POLITIK HUKUM MENUJU HUKUM PROGRESIF
Oleh : Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H., CLI[1]
I.
Sistem Hukum Di Indonesia
Dalam
sistem peradilan di Indonesia tidak sedikit dari putusan-putusan Pengadilan
yang malah jauh dari dinamika masyarakat. Ia hanya mengacu kepada aturan-aturan
formal belaka. Pengadilan yang selanjutnya menjadi tempat untuk menemukan
keadilan “berubah” menjadi medan perang untuk mencari menang (to win the case).[2]
Penerapan
hukum selama ini cenderung mengarah ke arah silogisme di mana hakim
hanya mengkonstatir bahwa Undang-Undang dapat diterapkan pada peristiwanya,
kemudian hakim menerapkan bunyi Undang-Undang terhadap peristiwanya. Hal ini berarti
menempatkan hakim hanya sebagai corong Undang-Undang (la bauche qui pronounce les paroles de laloi). Seharusnya hakim
dapat mengisi ruang kosong yang ada dalam hukum itu, sehigga dapat menemukan
hukum (rechtsvinding) dengan cara melakukan konstruksi hukum dan interpretasi, analogi, dan argumentum a contrario.[3]
Hukum
adalah sebuah tatanan (hukum ada dalam sebuah tatanan yang paling tidak dapat
dibagi ke dalam tiga tatanan yaitu : tatanan transedental, tatanan
sosial dan tatanan politik) yang utuh (holistik) selalu bergerak, baik
secara evolutif maupun revolusioner. Sifat pergerakan itu
merupakan sesuatu yang tidak dapat dihilangkan atau ditiadakan, tetapi sebagai
sesuatu yang eksis dan prinsipil. Keping pemikiran demikian itu akan dijumpai
dalam banyak gagasan tentang hukum yang dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo. Bagi
Satjipto Rahardjo, hukum bukanlah sekedar logika semata, lebih daripada itu
hukum merupakan ilmu sebenarnya (genuine
science), (Satjipto Rahardjo melihat hukum sebagai objek ilmu daripada
profesi, dengan selalu berusaha untuk memahami atau melihat kaitan dengan
hal-hal di belakang hukum, keinginan untuk melihat logika social dari
hukum lebih besar daripada logika hukum atau perundang-undangan), yang harus
selalu dimaknai sehingga selalu up to date. Pemikiran konvensional yang
selama ini menguasai/mendominasi karakteriktik berpikir ilmuwan hukum, bagi
Satjipto merupakan tragedi pemikiran.[4]
Menurut
Barda Nawawi Arif, bertolak dari ketiga nilai keseimbangan pancasila, maka pendekatan
yang seyogyannya ditempuh dalam membangun sistem hukum nasional adalah:
1.
Pendekatan yang
berwawasan nilai-nilai “Ketuhanan” (bermoral religius)
2.
Pendekatan yang
berwawasan nilai-nilai “Kemanusiaan” (humanistic)
3.
Pendekatan yang
berwawasan nilai-nilai “Kemasyarakatan” (nasionalistik; demokratik;
berkeadilan sosial)[5]
Dengan demikian pembangunan politik hukum
nasional akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan ketertiban
nasional.
II.
Unsur – Unsur Politik Hukum
Sistem peradilan di Indonesia tidak pernah luput dari pengaruh
produk-produk politik, salah satunya adalah hukum demokratis yang dianggap
melembaga dalam tumbuh kembangnya masyarakat yang menjadi sasarannya, hukum
tersebut mampu mensinergikan berbagai kepentingan yang terjadi dalam hidup
masyarakat, hukum tersebut bahkan mampu meluaskan fungsinya untuk melakukan social
engineering, rekayasa sosial, menciptakan masyarakat yang menjadi cita-cita
sebuah bangsa yang menamakan dirinya sebagai negara hukum.[6]
Bebrapa unsur politik hukum diantaranya adalah:
a.
Kehendak penguasa negara
mengenai hukum
b.
Kehendak tersebut
telah dituangkan/digariskan dalam dokumen kenegaraan
c.
Hal itu dijadikan
pedoman / arah untuk dijalankan secara nasional
d.
Menyangkut pembentukan
dan penegakan hukum
Sedangkan Menurut Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari Ruang
Lingkup Politik Hukum antara lain:
a.
Hukum dalam realitas
masyarakat, proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang dan
hidup dalam masyarakat, dan direspon oleh penyelenggara negara yang berwenang
merumuskan politik hukum,
b.
Proses perdebatan dan
perumusan nilai-nilai dan aspirasi ke dalam bentuk sebuah perbuatan
undang-undang,
c.
Peraturan
perundang-undangan yang memuat politik hukum dalam rangka pembangunan hukum
menuju hukum nasional,
d.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi dan menentukan politik hukum, baik yang akan, sedang dan yang
telah ditetapkan, termasuk dinamika tarik menarik pengaruh masyarakat global.
e.
Pelaksanaan / penegakan
peraturan perundang-undangan dan implementasi politik hukum, termasuk pembinaan
aparat penegak hukum;
f.
Pelaksanaan dari
peraturan-peraturan undang-undang yang merupakan implementasi dari politik
hukum suatu Negara.
III.
Gagasan Menuju
Hukum Progresif
Prof. Dr Satjipto Raharjo, S.H.
berpendapat hukum
hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, dengan segala dasar didalamnya. Ilmu
dan praktek hukum di Indonesia sudah ketinggalan zaman, karena terus menganut mazhab positivisme.[7]
Sedangkan tujuan gagasan hukum progresif pada dasarnya adalah sebagai terapi krisis hukum di Indonesia dalam
rangka menuju masa depan hukum yang lebih baik
a.
Sebagai kritik dari mazhab positivisme
,obyektivitas, bebas nilai, menstirilkan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.
b.
Netral dan universal, mampu menyelesaikan masalah ”pencet tombol”.
c.
Mencetak mesin hukum.
d.
Membentuk karakter penegak hukum yang
berwatak pragmatis serta terjangkit positivis yang kritis.
e.
Menimbulkan kegelisahan di masyarakat.
IV.
Perbedaan Model
Positivitik Dengan Progresif
Di samping penegakan hukum yang ada di Indonesia ini juga
dikatakan sudah tidak lagi berdiri pada sebuah tatanan profesionalitas dan
keadilan, justru berdiri di atas kepentingan politik, bahkan cenderung beberapa
produk hukum yang teripta justru sebagai sarana untuk menumpas lawan kekuasaan.[8]
Untuk lebih memperjelas pemetaan mengenai perbedaan positifistik dengan progresif berikut akan disampaikan analisis dalam model bagan yang berbentuk table:
No |
Analisis
Pemetaan |
Positivistic |
Progresifitas |
1 |
Sumber
dan ciri |
• Hukum tidak mempunyai dasar dalam kehidupan sosial,
maupun dalam jiwa bangsa. • Satu-satunya sumber hukum
adalah kekuasaan tertinggi pada suatu negara. • Hukum merupakan sistem
logika yang tertutup. Oleh karena itu, harus steril dari unsur –unsur nilai. |
• Hukum tidaklah muncul dari
ruang hampa, karna itu hukum haruslah bersumber dari kenyataan serta
nilai-nilai yg berlaku di masyarakat. • Hukum merupakan sistem yg
terbuka, sehingga selalu ada kemungkinan untuk merombak sistem apabila hukum
tersebut justru mendatangkan malapetaka bagi masyarakat. |
2 |
Model Penegakan |
• Hanya menggunakan logika rasional. • Pengadilan hanyalah sebagai
corong Undang-Undang atau sebagai tempat dimana penegak hukum menerapkan pasal-pasal tertulis • Unifikasi hukum nasional. |
• Melibatkan empati, determinasi dan nurani. • Selain logika rasional, juga
menggunakan logika kepatuhan sosial dan logika keadilan. • Mengakomodasi kemajemukan living law yang berlaku di masyarakat
yang plural. |
3 |
Tujuan Hukum |
• Hukum diciptakan dan
digunakan sebagai instrumen rekayasa sosial, untuk mendorong dan menciptakan
perubahan masyarakat. |
|
V.
Kegagalan Perilaku Penegak Hukum Mewujudkan Keadilan
Subtansial
Tidak sedikit penegakan hukum di Indonesia bukan lagi
berdiri di atas profesionalisme dan keadilan, justru berdiri di atas
kepentingan politik bahkan digunakan untuk menumpas lawan kekuasaan. Mahfud MD
menyatakan, banyak yang heran ketika melihat hukum tidak selalu dapat dilihat
sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat atau penjamin
keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan memotong
kesewenang-wenangan, tidak menegakan keadilan dan tidak dapat menampilkan
dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelasaikan berbagai kasus
yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk hukum yang lebih
banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan
dominan.[9]
VI.
Kelembagaan Institusi Penegak Menuju Hukum Progresif
Cara berhukum para professional hukum sampai sekarang ini
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: professional hukum yang praktis (normatif)
dan para professional progresif. Profesional hukum yang praktis disebabkan
karena sulit meninggalkan cara-cara berhukum model hukum modern yang telah
dikembangkan oleh kolonial penjajah. Hal ini dikarenakan hukum dikembangkan
melalaui jalur pendidikan sudah berabad-abad, sehingga hal ini berdampak pada:
1.
Penyelesaian kasus
sengketa dipandang mempunyai kepastian hukum apabila didasarkan pada putusan Pengadilan
yang mengambil hukum positif.
2.
Para professional
hukum tidak mau mengubah belenggu hukum modern dalam cara berhukum.
3.
Positivisme lebih praktis dalam menyelesaikan kasus sengketa, karena
hukum modern sudah logis dan terukur,
sehingga tidak perlu ditafsirkan lagi.
Professional hukum
progresif adalah mereka yang mau meninggalkan belenggu cara berhukum
modern, meskipun lebih berat. Sebab professional hukum yang macam ini harus
menggali teks-teks pasal Undang-Undang dengan cara menggali sesuatu yang
menjadi reasoning atau sesuatu yang
ada di luar teks. Karena yang dicari
adalah keadilan bukan kebenaran.[10]
Ketika berbicara tentang arah progresifitas institusi
penegak hukum maka sudah seharusnya penegak hukum mampu menggali keadilan di luar
teks peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan pendapat Satjipto
Rahardjo yang dalam teorinya menyatakan bahwa hukum itu tidak hanya teks tertulis
(black law latter), di dalam roh
suatu masyarakat. Artinya adalah hukum
tidak hanya terbatas pada pemaknaan huruf-huruf yang tercetak dalam sebuah
peraturan, maka hukum itu tidak lebih dari tengkorak hidup, jika tanpa melihat
dari sisi hati nurani, karena salah satu yang menghidupi hukum adalah hati
nurani, maka dari itu institusi hukum sudah seharusnya mengedepankan hati
nurani dalam tiap-tiap penyelesaia perkara.
Hukum progresif sebenarnya bisa jadi rujukan gagasan
yang menarik dalam literature hukum Indonesia pada saat ini, khususnya dalam
upaya Restorative Justice. Hukum progresif
tidak menerima institusi yang mutlak serta final, melainkan sangat ditentukan
kemampuanya mengabdi kepada manusia, kualitas kesempurnaan hukum tersebut dapat
diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraam, kepedulian kepada
rakyat dan lain-lain. Inilah hakikat “hukum yang selalu dalam proses menjadi” (law as aprocess, law in the making).[11]
Suteki[12]
mencontohkan beberapa fenomena peradilan terhadap “wong cilik“ (the poor) kemudian ditambahkan kasus-kasus baru misalnya:
1.
Kasus pencurian satu
buah semangka (di Kediri), Cholil dan Basar Suyanto dipidana 15 hari percobaan
1 bulan.[13]
2.
Kasus pencurian kapuk
randu seharga Rp 12.000 (4 anggota
keluarga ditahan di LP Rowobelang) dan para terdakwa dipidana penjara 24
hari.[14]
3.
Kasus pak Klijo
Sumarto (76) tersangka pencurian setandan pisang kluthuk mentah seharga Rp 2.000 di sleman: 7 Desember
2009 (mendekam di LP Cebongan Sleman).[15]
4.
Kasus Mbok Minah
(dituduh mencuri 3 biji kakao seharga Rp 2.100: 2 Agustus 2009, dihukum pidana
percobaan 1 bulan 15 hari).[16]
Berkaitan dengan apa yang telah disampaikan di atas, maka
penulis mencoba menyisipkan tulisannya untuk menambahkan referansi yaitu kasus
“Lanjar Sriyanto“ dari kasus tersebut bisa dijadikan contoh salah satu bentuk
panfsiran institusi hukum yang masih mengunkan metode tekstual produk
Undang-Undang, tidak mengunakan keadilan hati nurani dan cenderung kaku, di mana
ada sebuah perbuatan dianggap pasti ada punishment,
padahal belum tentu perbuatan tersebut dilakukan dengan maksut untuk melakukan
sebuah pelanggaran, bisa saja pelanggaran tersebut justru merupakan buah dari
hasil kesalahan pihak yang benar benar melakukan kesalahan. Dengan demikian,
sudah sepatutnya kelembagaan institusi
penegak hukum menuju hukum progresif.
VII.
Kesimpulan
1.
Penyebab terjadinya kegagalan peradilan yang
tidak berkeadilan substansial di Indonesia antara lain dikarenakan selama ini
pelaksanaan hukum materiil terikat dengan legalitas formal khususnya dalam perkara pidana yang diatur dalam KUHAP, padahal
seiring perkembangan hukum, maka dalam KUHAP mengandung kelemahan dalam
pelaksanaannya. Pihak-pihak dalam sistem peradilan pidana ialah hakim, penuntut
umum, dan terdakwa dengan atau tanpa didampingi penasihat hukum. Secara
normatif, korban sebagai penuntut dalam peradilan pidana belum dikenal. Dalam
pemeriksaan di Pengadilan hakim sangat dominan bahkan
absolut. Dikarenakan kekuasaan yang begitu besar, sehingga sering dilukiskan
dengan istilah judicial distatorship
atau judicial tyrani. Padahal
kualifikasi hakim, penuntut umum dan penasihat hukum tidak jauh berbeda bahkan
sama dari sisi pendidikan, artinya ketika menempuh jenjang pendidikan sarjana
strata 1 tidak ada sepesialisasi.
2.
Sistem peradilan di Indonesia yang berlaku saat ini kurang dapat mewujudkan
keadilan substansial baik bagi korban ataupun pelaku tindak pidana dalam perkara pidana dan para pihak dalam perkara lainnya.
3. Model penyelesaian perkara yang berkeadilan substansial merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Terlebih dalam hukum pidana jika dikaitkan dengan sifat hukum pidana sebagai upaya terakhir (Ultimum Remedium). Artinya pemidanaan atau pemenjaraan benar-benar memang upaya akhir setelah upaya tawaran perdamaian tidak membuahkan hasil. Realisasi dari peradilan restoratif dilakukan dengan cara mengubah pemahaman bentuk kesalahan menjadi sebuah kewajiban tanggung jawab pelaku terhadap hak-hak korban atau pihak lain untuk bisa dipenuhi. Model ini sebagai pengganti model penjeraan. Cara tersebut dilakukan dalam bentuk upaya perdamaian, mekanismenya pelaku meminta maaf kepada korban dan keluarganya dan secara tertulis menyatakan bersedia membayar kompensasi atau ganti kerugian kepada korban dan keluarganya. Pembayaran ini bisa dengan cara tunai maupun mencicil. Semua itu dilakukan di depan penyidik dan atau dituangkan dalam akte otentik atau di bawah tangan. Sesudah kewajiban itu tercapai pihak korban menandatangani Berita Acara tidak keberatan jika perkara pidana itu tidak diteruskan ke tahap penuntutan. Serta selesai dengan proses mediasi dalam perkara perdata.
Daftar Pustaka
Abdul Jamil. 2008. Cara
Berhukum yang Benar bagi Profesional Hukum (Ijtighad sebagai Terobosan Hukum
Progresif) dalam jurnal ilmu Hukum. Vol.15 No.1 Januari 2008
Barda Nawawi Arif. 2012. Pembangunan Sistem Hukum Nasional (Indonesia). Semarang: Pustaka
Magister.
Bernar, L. Tanya, dkk, Teory
Hukum “ Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi”. Yogyakarta: Genta
Publishing
Laode Ida. 2010. Negara Mafia. Yogyakarta: Galang Perss
Moh. Mahfud MD. 2001. Politik
Hukum Di Indonesia. Jakarta: LP3ES
Muhammad Taufiq. 2014. Keadilan Substansial Memangkas
Rantai Birokrasi Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
---------. 2012. Mahalnya
Keadilan Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suteki, Kebijakan Tidak Menegakkan Hukum (Non Enforcement of Law) Demi Pemulihan Keadilan
Substansional, Pidato Pengukuhan, disampaikan Pada Penerimaan Janatan Guru
Besar Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, di Semarang
pada 4 Agustus 2009.
http://click-gtg.blogspot.co.id/2011/12/menuju-pemikiran-hukum-progresif-di.html
http//www.leip.or.id/kegiatan/239-advokasi-tindak-pinda-ringan-dan-pengefektifan-denda-sebagai-alternatif-hukuman.html.
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/hukum/09/12/05/93567-dilaporkan-mencuri-pisang-seorang-kakek-dipenjara.
http://surabaya.detik.com/read/2009/11/28/203427/1250283/475/kejaksaan-negri-kediri-saran-kuhp-direvisi.
[1] Advokat, Dosen Magister Ilmu Hukum Universitas Djuanda Bogor
[2] Muhammad Taufiq. 2014. Keadilan
Substansial Memangkas Rantai Birokrasi Hukum. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
hal. 188
[3] Zulkifli, dkk. 2006. Eksistensi
Pasal 19 Undang-Undang Advokat dan Kaitannya dengan Upaya Paksa Penyitaan yang
Dimiliki oleh Penyidik. Zulkifli Nasution & Rekan. Jakarta. hlm 32-33
[4] H.R. Otje Salman Soemadiningrat. Menuju Pemikiran Hukum Progresif di Indonesia
[5] Barda Nawawi Arif. 2012. Pembangunan
Sistem Hukum Nasional (Indonesia). Pustaka Magister. Semarang. Hal.12
[6] Muhamad Taufiq. 2014. Keadilan
Subtansial Memamangkas Rantai Birokrasi Hukum. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
[7] Bernar,L. Tanya, dkk. Teory Hukum “ Strategi Tertib Manusia
Lintas Ruang Dan Generasi”. Genta Publishing. Yogyakarta. 2010. hlm 212
[8] Moh.Mahfud MD, 2001, Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES,
Jakarta, Hal, 1.
[9] Moh. Mahfud MD. 2001. Politik
Hukum Di Indonesia. LP3ES. Jakarta. hal.1
[10] Abdul Jamil. 2008. Cara Berhukum
yang Benar bagi Profesional Hukum (ijtighad sebagai trobosan Hukum
Progresif) dalam jurnal ilmu Hukum. Vol.15 No.1 Januari 208 hlm 107
[11] Muhammad Taufiq. Mahalnya
Keadilan Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hln 32-33
[12] Suteki, Kebijakan Tidak
Menegakkan Hukum (Non Enforcement of Law) Demi Pemulihan Keadilan Substansional, Pidato Pengukuhan,
disampaikan Pada Penerimaan janatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum Pada fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, di Semarang pada 4 Agustus 2009, hlm 5-6
[13] http://surabaya.detik.com/read/2009/11/28/203427/1250283/475/kejaksaan-negri-kediri-saran-kuhp-direvisi.
Diakses Pada 1 Juni 2012. Pukul 12.00
[14] Lembaga Kajian dan Advokasi untuk independensi peradilan. Advokasi Tindak Pidana Ringan dan Pengefektifan
Denda Sebagai Alternatif Hukuman. http//www.leip.or.id/kegiatan/239-advokasi-tindak-pinda-ringan-dan-pengefektifan-denda-sebagai-alternatif-hukuman.html.
Diakses 1 juni 2012.pukul 12.47.
[15] http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/hukum
/09/12/05/93567-dilaporkan-mencuri-pisang-seorang-kakek-dipenjara. diakses 1 Juni 2012 Pukul 12.55
[16] Mbok Minah (60 tahun), seorang, Nenek miskin di desa
Darmakradenan, Banyumas Jawa Tengah ia harus berhadapan dengan tuntutan hukum
dimuka hukum akibat laporan pihak PT. Rumpun Sari Intan, Sebuah perusahaan
perkebunan coklat atas tuduhan “telah mencuri tiga biji kakao”. Hanya dengan
dalil pencurian senilai Rp. 2.100,-kekuatan uang bisa mengiringi seorang lansia
miskin dan buta hukum sampai secara moril, energy, dan materi yang jauh lebih
banyak. Hakim yang kemudfian mejatuhkan sanksi 1,5 bulan (dengan tidak perlu
masuk kurungan) pun sempat meneteskan air mata kesedihan saat membacakan
putusan, karena sebenarnya dia mengamggap kasus ini tidak perlu sampai diruang
persidangan. Namun apa boleh buat ia hanya menjalankan tugas lantaran berkasnya
sudah memeniuhi syara. Lihat Laode Ida.2010. Negara Mafia. Yogyakarta: Galang Perss. hlm. 45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar