PENGATURAN TINDAK
PIDANA KORPORASI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Berikut ini
akan dibahas beberapa pengaturan tentang korporasi antara lain dalam
Undang-Undang Drt. No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika, Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang
No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, tentang Perubahan
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang No. 8 Tahun
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 15
Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang.
1.
Undang-Undang
Drt. No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak
Pidana Ekonomi
Undang-Undang
Drt. No. 7 Tahun 1955 selengkapnya adalah mengenai Pengusutan, Penuntutan dan
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, yang selanjutnya disebut UU TPE. Melihat
substansi UU TPE khususnya mengenai jenis-jenis pidana, sebenarnya dapat
dikatakan cukup baik karena jenis-jenis sanksi pidana yang disediakan tepat
untuk dikenakan para pelaku tindak pidana ekonomi.
Sebenarnya
dalam UU TPE tidak ada satu pasalpun yang secara tegas mengatur tentang
korporasi, tetapi apabila melihat jenis-jenis pidana yang ada maka dapat
dikatakan bahwa UU TPE teleh mengintroduser bahwa Badan Hukum merupakan sesuatu
yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Misalnya dalam Pasal 7 ayat (1)
sub c tentang penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan dan Pasal 8 tentang
tindakan tata tertib yang dapat dikenakan antara lain penempatan perusahaan si
terhukum dibawah pengampuan selama 3 tahun bila tindak pidana ekonomi itu
merupakan kejahatan dan 2 tahun jika tindka pidana itu merupakan pelanggaran.
2.
Undang-Undang
No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
Pengertian
korporasi disebutkan dalam Pasal 1 ke-13 dengan perumusan korporasi adalah
kumpulan orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum. Kejahatan yang dapat dilakukan korporasi menurut undang-undnag ini
disebutkan dalam Pasal 59 dan Pasal 70. Selengkapnya Pasal 59 adalah sebagai
berikut:
Pasal 59
·
Barang siapa:
1.
Menggunakan pskotropika golongan I
selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); atau
2.
Memproduksi dan/atau menggunakna
dalam proses produksi psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6; atau
3.
Mengedarkan psikotropika golongan I
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 12 ayat (3);
atau
4.
Mengimpor psikotropika golongan I
selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan; atau
5.
Secara tanpa hak memiliki, menyimpan
dan/atau membawa psikotropika golongan I.
Dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta), dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah).
·
Jika tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidan
amati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda sebesar Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu
rupiah).
·
Jika tindak pidana dalam pasal ini
dilakukan oleh korporasi, maka disamping pidananya pelaku tindak pidana, kepada
korporasi dikenakan pidana denda sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
Sedangkan dalam
Pasal 70 disebutkan jika tindak pidana-tindak pidana dalam Pasal 60-64
dilakukan oleh korporasi maka disamping pelaku tindak pidana dikenakan pidana,
maka korporasi juga dikenakan denda sebesar dua kali lipat pidana denda yang
diancamkan dan dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.
Tindak
pidana-tindka pidana dalam Pasal 60-64 adalah memproduksi, menerima penyaluran,
menyerahkan, menerima penyerahan (Pasal 60), mengekspor, mengimpor (Pasal 61),
memiliki, menyimpan, membawa (Pasal 62), mengangkut, tidak mencantumkan label,
mengiklankan, memusnahkan psikotropika (Pasal 63), menghalang-halangi penderita
sindrom ketergantungan untuk menjalani pengobatan dna menyelenggarakan
fasilitas rehabilitasi tanpa izin (Pasal 64).
Dalam
pasal-pasal ini tidak ada ketentuan mengenai kapan atau dalam hal bagaimana
korporasi telah melakukan tindak pidana dan kapan korporasi dapat
dipertanggungjawabkan. Kedua pasal ini Pasal 59 dan Pasal 70 Undang-Undang No.
5 Tahun 1997 dapat mengakibatkan kendala dalam proses penegakan hukum pidana.
Adapun sanksi
pidana yang dpaat dijatuhkan kepada korporasi dalam hal terjadi tindak pidana
menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 adalah:
1.
Korporasi dikenakan pidana denda sebesar
5 miliar rupiah (Pasal 59).
2.
Korporasi dikenakan (Pasal 70):
·
Pidana denda dua kali lipat dari
pidana yang diancamkan.
·
Dapat dijatuhi pidana tambahan
berupa pencabutan izin usaha.
Dari kedua
pasal tersebut terlihat adanya perbedaan sistem pemidanaan dalam Pasal 59 ayat
(3) dengan Pasal 70. Tidak disebutkan secara jelas mengapa tidak ada pidana
tambahan berupa pencabutan izin usaha dalam Pasal 59 ayat (3). Menurut Barda
Nawawi Arief ini mencerminkan adanya ketidakkonsistenan dalam sistem
pemidanaan. Lebih baik jika pidana tambahan dicantumkan juga dalam Pasal 59
ayat (3) ini.
3.
Undang-Undang
No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Pengertian
korporasi dirumuskan dalam Pasal 1 ke-21 dengan redaksi “kumpulan terorganisasi
dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum”.
Tindak pidana
yang dapat dilakukan oleh korporasi menurut undang-undang ini disebutkan dalam
Pasal 130, yaitu:
·
Dalam hal tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal
116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal
123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan oleh korporasi,
selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat
dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga)
kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut.
·
Selain pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
1.
pencabutan izin usaha; dan/atau
2.
pencabutan status badan hukum.
4.
Undang-Undang
No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, selanjutnya disebut UUPLH tidak memberikan
pengertian secara khusus tentang korporasi. Dalam Pasal 1 ke-24, pengertian
korporasi dimasukkan kedalam rumusan orang, yaitu: “ Orang adalah
orang-perseorangan, dan/atau kelompok orang dan/atau badan hukum.
Menurut
undang-undang ini, tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi ancaman
pidananya diperberat dengan sepertiga. Pasal 45 UUPLH:
“Jika tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh atau atas nama suatu
badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, ancaman
pidana diperberat dengan sepertiga.”
Adapun tindak pidana dalam UUPLH
diatur dalam Pasal 41-44, secara garis besar adalah:
·
Perbuatan mengakibatkan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup (Pasal 41).
·
Perbuatan mengakibatkan pencemaran
dan/atau lingkungan hidup karena kealpaannya (Pasal 42).
·
Sengaja melepaskan atau membuang
zat, energy, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk diatas
atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan
impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan
instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk
menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang
lain, memberikaninformasi palsu atau menghilangkan atau menyembunyikan atau
merusak informasi yang diperlukan yang berkaitan dengan perbuatan tersebut
(Pasal 43).
·
Karena kealpaannya melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 (Pasal 44).
Ancaman pidana
dalam UUPLH menganut sistem kumulatif, yaitu pidana penjara 3 sampai dengan 15
tahun dan denda berkisar 100 sampai dengan 750 juta rupiah (sebelum diperberat
sepertiga jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi). Selain itu berdasarkan
Pasal 46 ayat (1) korporasi dapat pula dikenakan tindakan tata tertib. Tindakan
tata tertib sebagaimana yang dimaksud Pasal 46, diatur dalam Pasal 47, adalah
sebagai berikut:
1.
Perampasan keuntungan yang diperoleh
dari tindak pidana; dan/atau
2.
Penutupan seluruhnya atau sebagian
perusahaan; dan/atau
3.
Perbaikan akibat tindak pidana;
dan/atau
4.
Mewajibkan mengerjakan apa yang
dilalaikan tanpa hak; dan/atau
5.
Meniadakan apa yang dilalaikan tanpa
hak; dan/atau
6.
Menempatkan perusahaan dibawah
pengampuan paling lama (3) tahun
Sementara itu
tentang siapa saja yang dapat dipertanggungjawabkan dalam UUPLH, diatur dalam
Pasal 46. Pertanggungjawaban korporasi yang melakukan tindak pidana, pidana dan
tindakan dapat dikenakan kepada:
1.
Badan hukum, perseroan,
perserikatan, yayasan, atau organisasi lain.
2.
Mereka yang memberikan perintah
untuk melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam
perbuatan itu.
3.
Kedua-duanya.
Dengan melihat
beberapa hal tentang ketentuan pidana, dalam UUPLH, terlihat adanya kemajuan
jika dibandingkan dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1982. Kemajuan tersebut
antara lain diaturnya tentang tindakan tata tertib dan pertanggungjawaban
pidana terhadap korporasi. Pengaturan tentang jenis pidana yang tepat untuk
korporasi dalam tindak pidana dibidang lingkungan hidup akan membantu dalam proses
penegakan hukum.
Mengenai
Undang-Undang No. 4 Tahun 1982, Muladi mengatakan bahwa pertanggungjawaban
korporasi sudah dikenal, walaupun dari segi legislative
drafting kurang baik. Hal ini Nampak dari pencantumannya yang hanya
ditempatkan dalam penjelasan Pasal 5 undang-undang tersebut. Disamping itu
pengaturannya terlalu sederhana, yang seringkali menimbulkan penafsiran.
5.
Undang-Undang
No. 10 Tahun Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan
Undang-Undang
No. 10 Tahun Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan selanjutnya disebut UUP tidak secara khusus mengatur tentang
pengertian korporasi, tetapi dalam UUP diakui subyek tindak pidana berupa
“korporasi” yang disebut “badan hukum” (Pasal 46 ayat (2)).
Selanjutnya
masalah pertanggungjawaban pidana dalam hal korporasi melakukan tindak pidana
maka yang dapat dituntut adalah:
1.
Yang memberi perintah melakukan
perbuatan.
2.
Yang bertindak sebagai pimpinan
dalam perbuatan itu.
3.
Kedua-duanya.
Melihat ketentuan
Pasal 46 ayat (2) tersebt diatas terlihat bahwa dalam UUP “korporasi” sendiri
tidak dapat dituntut pidana. Mengingat perlunya perlindungan korban/masyarakat
terhadap kemungkinan terjadinya corporate crime yang dilakukan oleh
bank, maka seyogyanya korporasi dapat dituntut pidana, terutama pada delik
perbankan yang diatur dalam Pasal 46 ayat (1) (menghimpun dana masyarakat tanpa
izin), atau praktek perbankan lainnya yang sangat merugikan masyarakat dan
perekonomian.[96]
6.
Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pengertian
korporasi menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen dimasukkan dalam lingkup
elaku usaha, yang diatur dalam Pasal 1 ke-3:
“Pelaku usaha
adalah setiap orang –perseorangan atau badan usaha, baik berbentuk badan hukum
maupun badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melakukan perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi.”
Dengan
menggunakan satu istilah yaitu “pelaku usaha” yang meliputi perseorangan dan
korporasi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen maka penetapan jenis sanksi
pidana dan tindakan pun sama. Sanksi pidana diatur dalam Pasal 62:
·
Pelaku usaha yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (2), Pasal
15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal
18 dipidana dengan pidana penjara paling lama (5) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
·
Pelaku usaha yang melanggar
ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14,
Pasal 16, Pasal 17 ayat (1) huruf d, huruf f dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
·
Terhadap pelanggaran yang
mengakibatkan luka berat, cacat tetap, atau kematian, diberlakukan ketentuan
pidana yang berlaku.
Pertanggungjawaban
korporasi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen meliputi: pelaku
usaha/korporasi, pengurus dan kedua-duanya. Hal ini terlihat dalam Pasal 61.
Selain pidana pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 62, Undang-Undang
Perlindungan Konsumen juga mengatur hukuman tambahan. Pasal 63 mengatur hukuman
tambahan sebagai berikut:
1.
Perampasan barang tertentu
2.
Pengumuman putusan hakim
3.
Pembayaran ganti rugi
4.
Perintah penghentian kegiatan
tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen
5.
Kewajiban penarikan barang dari peredaran
6.
Pencabutan izin usaha
7.
Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Subyek tindak
pidana dalam undang-undang ini adalah pelaku usaha, yang dapat berupa
orang-perseorangan maupun badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan
badan hukum (Pasal 1 sub 5). Namun ketentuan ini dibatasi oleh Pasal 50 sub (h)
dan (i) yang mengecualikan berlakunya ketentuan undang-undang ini, yaitu
terhadap:
1.
Pelaku usaha yang tergolong dalam
usaha kecil.
2.
Kegiatan usaha koperasi yang secara
khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
Adanya
ketentuan yang demikian maka undang-undang ini tidak membedakan antara subyek
tindak pidana perseorangan atau badan usaha (korporasi). Padahal sanksi pidana
terhadap orang-perseorangan dengan korporasi mempunyai orientasi yang
berbeda-beda. Sanksi pidana denda pada undang-undang ini masih berorientasi
pada orang perseorangan. Apalagi dikaitkan dengan pidana kurungan pengganti
berupa pidana denda. Hanya kepada orang-perseorangan sajalah yang dapat
dikenakan pidana kurungan. Dalam pidana denda juga terlihat tidak ada pembedaan
antara pelaku perseorangan dengan korporasi. Padahal karakteristik dan efek
masing-masing.
Selanjutnya
dengan adanya subyek tindak pidana berupa korporasi maka seharusnya sistem
pidana dan pertanggungjawaban pidananya berorientasi pada korporasi. Maka dalam
undang-undang selayaknya diatur:
1.
Jenis saknsi pidana yang khusus
diterapkan pada korporasi;
2.
Kapan dikatakan korporasi dapat
melakukan tindak pidana;
3.
Siapa yang bertanggungjawab atas
kejahatan korporasi.
Dalam Pasal 47
ayat (2) terdapat tindakan administratif yang dapat diorientasikan pada
korporasi. Tindakan administratif itu adlah:
1.
Penetapan pembatalan perjanjian.
2.
Perintah menghentikan integrasi
vertikal.
3.
Perintah menghentikan kegiatan yang
menimbulkan praktek monopoli, persaingan usaha tidak sehat atau merugikan
masyarakat.
4.
Perintah menghentikan penyalahgunaan
posisi dominan.
5.
Penetapan pembatalan atas
penggabungan atau peleburan saham.
6.
Pengenaan denda minimal 1 miliar
rupiah dna maksimal 25 miliar rupiah.
Tindakan
administrasi tersebut hanya dapat dijatuhkan oleh Komisi Pengawas Persaingan
Usaha dan tidak terintegrasi dalam sistem pertanggungjawaban pidana untuk
korporasi, artinya sanksi itu tidak merupakan jenis sanksi pidana yang dapat
dijatuhkan oleh hakim sekiranya korporasi melakukan tindak pidana.
Berkaitan
dengan hal tersebut Barda Nawawi Arief berpendapat “sebaiknya jenis sanksi
“tindakan administrasi” itu diintegrasikan dalam sistem sanksi pidana atau sistem
pertanggungjawaban pidana, seperti “tindakan tata tertib” dalam Undang-Undang
Tindak Pidana Ekonomi (Undang-Undang Nomor 7 Drt 1955).
8.
Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya
disebut UUTPK mengatur korporasi sebagai sebagai subyek tindak pidana korupsi
yang dapat dikenakan pidana. Menurut Pasal 1 ke-1 UUTPK, korporasi adalah
kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum. Selanjutnya dalam Pasal 1 ke-3 juga dipertegas bahwa
setiap orang adalah orang-perseorangan atau termasuk korporasi.
Menurut Barda
Nawawi Arief, dengan dijadikannya korporasi (berbadan hukum atau bukan)
sebagai subyek tindak pidana korupsi, maka sistem pidana dan pemidanaannya juga
seharusnya berorientasi pada korporasi. Ini harus ada ketentuan khusus
mengenai:
1.
Kapan korporasi dikatakan melakukan
tindak pidana;
2.
Siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan;
3.
Dalam hal bagaimana korporasi dapat
dipertanggungjawabkan; dan
4.
Jenis-jenis sanksi apa saja yang
dapat dijatuhkan untuk korporasi.
Dalam UUTPK,
korporasi melakukan tindka pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
hubungan lain, bertindak dalam lingkunag korporasi tersebut baik sendiri maupun
bersama-sama (Pasal 20 ayat (2)). Sedangkan siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan , UUTPK mengatur dalam Pasal 20 ayat (1), yaitu dalam hal
tindak pidana dilakukan oleh atas nama korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan
pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. UUTPK tidak
menyebutkan secara khusus dan rinci mengenai dalam hal bagaimana korporasi
dapat dipertanggungjawabkan, tetapi diintegrasikan dalam Pasal 20 ayat (1)
diatas. Mengenai sanksi pidana yang diancamkan kepada korporasi menurut Pasal
20 ayat (7) adalah pidana denda yang diperberat. Selengkapnya klausula Pasal 20
ayat (7) adalah: “Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya
berupa pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah sepertiga.”
Namun demikian
disamping pidana denda, pidana tambahan yang disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1)
dapat juga dijadikan pidana pokok untuk korporasi atau setidak-tidaknya
dijadikan pidana tambahan yang dapat dijatuhkan secara mandiri. Permasalahannya
adalah tidak ada ketentuan khusus mengenai dapat dijatuhkannya pidana tambahan
kepada korporasi. Bahkan pidana yang dijatuhkan kepada korporasi adalah pidana
denda, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 20 ayat (7).
Pidana tambahan
menurut Pasal 18 ayat (1) UUTPK, selain pidana tambahan sebagaimana dalam KUHP
adalah:
1.
Perampasan barang bergerak yang
berwujud atau yang tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang
digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk
perusahaan milik terpidana, dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula
harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
2.
Pembayaran uang pengganti yang
jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindka
pidana korupsi.
3.
Penutupan seluruh atau sebagian
perusahaan untuk aling lama satu tahun.
4.
Pencabutan seluruh atau sebagian
hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu
yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.[]
Sumber : Berbagai Sumber
Amrullah, M. Arief, Kejahatan
Korporai, Bayumedia Publishing, Malang, 2006.
Arief, Barda Nawawi, Kebijakan
Sistem Pemidanaan dalam Perbankan, Makalah pada Clloquium penyususnan
Naskah Akademik dan RUU Perbankan, UNDIP-BI, Semarang, 2002.
Arief, Barda Nawawi, Sari
Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Clinard, Marshall, B. dan Peter C.
Yeager, 1983, Corporate Crime, The Free Press, New York.
Muladi dan Dwija Priyatno,
1991, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, Bagian Penerbitan
Sekolah Tinggi Bandung.
Muladi, Fungsionalisasi Hukum
Pidana di dalam Kejahatan yang Dilakukan oleh Korporasi, Makalah,
Disajikan dalam Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, Tanggal 23-24 Nopember
1989, Semarang. Bandingkan pula dengan Steven Box, Power Crime and
Mystification, Tavistock, London, 1983.
Sholehuddin, M., Sistem Sanksi
dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System &
Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
Muladi, Hak Asasi Manusia,
Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, 1997.
Priyatno, Dwidja, Kebijaksanaan
Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,
Utomo, Bandung, 2004.
R., Al Rido, Badan Hukum dan
Kedudukan Badan Hukum Perseroan , Perkumpulan, Koperasi, Yayasan,
Wakaf, ALUMNI – Bandung, 2001.
Reksodiputro,
Mardjono, Struktur Perekonomian Dewasa Ini dan Permasalahan
Korban, Makalah, Disampaikan pada Seminar Viktimologi di Surabaya, tanggal
28 Oktober 1988.
Sahetapy, J.E, Kejahatan
Korporasi, Eresco, Bandung, 1994.
Sahetapy, J.E., Kejahatan
Korporasi, Makalah sebagai Bahan Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi,
Semarang, tanggal 8-23 Nopember 1993.
Separovic, Zvonimir
Paul, Victimology, Studies of Victims, Zagreb, 1985.
Sudarto, Kapita Selekta Hukum
Pidana, Alumni, Bandung, 1987.
Susanto, I.S., Kejahatan
Korporasi, Badan Penerbit Undip, Semarang, 1995.
Susanto,
I.S., Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang,
1995.
Susanto, I.S., Kejahatan
Korporasi di Indonesia Produk Kebijakan Rezim Orde Baru, Pidato Pengukuhan
Guru Besar, Semarang, 1999.
Shofie, Yusuf, Pelaku Usaha,
Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002.
Yunara, Edi, Korupsi dan
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut Studi Kasus, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar