WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Rabu, 10 Februari 2021

 

POLITIK HUKUM MENUJU HUKUM PROGRESIF

Oleh : Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H., CLI[1]

 

I.              Sistem Hukum Di Indonesia

Dalam sistem peradilan di Indonesia tidak sedikit dari putusan-putusan Pengadilan yang malah jauh dari dinamika masyarakat. Ia hanya mengacu kepada aturan-aturan formal belaka. Pengadilan yang selanjutnya menjadi tempat untuk menemukan keadilan “berubah” menjadi medan perang untuk mencari menang (to win the case).[2]

Penerapan hukum selama ini cenderung mengarah ke arah silogisme di mana hakim hanya mengkonstatir bahwa Undang-Undang dapat diterapkan pada peristiwanya, kemudian hakim menerapkan bunyi Undang-Undang terhadap peristiwanya. Hal ini berarti menempatkan hakim hanya sebagai corong Undang-Undang (la bauche qui pronounce les paroles de laloi). Seharusnya hakim dapat mengisi ruang kosong yang ada dalam hukum itu, sehigga dapat menemukan hukum  (rechtsvinding) dengan cara melakukan konstruksi hukum dan interpretasi, analogi, dan argumentum a contrario.[3]

Hukum adalah sebuah tatanan (hukum ada dalam sebuah tatanan yang paling tidak dapat dibagi ke dalam tiga tatanan yaitu : tatanan transedental, tatanan sosial dan tatanan politik) yang utuh (holistik) selalu bergerak, baik secara evolutif maupun revolusioner. Sifat pergerakan itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihilangkan atau ditiadakan, tetapi sebagai sesuatu yang eksis dan prinsipil. Keping pemikiran demikian itu akan dijumpai dalam banyak gagasan tentang hukum yang dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo. Bagi Satjipto Rahardjo, hukum bukanlah sekedar logika semata, lebih daripada itu hukum merupakan ilmu sebenarnya (genuine science), (Satjipto Rahardjo melihat hukum sebagai objek ilmu daripada profesi, dengan selalu berusaha untuk memahami atau melihat kaitan dengan hal-hal di belakang hukum, keinginan untuk melihat logika social dari hukum lebih besar daripada logika hukum atau perundang-undangan), yang harus selalu dimaknai sehingga selalu up to date. Pemikiran konvensional yang selama ini menguasai/mendominasi karakteriktik berpikir ilmuwan hukum, bagi Satjipto merupakan tragedi pemikiran.[4]

Menurut Barda Nawawi Arif, bertolak dari ketiga nilai keseimbangan pancasila, maka pendekatan yang seyogyannya ditempuh dalam membangun sistem hukum nasional adalah:

1.      Pendekatan yang berwawasan nilai-nilai “Ketuhanan” (bermoral religius)

2.      Pendekatan yang berwawasan nilai-nilai “Kemanusiaan” (humanistic)

3.      Pendekatan yang berwawasan nilai-nilai “Kemasyarakatan” (nasionalistik; demokratik; berkeadilan sosial)[5]

Dengan demikian pembangunan politik hukum nasional akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan ketertiban nasional.

 

II.           Unsur – Unsur Politik Hukum

Sistem peradilan di Indonesia tidak pernah luput dari pengaruh produk-produk politik, salah satunya adalah hukum demokratis yang dianggap melembaga dalam tumbuh kembangnya masyarakat yang menjadi sasarannya, hukum tersebut mampu mensinergikan berbagai kepentingan yang terjadi dalam hidup masyarakat, hukum tersebut bahkan mampu meluaskan fungsinya untuk melakukan social engineering, rekayasa sosial, menciptakan masyarakat yang menjadi cita-cita sebuah bangsa yang menamakan dirinya sebagai negara hukum.[6]

Bebrapa unsur politik hukum diantaranya adalah:

a.       Kehendak penguasa negara mengenai hukum

b.      Kehendak tersebut telah dituangkan/digariskan dalam dokumen kenegaraan

c.       Hal itu dijadikan pedoman / arah untuk dijalankan secara nasional

d.      Menyangkut pembentukan dan penegakan hukum

Sedangkan Menurut Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari Ruang Lingkup Politik Hukum antara lain:

a.       Hukum dalam realitas masyarakat, proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang dan hidup dalam masyarakat, dan direspon oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum,

b.      Proses perdebatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi ke dalam bentuk sebuah perbuatan undang-undang,

c.       Peraturan perundang-undangan yang memuat politik hukum dalam rangka pembangunan hukum menuju hukum nasional,

d.      Faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan politik hukum, baik yang akan, sedang dan yang telah ditetapkan, termasuk dinamika tarik menarik pengaruh masyarakat global.

e.       Pelaksanaan / penegakan peraturan perundang-undangan dan implementasi politik hukum, termasuk pembinaan aparat penegak hukum;

f.        Pelaksanaan dari peraturan-peraturan undang-undang yang merupakan implementasi dari politik hukum suatu Negara.

III.        Gagasan Menuju Hukum Progresif

Prof. Dr Satjipto Raharjo, S.H. berpendapat hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, dengan segala dasar didalamnya. Ilmu dan praktek hukum di Indonesia sudah ketinggalan zaman, karena terus menganut mazhab positivisme.[7]

Sedangkan tujuan gagasan hukum progresif pada dasarnya adalah sebagai terapi krisis hukum di Indonesia dalam rangka menuju masa depan hukum yang lebih baik

a.       Sebagai kritik dari mazhab positivisme ,obyektivitas, bebas nilai, menstirilkan nilai-nilai yang berkembang di      masyarakat.

b.      Netral dan universal, mampu menyelesaikan masalah pencet tombol.

c.       Mencetak mesin hukum.

d.      Membentuk karakter penegak hukum yang berwatak pragmatis serta terjangkit positivis yang kritis.

e.       Menimbulkan kegelisahan di masyarakat.

IV.        Perbedaan Model Positivitik Dengan Progresif

Di samping penegakan hukum yang ada di Indonesia ini juga dikatakan sudah tidak lagi berdiri pada sebuah tatanan profesionalitas dan keadilan, justru berdiri di atas kepentingan politik, bahkan cenderung beberapa produk hukum yang teripta justru sebagai sarana untuk menumpas lawan kekuasaan.[8]

Untuk lebih memperjelas pemetaan mengenai perbedaan positifistik dengan progresif berikut akan disampaikan analisis dalam model bagan yang berbentuk table:

 

No

Analisis Pemetaan

Positivistic

Progresifitas

1

Sumber dan ciri

 

      Hukum tidak    mempunyai dasar dalam kehidupan sosial, maupun dalam jiwa bangsa.

      Satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi pada suatu negara.

      Hukum merupakan sistem logika yang tertutup. Oleh karena itu, harus steril dari unsur –unsur nilai.

 

      Hukum tidaklah muncul dari ruang hampa, karna itu hukum haruslah bersumber dari kenyataan serta nilai-nilai yg berlaku di masyarakat.

      Hukum merupakan sistem yg terbuka, sehingga selalu ada kemungkinan untuk merombak sistem apabila hukum tersebut justru mendatangkan malapetaka bagi masyarakat.

 

2

Model Penegakan

 

      Hanya menggunakan logika rasional.

      Pengadilan hanyalah sebagai corong Undang-Undang atau sebagai tempat dimana penegak hukum menerapkan pasal-pasal tertulis

      Unifikasi hukum nasional.

     Melibatkan empati, determinasi dan nurani.

     Selain logika rasional, juga menggunakan logika kepatuhan sosial dan logika keadilan.

     Mengakomodasi kemajemukan living law yang berlaku di masyarakat yang plural.

 

3

Tujuan Hukum

 

      Hukum diciptakan dan digunakan sebagai instrumen rekayasa sosial, untuk mendorong dan menciptakan perubahan masyarakat.

 

  • Hukum ditegakkan semata-mata demi harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan manusia.

 

V.           Kegagalan Perilaku Penegak Hukum Mewujudkan Keadilan Subtansial

Tidak sedikit penegakan hukum di Indonesia bukan lagi berdiri di atas profesionalisme dan keadilan, justru berdiri di atas kepentingan politik bahkan digunakan untuk menumpas lawan kekuasaan. Mahfud MD menyatakan, banyak yang heran ketika melihat hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat atau penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak menegakan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelasaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk hukum yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan.[9]

VI.        Kelembagaan Institusi Penegak Menuju Hukum Progresif

Cara berhukum para professional hukum sampai sekarang ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: professional hukum yang praktis (normatif) dan para professional progresif. Profesional hukum yang praktis disebabkan karena sulit meninggalkan cara-cara berhukum model hukum modern yang telah dikembangkan oleh kolonial penjajah. Hal ini dikarenakan hukum dikembangkan melalaui jalur pendidikan sudah berabad-abad, sehingga hal ini berdampak pada:

1.                  Penyelesaian kasus sengketa dipandang mempunyai kepastian hukum apabila didasarkan pada putusan Pengadilan yang mengambil hukum positif.

2.                  Para professional hukum tidak mau mengubah belenggu hukum modern dalam cara berhukum.

3.                  Positivisme lebih praktis dalam menyelesaikan kasus sengketa, karena hukum modern  sudah logis dan terukur, sehingga tidak perlu ditafsirkan lagi.

   Professional hukum progresif adalah mereka yang mau meninggalkan belenggu cara berhukum modern, meskipun lebih berat. Sebab professional hukum yang macam ini harus menggali teks-teks pasal Undang-Undang dengan cara menggali sesuatu yang menjadi reasoning atau sesuatu yang ada di luar teks. Karena  yang dicari adalah keadilan bukan kebenaran.[10]

Ketika berbicara tentang arah progresifitas institusi penegak hukum maka sudah seharusnya penegak hukum mampu menggali keadilan di luar teks peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan pendapat Satjipto Rahardjo yang dalam teorinya menyatakan bahwa hukum itu tidak hanya teks tertulis (black law latter), di dalam roh suatu masyarakat.  Artinya adalah hukum tidak hanya terbatas pada pemaknaan huruf-huruf yang tercetak dalam sebuah peraturan, maka hukum itu tidak lebih dari tengkorak hidup, jika tanpa melihat dari sisi hati nurani, karena salah satu yang menghidupi hukum adalah hati nurani, maka dari itu institusi hukum sudah seharusnya mengedepankan hati nurani dalam tiap-tiap penyelesaia perkara.

Hukum progresif sebenarnya bisa jadi rujukan gagasan yang menarik dalam literature hukum Indonesia pada saat ini, khususnya dalam upaya Restorative Justice. Hukum progresif tidak menerima institusi yang mutlak serta final, melainkan sangat ditentukan kemampuanya mengabdi kepada manusia, kualitas kesempurnaan hukum tersebut dapat diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraam, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah hakikat “hukum yang selalu dalam proses menjadi” (law as aprocess, law in the making).[11] Suteki[12] mencontohkan beberapa fenomena peradilan terhadap  “wong cilik“ (the poor) kemudian ditambahkan kasus-kasus baru misalnya:

1.      Kasus pencurian satu buah semangka (di Kediri), Cholil dan Basar Suyanto dipidana 15 hari percobaan 1 bulan.[13]

2.      Kasus pencurian kapuk randu seharga Rp 12.000 (4 anggota  keluarga ditahan di LP Rowobelang) dan para terdakwa dipidana penjara 24 hari.[14]

3.      Kasus pak Klijo Sumarto (76) tersangka pencurian setandan pisang kluthuk  mentah seharga Rp 2.000 di sleman: 7 Desember 2009 (mendekam di LP Cebongan Sleman).[15]

4.      Kasus Mbok Minah (dituduh mencuri 3 biji kakao seharga Rp 2.100: 2 Agustus 2009, dihukum pidana percobaan 1 bulan 15 hari).[16]

Berkaitan dengan apa yang telah disampaikan di atas, maka penulis mencoba menyisipkan tulisannya untuk menambahkan referansi  yaitu kasus “Lanjar Sriyanto“ dari kasus tersebut bisa dijadikan contoh salah satu bentuk panfsiran institusi hukum yang masih mengunkan metode tekstual produk Undang-Undang, tidak mengunakan keadilan hati nurani dan cenderung kaku, di mana ada sebuah perbuatan dianggap pasti ada punishment, padahal belum tentu perbuatan tersebut dilakukan dengan maksut untuk melakukan sebuah pelanggaran, bisa saja pelanggaran tersebut justru merupakan buah dari hasil kesalahan pihak yang benar benar melakukan kesalahan. Dengan demikian, sudah sepatutnya  kelembagaan institusi penegak hukum  menuju hukum progresif.

VII.     Kesimpulan

1.        Penyebab terjadinya kegagalan peradilan yang tidak berkeadilan substansial di Indonesia antara lain dikarenakan selama ini pelaksanaan hukum materiil terikat dengan legalitas formal khususnya dalam perkara pidana yang diatur dalam KUHAP, padahal seiring perkembangan hukum, maka dalam KUHAP mengandung kelemahan dalam pelaksanaannya. Pihak-pihak dalam sistem peradilan pidana ialah hakim, penuntut umum, dan terdakwa dengan atau tanpa didampingi penasihat hukum. Secara normatif, korban sebagai penuntut dalam peradilan pidana belum dikenal. Dalam pemeriksaan di Pengadilan hakim sangat dominan bahkan absolut. Dikarenakan kekuasaan yang begitu besar, sehingga sering dilukiskan dengan istilah judicial distatorship atau judicial tyrani. Padahal kualifikasi hakim, penuntut umum dan penasihat hukum tidak jauh berbeda bahkan sama dari sisi pendidikan, artinya ketika menempuh jenjang pendidikan sarjana strata 1 tidak ada sepesialisasi.

2.        Sistem peradilan di Indonesia yang berlaku saat ini kurang dapat mewujudkan keadilan substansial baik bagi korban ataupun pelaku tindak pidana dalam perkara pidana dan para pihak dalam perkara lainnya.

3.        Model penyelesaian perkara yang berkeadilan substansial merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Terlebih dalam hukum pidana jika dikaitkan dengan sifat hukum pidana sebagai upaya terakhir (Ultimum Remedium). Artinya pemidanaan atau pemenjaraan benar-benar memang upaya akhir setelah upaya tawaran perdamaian tidak membuahkan hasil. Realisasi dari peradilan restoratif  dilakukan dengan cara mengubah pemahaman bentuk kesalahan menjadi sebuah kewajiban tanggung jawab pelaku terhadap hak-hak korban atau pihak lain untuk bisa dipenuhi. Model ini sebagai pengganti model penjeraan. Cara tersebut dilakukan dalam bentuk upaya perdamaian, mekanismenya pelaku meminta maaf kepada korban dan keluarganya dan secara tertulis menyatakan bersedia membayar kompensasi atau ganti kerugian kepada korban dan keluarganya. Pembayaran ini bisa dengan cara tunai maupun mencicil. Semua itu dilakukan di depan penyidik dan atau dituangkan dalam akte otentik atau di bawah tangan. Sesudah kewajiban itu tercapai pihak korban menandatangani Berita Acara tidak keberatan jika perkara pidana itu tidak diteruskan ke tahap penuntutan. Serta selesai dengan proses mediasi dalam perkara perdata.

 

Daftar Pustaka

Abdul Jamil. 2008. Cara Berhukum yang Benar bagi Profesional Hukum (Ijtighad sebagai Terobosan Hukum Progresif) dalam jurnal ilmu Hukum. Vol.15 No.1 Januari 2008

Barda Nawawi Arif. 2012. Pembangunan Sistem Hukum Nasional (Indonesia). Semarang: Pustaka Magister.

Bernar, L. Tanya, dkk, Teory Hukum “ Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi”. Yogyakarta: Genta Publishing

Laode Ida. 2010. Negara  Mafia. Yogyakarta: Galang Perss

Moh. Mahfud MD. 2001. Politik Hukum Di Indonesia. Jakarta: LP3ES

Muhammad Taufiq. 2014. Keadilan Substansial Memangkas Rantai Birokrasi Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.  

---------. 2012. Mahalnya Keadilan Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suteki, Kebijakan Tidak Menegakkan Hukum (Non  Enforcement of Law) Demi Pemulihan Keadilan Substansional, Pidato Pengukuhan, disampaikan Pada Penerimaan Janatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, di Semarang pada 4 Agustus 2009.

http://click-gtg.blogspot.co.id/2011/12/menuju-pemikiran-hukum-progresif-di.html

http//www.leip.or.id/kegiatan/239-advokasi-tindak-pinda-ringan-dan-pengefektifan-denda-sebagai-alternatif-hukuman.html.

http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/hukum/09/12/05/93567-dilaporkan-mencuri-pisang-seorang-kakek-dipenjara.

http://surabaya.detik.com/read/2009/11/28/203427/1250283/475/kejaksaan-negri-kediri-saran-kuhp-direvisi.



[1] Advokat, Dosen Magister Ilmu Hukum Universitas Djuanda Bogor

[2] Muhammad Taufiq. 2014. Keadilan Substansial Memangkas Rantai Birokrasi Hukum. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. hal. 188 

[3] Zulkifli, dkk. 2006. Eksistensi Pasal 19 Undang-Undang Advokat dan Kaitannya dengan Upaya Paksa Penyitaan yang Dimiliki oleh Penyidik. Zulkifli Nasution & Rekan. Jakarta. hlm 32-33

[4] H.R. Otje Salman Soemadiningrat. Menuju Pemikiran Hukum Progresif di Indonesia

[5] Barda Nawawi Arif. 2012. Pembangunan Sistem Hukum Nasional (Indonesia). Pustaka Magister. Semarang. Hal.12

[6] Muhamad Taufiq. 2014.  Keadilan Subtansial Memamangkas Rantai Birokrasi Hukum. Pustaka Pelajar. Yogyakarta  

[7] Bernar,L. Tanya, dkk. Teory Hukum “ Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi”. Genta Publishing. Yogyakarta. 2010. hlm 212

[8] Moh.Mahfud MD, 2001, Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES, Jakarta, Hal, 1.

[9] Moh. Mahfud MD. 2001. Politik Hukum Di Indonesia. LP3ES. Jakarta. hal.1

[10] Abdul Jamil. 2008. Cara Berhukum yang Benar bagi Profesional Hukum (ijtighad sebagai trobosan Hukum Progresif) dalam jurnal ilmu Hukum. Vol.15 No.1 Januari 208 hlm 107

[11] Muhammad Taufiq. Mahalnya Keadilan Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hln 32-33

[12] Suteki, Kebijakan Tidak Menegakkan Hukum (Non  Enforcement of Law) Demi Pemulihan Keadilan Substansional, Pidato Pengukuhan, disampaikan Pada Penerimaan janatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum Pada fakultas Hukum Universitas Diponegoro, di Semarang pada 4 Agustus 2009, hlm 5-6

[13] http://surabaya.detik.com/read/2009/11/28/203427/1250283/475/kejaksaan-negri-kediri-saran-kuhp-direvisi. Diakses Pada 1 Juni 2012. Pukul 12.00

[14] Lembaga Kajian dan Advokasi untuk independensi peradilan. Advokasi Tindak Pidana Ringan dan Pengefektifan Denda Sebagai Alternatif Hukuman. http//www.leip.or.id/kegiatan/239-advokasi-tindak-pinda-ringan-dan-pengefektifan-denda-sebagai-alternatif-hukuman.html. Diakses 1 juni 2012.pukul 12.47.

[15] http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/hukum /09/12/05/93567-dilaporkan-mencuri-pisang-seorang-kakek-dipenjara. diakses  1 Juni 2012 Pukul 12.55

[16] Mbok Minah (60 tahun), seorang, Nenek miskin di desa Darmakradenan, Banyumas Jawa Tengah ia harus berhadapan dengan tuntutan hukum dimuka hukum akibat laporan pihak PT. Rumpun Sari Intan, Sebuah perusahaan perkebunan coklat atas tuduhan “telah mencuri tiga biji kakao”. Hanya dengan dalil pencurian senilai Rp. 2.100,-kekuatan uang bisa mengiringi seorang lansia miskin dan buta hukum sampai secara moril, energy, dan materi yang jauh lebih banyak. Hakim yang kemudfian mejatuhkan sanksi 1,5 bulan (dengan tidak perlu masuk kurungan) pun sempat meneteskan air mata kesedihan saat membacakan putusan, karena sebenarnya dia mengamggap kasus ini tidak perlu sampai diruang persidangan. Namun apa boleh buat ia hanya menjalankan tugas lantaran berkasnya sudah memeniuhi syara. Lihat Laode Ida.2010. Negara  Mafia. Yogyakarta: Galang Perss. hlm. 45   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar