa
UNCAC perlu diratifikasi:
1.
Tindak
pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal akan tetapi merupakan
fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan perekonomian
sehingga penting adanya kerja sama internasional guna pencegahan dan
pemberantasannya termasuk pemulihan atau pengembalian aset-aset hasil-hasil
tindak pidana korupsi;
2.
Kerjasama
internasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu
didukung oleh integritas, akuntabilitas, dan manajemen pemerintahan yang baik.
F.
Undang-Undang
No. 46 Tahun 2009[11]
Pada dasarnya undang-undang No. 46 Tahun 2009 tentang
pengadilan tindak pidana korupsi dibentuk berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor: 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 yang
menyatakan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk berdasarkan
ketentuan Pasal 53 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pada dasarnya
sejalan dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang
menentukan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan
umum yang dibentuk dengan undang-undang tersendiri.
Jika ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah
memiliki banyak peraturan perundang-undangan untuk mengatur pemberantasan
tindak pidana korupsi. Diantaranya ada KUHP, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi beserta revisinya melalui Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2001, bahkan sudah ada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
Secara substansi Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 telah mengatur berbagai
aspek yang kiranya dapat menjerat berbagai modus operandi tindak pidana korupsi
yang semakin rumit. Dalam Undang-Undang ini tindak pidana korupsi telah
dirumuskan sebagai tindak pidana formil, pengertian pegawai negeri telah
diperluas, pelaku korupsi tidak didefenisikan hanya kepada orang per-orangan
tetapi juga pada korporasi, sanksi yang dipergunakan adalah sanksi minimum
sampai pidana mati, seperti yang tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 3
undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan
telah pula dilengkapi dengan pengaturan mengenai kewenangan penyidik, penuntut
umumnya hingga hakim yang memeriksa di sidang pengadilan. Bahkan, dalam segi
pembuktian telah diterapkan pembuktian tebalik secara berimbang dan sebagai
kontrol, undang-undang ini dilengkapi dengan Pasal 41 pengaturan mengenai peran
serta masyarakat, kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan
Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu pengaturan tindak pidana korupsi dilakukan melalui kerja sama dengan
dunia Internasional. Hal ini dilakukan dengan cara menandatangani konvensi PBB
tentang anti korupsi yang memberikan peluang untuk mengembalikan aset-aset para
koruptor yang di bawa lari ke luar negeri. Dengan meratifikasi konvensi ini,
Indonesia akan diuntungkan dengan penandatanganan konvensi ini. Salah satu yang
penting dalam konvensi ini adalah adanya pengaturan tentang pembekuan,
penyitaan dari harta benda hasil korupsi yang ada di luar negeri.[12]
II.
KONSTRUKSI
HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI
Kebijakan perundang-undangan, khususnya di bidang hukum
pidana telah mengalami dinamika yang luar biasa sebagai respon dan wujud
kegalauan masyarakat terhadap masalah korupsi yang telah menyengsarakan rakyat
Indonesia. Hampir tidak ada satupun tindak pidana yang mendapatkan respons dan
perhatian yang sangat luar biasa dari kebijakan perundang-undangan, selain
tindak pidana korupsi. Sampai hari ini saja tercatat paling sedikit ada tujuh
UU khusus yang secara normatif masih berlaku dan dapat dipergunakan untuk
mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. UU tersebut meliputi :
1.
UU
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 20 tahun 2001.
2.
UU
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3.
UU
No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
4.
UU
No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
5.
UU
No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang.
6.
UU
No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
7.
UU
No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti
Korupsi, 2003.
III.
DEFINISI
TINDAK PIDANA KORUPSI
Pengertian Korupsi menurut Helbert Edelherz yang
diistilahkan dengan kejahatan kerah putih (white collar crime), Korupsi
adalah suatu perbuatan atau serentetan perbuatan yang bersifat ilegal dimana
dilakukan secara fisik dengan terselubung untuk mendapatkan uang atau kekayaan
serta menghindari pembayaran atau pengeluaran uang atau kekayaan atau untuk
mendapatkan bisnis atau keuntungan pribadi.
Pengertian Tindak Pidana Korupsi menurut Suyatno, tindak
pidana Korupsi dapat di definisikan ke dalam 4 jenis yaitu :[13]
1. Discritionery corruption adalah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan
dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah
praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi.
2. Ilegal corruption merupakan jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan
bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.
3. Mercenary corruption adalah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk
memperoleh keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
4. Ideological corruption yaitu suatu jenis korupsi illegal maupun discretionery
yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.
The Lexicon Webster Dictionary, kata korupsi berarti kebusukan, kebejatan, keburukan,
ketidakjujuran, dapat disuap, penyimpangan dari kesucian, tidak bermoral,
kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Pengertian
Korupsi menurut pendapat Gurnar Myrdal di dalam bukunya yang berjudul Asian
Drama volume 2, Korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan tidak patut yang
berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas pemerintahan atau usaha-usaha
tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak patut, serta kegiatan lainnya
seperti penyogokan.
Poerwadarmina, Pengertian Tindak Pidana Korupsi adalah
perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan
sebagainya yang dapat dikenakan sanksi hukum atau pidana. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Menurut UU No. 31 Tahun
1999, Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yang
dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 5
tahun dan maksimal 20 tahun dan dengan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan
paling banyak 1 miliar rupiah.
Dalam penjelasan UU No. 7 Tahun
2006 tentang Pengesahan
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi (UNCAC), 2003, Pengertian Tindak Pidana Korupsi adalah ancaman
terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi transparansi,
integritas dan akuntabilitas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, maka korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik
dan merugikan langkah-langkah pencegahan tingkat nasional maupun tingkat
internasional. Dalam pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata
pemerintahan yang baik dan kerja sama internasional, termasuk di dalamnya
pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi tersebut.
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas
dan telah masuk sampai keseluruh lapisan masyarakat. Perkembangan tindak pidana
korupsi ini terus meningkat dari tahun ke tahun, terhitung banyak jumlah kasus
yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara, serta tindak pidana korupsi
yang dilakukan semakin sistematis yang telah memasuki seluruh aspek kehidupan
masyarakat. Bukan hanya di Indonesia saja, di belahan dunia yang lain
tindak pidana korupsi juga akan selalu mendapatkan perhatian yang lebih khusus
dibandingkan dengan tindak pidana yang lainnya.
Tindak pidana korupsi merupakan suatu masalah sangat
serius dan perlu diperhatikan, karena mengingat dampak negatif tindak pidana
korupsi yang dapat mendistorsi berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara dari
suatu negara, serta terhadap kehidupan antar negara. Selain itu tindak pidana
korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan negara dan masyarakat,
membahayakan pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat, politik, bahkan dapat
pula merusak nilai-nilai demokrasi serta moralitas bangsa karena dapat
berdampak membudayanya tindak pidana korupsi.
Sumber : Berbagai Sumber
Martiman Prodjohamidjojo, 2001, Penerapan
Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999). Penerbit
Mandar Maju, Bandung.
Jur. Andi Hamzah, 2005, Pemerantasan
Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasioanal. Penerbit PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Pengertian Tindak Pidana Korupsi, http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-tindak-pidana-korupsi.html (dikutip dari : Ermansjah Djaja, 2009. Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Penerbit Sinar Grafika : Jakarta).
[1] Martiman
Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian
Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.31 Tahun 1999). Penerbit Mandar Maju,
Bandung 2001, halaman 13.
[2] Jur.
Andi Hamzah, Pemerantasan Korupsi Melalui
Hukum Pidana Nasional dan Internasioanal. Penerbit PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta 2005.
[3] Martiman
Prodjohamidjojo, Op.cit, halaman 15.
[4] Darwan
Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Citra Aditya Bakti ,Bandung,
2002, hlm 31.
[5] Ibid, hlm. 11.
[6] Mahrus Ali,
2013, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana
Korupsi, UII Press, Yogyakarta, hlm. 19.
[7] Ibid, hlm. 22.
[8] Ibid, hlm. 26
[9] Ibid, hlm. 30.
[10] Ibid, hlm. 32.
[11] Ibid, hlm. 41.
[12] Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Penerbit
Penaku bekerjasama dengan Maharini Press, Jakarta 2008, halaman 49-50.
[13] Pengertian Tindak Pidana Korupsi, http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-tindak-pidana-korupsi.html
(dikutip dari : Ermansjah Djaja, 2009. Memberantas Korupsi
Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Penerbit Sinar Grafika : Jakarta).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar