WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Rabu, 10 Februari 2021

PENGATURAN TINDAK PIDANA KORPORASI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

 

PENGATURAN TINDAK PIDANA KORPORASI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

 

Berikut ini akan dibahas beberapa pengaturan tentang korporasi antara lain dalam Undang-Undang Drt. No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang No. 8 Tahun Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

1.      Undang-Undang Drt. No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi

Undang-Undang Drt. No. 7 Tahun 1955 selengkapnya adalah mengenai Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, yang selanjutnya disebut UU TPE. Melihat substansi UU TPE khususnya mengenai jenis-jenis pidana, sebenarnya dapat dikatakan cukup baik karena jenis-jenis sanksi pidana yang disediakan tepat untuk dikenakan para pelaku tindak pidana ekonomi.

Sebenarnya dalam UU TPE tidak ada satu pasalpun yang secara tegas mengatur tentang korporasi, tetapi apabila melihat jenis-jenis pidana yang ada maka dapat dikatakan bahwa UU TPE teleh mengintroduser bahwa Badan Hukum merupakan sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Misalnya dalam Pasal 7 ayat (1) sub c tentang penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan dan Pasal 8 tentang tindakan tata tertib yang dapat dikenakan antara lain penempatan perusahaan si terhukum dibawah pengampuan selama 3 tahun bila tindak pidana ekonomi itu merupakan kejahatan dan 2 tahun jika tindka pidana itu merupakan pelanggaran.

2.      Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

Pengertian korporasi disebutkan dalam Pasal 1 ke-13 dengan perumusan korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Kejahatan yang dapat dilakukan korporasi menurut undang-undnag ini disebutkan dalam Pasal 59 dan Pasal 70. Selengkapnya Pasal 59 adalah sebagai berikut:

Pasal 59

·         Barang siapa:

1.      Menggunakan pskotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); atau

2.      Memproduksi dan/atau menggunakna dalam proses produksi psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau

3.      Mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 12 ayat (3); atau

4.      Mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan; atau

5.      Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan I.

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta), dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

·         Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidan amati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).

·         Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka disamping pidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Sedangkan dalam Pasal 70 disebutkan jika tindak pidana-tindak pidana dalam Pasal 60-64 dilakukan oleh korporasi maka disamping pelaku tindak pidana dikenakan pidana, maka korporasi juga dikenakan denda sebesar dua kali lipat pidana denda yang diancamkan dan dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.

Tindak pidana-tindka pidana dalam Pasal 60-64 adalah memproduksi, menerima penyaluran, menyerahkan, menerima penyerahan (Pasal 60), mengekspor, mengimpor (Pasal 61), memiliki, menyimpan, membawa (Pasal 62), mengangkut, tidak mencantumkan label, mengiklankan, memusnahkan psikotropika (Pasal 63), menghalang-halangi penderita sindrom ketergantungan untuk menjalani pengobatan dna menyelenggarakan fasilitas rehabilitasi tanpa izin (Pasal 64).

Dalam pasal-pasal ini tidak ada ketentuan mengenai kapan atau dalam hal bagaimana korporasi telah melakukan tindak pidana dan kapan korporasi dapat dipertanggungjawabkan. Kedua pasal ini Pasal 59 dan Pasal 70 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 dapat mengakibatkan kendala dalam proses penegakan hukum pidana.

Adapun sanksi pidana yang dpaat dijatuhkan kepada korporasi dalam hal terjadi tindak pidana menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 adalah:

1.      Korporasi dikenakan pidana denda sebesar 5 miliar rupiah (Pasal 59).

2.      Korporasi dikenakan (Pasal 70):

·         Pidana denda dua kali lipat dari pidana yang diancamkan.

·         Dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.

Dari kedua pasal tersebut terlihat adanya perbedaan sistem pemidanaan dalam Pasal 59 ayat (3) dengan Pasal 70. Tidak disebutkan secara jelas mengapa tidak ada pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dalam Pasal 59 ayat (3). Menurut Barda Nawawi Arief ini mencerminkan adanya ketidakkonsistenan dalam sistem pemidanaan. Lebih baik jika pidana tambahan dicantumkan juga dalam Pasal 59 ayat (3) ini.

3.      Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Pengertian korporasi dirumuskan dalam Pasal 1 ke-21 dengan redaksi “kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.

Tindak pidana yang dapat dilakukan oleh korporasi menurut undang-undang ini disebutkan dalam Pasal 130, yaitu:

·         Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut.

·         Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:

1.      pencabutan izin usaha; dan/atau

2.      pencabutan status badan hukum.

 

4.      Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, selanjutnya disebut UUPLH tidak memberikan pengertian secara khusus tentang korporasi. Dalam Pasal 1 ke-24, pengertian korporasi dimasukkan kedalam rumusan orang, yaitu: “ Orang adalah orang-perseorangan, dan/atau kelompok orang dan/atau badan hukum.

Menurut undang-undang ini, tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi ancaman pidananya diperberat dengan sepertiga. Pasal 45 UUPLH:

“Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana diperberat dengan sepertiga.”

Adapun tindak pidana dalam UUPLH diatur dalam Pasal 41-44, secara garis besar adalah:

·         Perbuatan mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup (Pasal 41).

·         Perbuatan mengakibatkan pencemaran dan/atau lingkungan hidup karena kealpaannya (Pasal 42).

·         Sengaja melepaskan atau membuang zat, energy, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk diatas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, memberikaninformasi palsu atau menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak informasi yang diperlukan yang berkaitan dengan perbuatan tersebut (Pasal 43).

·         Karena kealpaannya melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 (Pasal 44).

Ancaman pidana dalam UUPLH menganut sistem kumulatif, yaitu pidana penjara 3 sampai dengan 15 tahun dan denda berkisar 100 sampai dengan 750 juta rupiah (sebelum diperberat sepertiga jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi). Selain itu berdasarkan Pasal 46 ayat (1) korporasi dapat pula dikenakan tindakan tata tertib. Tindakan tata tertib sebagaimana yang dimaksud Pasal 46, diatur dalam Pasal 47, adalah sebagai berikut:

1.      Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau

2.      Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau

3.      Perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau

4.      Mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau

5.      Meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau

6.      Menempatkan perusahaan dibawah pengampuan paling lama (3) tahun

Sementara itu tentang siapa saja yang dapat dipertanggungjawabkan dalam UUPLH, diatur dalam Pasal 46. Pertanggungjawaban korporasi yang melakukan tindak pidana, pidana dan tindakan dapat dikenakan kepada:

1.      Badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan, atau organisasi lain.

2.      Mereka yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu.

3.      Kedua-duanya.

Dengan melihat beberapa hal tentang ketentuan pidana, dalam UUPLH, terlihat adanya kemajuan jika dibandingkan dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1982. Kemajuan tersebut antara lain diaturnya tentang tindakan tata tertib dan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi. Pengaturan tentang jenis pidana yang tepat untuk korporasi dalam tindak pidana dibidang lingkungan hidup akan membantu dalam proses penegakan hukum.

Mengenai Undang-Undang No. 4 Tahun 1982, Muladi mengatakan bahwa pertanggungjawaban korporasi sudah dikenal, walaupun dari segi legislative drafting kurang baik. Hal ini Nampak dari pencantumannya yang hanya ditempatkan dalam penjelasan Pasal 5 undang-undang tersebut. Disamping itu pengaturannya terlalu sederhana, yang seringkali menimbulkan penafsiran.

5.      Undang-Undang No. 10 Tahun Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

Undang-Undang No. 10 Tahun Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan selanjutnya disebut UUP tidak secara khusus mengatur tentang pengertian korporasi, tetapi dalam UUP diakui subyek tindak pidana berupa “korporasi” yang disebut “badan hukum” (Pasal 46 ayat (2)).

Selanjutnya masalah pertanggungjawaban pidana dalam hal korporasi melakukan tindak pidana maka yang dapat dituntut adalah:

1.      Yang memberi perintah melakukan perbuatan.

2.      Yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu.

3.      Kedua-duanya.

Melihat ketentuan Pasal 46 ayat (2) tersebt diatas terlihat bahwa dalam UUP “korporasi” sendiri tidak dapat dituntut pidana. Mengingat perlunya perlindungan korban/masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya corporate crime yang dilakukan oleh bank, maka seyogyanya korporasi dapat dituntut pidana, terutama pada delik perbankan yang diatur dalam Pasal 46 ayat (1) (menghimpun dana masyarakat tanpa izin), atau praktek perbankan lainnya yang sangat merugikan masyarakat dan perekonomian.[96]

6.      Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Pengertian korporasi menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen dimasukkan dalam lingkup elaku usaha, yang diatur dalam Pasal 1 ke-3:

“Pelaku usaha adalah setiap orang –perseorangan atau badan usaha, baik berbentuk badan hukum maupun badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melakukan perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

Dengan menggunakan satu istilah yaitu “pelaku usaha” yang meliputi perseorangan dan korporasi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen maka penetapan jenis sanksi pidana dan tindakan pun sama. Sanksi pidana diatur dalam Pasal 62:

·         Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama (5) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

·         Pelaku usaha yang melanggar ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, Pasal 17 ayat (1) huruf d, huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

·         Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, cacat tetap, atau kematian, diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

Pertanggungjawaban korporasi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen meliputi: pelaku usaha/korporasi, pengurus dan kedua-duanya. Hal ini terlihat dalam Pasal 61. Selain pidana pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 62, Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga mengatur hukuman tambahan. Pasal 63 mengatur hukuman tambahan sebagai berikut:

1.      Perampasan barang tertentu

2.      Pengumuman putusan hakim

3.      Pembayaran ganti rugi

4.      Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen

5.      Kewajiban penarikan barang dari peredaran

6.      Pencabutan izin usaha

 

7.      Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Subyek tindak pidana dalam undang-undang ini adalah pelaku usaha, yang dapat berupa orang-perseorangan maupun badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum (Pasal 1 sub 5). Namun ketentuan ini dibatasi oleh Pasal 50 sub (h) dan (i) yang mengecualikan berlakunya ketentuan undang-undang ini, yaitu terhadap:

1.      Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil.

2.      Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.

Adanya ketentuan yang demikian maka undang-undang ini tidak membedakan antara subyek tindak pidana perseorangan atau badan usaha (korporasi). Padahal sanksi pidana terhadap orang-perseorangan dengan korporasi mempunyai orientasi yang berbeda-beda. Sanksi pidana denda pada undang-undang ini masih berorientasi pada orang perseorangan. Apalagi dikaitkan dengan pidana kurungan pengganti berupa pidana denda. Hanya kepada orang-perseorangan sajalah yang dapat dikenakan pidana kurungan. Dalam pidana denda juga terlihat tidak ada pembedaan antara pelaku perseorangan dengan korporasi. Padahal karakteristik dan efek masing-masing.

Selanjutnya dengan adanya subyek tindak pidana berupa korporasi maka seharusnya sistem pidana dan pertanggungjawaban pidananya berorientasi pada korporasi. Maka dalam undang-undang selayaknya diatur:

1.      Jenis saknsi pidana yang khusus diterapkan pada korporasi;

2.      Kapan dikatakan korporasi dapat melakukan tindak pidana;

3.      Siapa yang bertanggungjawab atas kejahatan korporasi.

Dalam Pasal 47 ayat (2) terdapat tindakan administratif yang dapat diorientasikan pada korporasi. Tindakan administratif itu adlah:

1.      Penetapan pembatalan perjanjian.

2.      Perintah menghentikan integrasi vertikal.

3.      Perintah menghentikan kegiatan yang menimbulkan praktek monopoli, persaingan usaha tidak sehat atau merugikan masyarakat.

4.      Perintah menghentikan penyalahgunaan posisi dominan.

5.      Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan saham.

6.      Pengenaan denda minimal 1 miliar rupiah dna maksimal 25 miliar rupiah.

Tindakan administrasi tersebut hanya dapat dijatuhkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan tidak terintegrasi dalam sistem pertanggungjawaban pidana untuk korporasi, artinya sanksi itu tidak merupakan jenis sanksi pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim sekiranya korporasi melakukan tindak pidana.

Berkaitan dengan hal tersebut Barda Nawawi Arief berpendapat “sebaiknya jenis sanksi “tindakan administrasi” itu diintegrasikan dalam sistem sanksi pidana atau sistem pertanggungjawaban pidana, seperti “tindakan tata tertib” dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (Undang-Undang Nomor 7 Drt 1955).

8.      Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya disebut UUTPK mengatur korporasi sebagai sebagai subyek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan pidana. Menurut Pasal 1 ke-1 UUTPK, korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Selanjutnya dalam Pasal 1 ke-3 juga dipertegas bahwa setiap orang adalah orang-perseorangan atau termasuk korporasi.

Menurut Barda Nawawi Arief, dengan dijadikannya korporasi (berbadan hukum atau bukan) sebagai subyek tindak pidana korupsi, maka sistem pidana dan pemidanaannya juga seharusnya berorientasi pada korporasi. Ini harus ada ketentuan khusus mengenai:

1.      Kapan korporasi dikatakan melakukan tindak pidana;

2.      Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan;

3.      Dalam hal bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan; dan

4.      Jenis-jenis sanksi apa saja yang dapat dijatuhkan untuk korporasi.

Dalam UUTPK, korporasi melakukan tindka pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkunag korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama (Pasal 20 ayat (2)). Sedangkan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan , UUTPK mengatur dalam Pasal 20 ayat (1), yaitu dalam hal tindak pidana dilakukan oleh atas nama korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. UUTPK tidak menyebutkan secara khusus dan rinci mengenai dalam hal bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan, tetapi diintegrasikan dalam Pasal 20 ayat (1) diatas. Mengenai sanksi pidana yang diancamkan kepada korporasi menurut Pasal 20 ayat (7) adalah pidana denda yang diperberat. Selengkapnya klausula Pasal 20 ayat (7) adalah: “Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya berupa pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah sepertiga.”

Namun demikian disamping pidana denda, pidana tambahan yang disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1) dapat juga dijadikan pidana pokok untuk korporasi atau setidak-tidaknya dijadikan pidana tambahan yang dapat dijatuhkan secara mandiri. Permasalahannya adalah tidak ada ketentuan khusus mengenai dapat dijatuhkannya pidana tambahan kepada korporasi. Bahkan pidana yang dijatuhkan kepada korporasi adalah pidana denda, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 20 ayat (7).

Pidana tambahan menurut Pasal 18 ayat (1) UUTPK, selain pidana tambahan sebagaimana dalam KUHP adalah:

1.      Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana, dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

2.      Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindka pidana korupsi.

3.      Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk aling lama satu tahun.

4.      Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.[]


Sumber : Berbagai Sumber

Amrullah, M. Arief, Kejahatan Korporai, Bayumedia Publishing, Malang, 2006.

Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Sistem Pemidanaan dalam Perbankan, Makalah pada Clloquium penyususnan Naskah Akademik dan RUU Perbankan, UNDIP-BI, Semarang, 2002.

Arief, Barda Nawawi, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Clinard, Marshall, B. dan Peter C. Yeager, 1983, Corporate Crime, The Free Press, New York.

Muladi dan Dwija Priyatno, 1991, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Bandung.

Muladi, Fungsionalisasi Hukum Pidana di dalam Kejahatan yang Dilakukan oleh Korporasi, Makalah, Disajikan dalam Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, Tanggal 23-24 Nopember 1989, Semarang. Bandingkan pula dengan Steven Box, Power Crime and Mystification, Tavistock, London, 1983.

Sholehuddin, M., Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.

Priyatno, Dwidja, Kebijaksanaan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Utomo, Bandung, 2004.

R., Al Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan , Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, ALUMNI – Bandung, 2001.

Reksodiputro, Mardjono, Struktur Perekonomian Dewasa Ini dan Permasalahan Korban, Makalah, Disampaikan pada Seminar Viktimologi di Surabaya, tanggal 28 Oktober 1988.

Sahetapy, J.E, Kejahatan Korporasi, Eresco, Bandung, 1994.

Sahetapy, J.E., Kejahatan Korporasi, Makalah sebagai Bahan Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi, Semarang, tanggal 8-23 Nopember 1993.

Separovic, Zvonimir Paul, Victimology, Studies of Victims, Zagreb, 1985.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1987.

Susanto, I.S., Kejahatan Korporasi, Badan Penerbit Undip, Semarang, 1995.

Susanto, I.S., Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1995.

Susanto, I.S., Kejahatan Korporasi di Indonesia Produk Kebijakan Rezim Orde Baru, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Semarang, 1999.

Shofie, Yusuf, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002.

Yunara, Edi, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut Studi Kasus, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar