KORPORASI DAN LINGKUNGAN HIDUP
Oleh
Dr. Muhammad Taufiq, S.H.,M.H.
Kejahatan
korporasi terus menjadi catatan penting dalam penegakan hukum pidana di
Indonesia, khususnya menyangkut pencemaran dan pengrusakan lingkungan hidup.
Pada hal fenomena pencemaran kejahatan korporasi ini sudah lama terjadi dan
seringkali menimbulkan dampak dan korban secara nyata, tetapi dalam
perkembangannya terus meningkat. Misalnya sebagai berikut:
1.
Laju kerusakan hutan di Indonesia berada
pada tingkat paling tinggi di Dunia;
2.
Pencemaran
lingkungan diteluk Buyat;
3.
Pencemaran minyak mentah dari kapal MT
Lucky Lady di Perairan Cilacap yang mengakibatkan 222,305 orang nelayan tidak
melaut selama 180 hari.
4.
Pecemaran dan kerusakan alam akibat
eksploitasi PT. Lapindo di Sidoarjo,
5.
Pencemaran limbah Industri domestic,
Sampah dan polusi udara yang ada disekeliling kita.
Dari kejadian tersebut diatas menjadi
pertanyaan, bagaimana penegakan hukum terhadap korporasi selama ini mengingat
dampak atau korban kejahatan korporasi begitu kompleks.
Menurut Soerjono Soekanto
keefektifan penegakan hukum secara umum yakni
sebagai berikut :
1.
Faktor hukumnya sendiri:
2.
Faktor Penegak hukum :
3.
Faktor sarana atau fasilitas yang
mendukung penegakan hukum;
4.
Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana
hukum tersebut berlaku dan ditetapkan;
5.
Faktor kebudayaan, yaitu sebagai hasil
karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan
hidup[1].
Terkait
faktor hukumnya sendiri, dalam penegakan hukum tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa subtansi perundang – undangan merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi keefektivitasan penegakan
hukum. Di dalam teori sosiologi hukum salah satu fungsi dari sosiologi hukum
adalah untuk mengadakan evaluasi terhadap efektivitas implementasi peraturan
perundang – undangan dalam masyarakat. Di dalam Undang – Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup masih banyak terdapat peraturan – peraturan yang sudah
tidak efektif lagi jika diterapkan karena kejahatan tindak pidana lingkungan
sudah mnengalami perkembangan sehingga dapat menimbulkan kerusakan lingkungan
yang sangat luar biasa dan meluas. Oleh karena itu, perlu
dilakukan evaluasi dan pembaharuan hukum pidana (pembaharuan subatansi
perundang-undangan) yang merupakan kebutuhan penting dalam rangka penegakan
hukum terhadap kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup selama ini.
Mengingat
kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup dapat menimbulkan dampak atau
korban yang begitu besar dan kompleks, maka upaya penegakan hukum melalui
kebijakan formulasi hukum pidana terhadap kejahatan korporasi ini hendaknya
tidak hanya melihat pada daad, daader
tetapi juga victim (korban). Oleh
karena itu, diperlukan kebijakan reformulasi hukum pidana, guna memberikan
perlindungan pada korban kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup yaitu
mencakup masalah perumusan tindak pidana (kriminalisasi), pertanggungjawaban
pidana, serta pidana dan pemidanaan (korporasi sebagai pelaku tindak pidana).
Saat ini di berbagai
sektor perekonomian ditemukan banyak pelanggaran korporasi yang telah
menimbulkan banyak kerugian dan kerusakan. Walaupun terdapat berbagai bukti
yang menunjukkan adanya kejahatan korporasi, namun hukuman atas tindakan
tersebut selalu terabaikan. Kejahatan korporasi yang telah terjadi pada
berbagai perusahaan di masa lalu juga dapat terjadi kembali. Oleh karena itu,
perlu diketahui bagaimana cara untuk mencegahnya.
Banyak perusahaan
yang dengan sengaja atau bahkan berulang-ulang melakukan tindakan yang
melanggar etika bisnis bahkan hukum yang berlaku. Pandangan masyarakat terhadap
kejahatan korporasi sangat berbeda dengan pandangan mereka pada kejahatan
jalanan. Padahal hampir pada setiap kejadian, efek dari kejahatan korporasi
selalu lebih merugikan, memakan biaya lebih besar, berdampak lebih meluas, dan
lebih melemahkan daripada bentuk kejahatan jalanan.
Kejahatan
sesungguhnya tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat.
Semakin maju dan berkembang peradaban umat manusia, akan semakin mewarnai
bentuk dan corak kejahatan yang akan muncul ke permukaan. Begitulah setidaknya,
ketika manusia belum menemukan alat canggih seperti komputer, maka yang namanya
kejahatan komputer tidak pernah dikenal. Baru setelah komputer merajelela di
berbagai belahan dunia, maka orangpun disibukkan pula dengan efek samping yang
ditimbulkannya yaitu berupa kejahatan komputer.
Demikian pula halnya
dengan corak kejahatan di bidang perbankan, kejahatan terhadap pencemaran
lingkungan hidup, money laundering, kejahatan di bidang ekonomi; korupsi dan
lain-lain, semua kejahatan ini lahir dan tumbuh seiring dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dicapai oleh manusia.Kejahatan-kejahatan ini
termasuk dalam kategori kejahatan kelas “elite”. Dikatakan “elite”, karena
tidak semua orang dapat melakukannya.
Kejahatan kelas
“elite” ini tidak membutuhkan tenaga fisik yang banyak. Kemampuan pikir
merupakan faktor yang penting untuk mencapai hasil yang berlipat ganda. Namun
sayang, kejahatan jenis ini seringkali tidak terpantau dan bahkan dalam banyak
hal, aparat penegak hukum justru kalah terampil dari pelakunya, baik itu yang
berkenaan dengan objek yang menjadi sasaran kejahatan maupun masalah pembuktian
dalam proses peradilan.
Pengertian Kejahatan Korporasi
Kejahatan diartikan
sebagai suatu perbuataan yang oleh masyarakat dipandang sebagai kegiatan yang
tercela, dan terhadap pelakunya dikenakan hukuman (pidana). Sedangkan korporasi
adalah suatu badan hukum yang diciptakan oleh hukum itu sendiri dan mempunyai
hak dan kewajiban. Jadi, kejahatan korporasi adalah kejahatan yang dilakukan
oleh badan hukum yang dapat dikenakan sanksi. Dalam literature sering dikatakan
bahwa kejahatan korporasi ini merupakan salah satu bentuk White Collar Crime.
Menurut Sutherland,
kejahatan kerah putih adalah “sebuah perilaku kriminal atau perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh seseorang dari kelompok yang memiliki keadaan
sosio-ekonomi yang tinggi dan dilakukan berkaitan dengan aktifitas
pekerjaannya”. Selanjutnya dijelaskan, bahwa kejahatan kerah putih (WCC)
sebagian besar berkaitan dengan kejahatan atau perusakan terhadap kepercayaan
yang ada. Kejahatan atau perusakan terhadap kepercayaan yang ada ini secara
lebih luas dibagi dalam dua bagian atau tipe. Tipe pertama, ialah penyajian
atau pengambaran yang keliru, dan yang keduaadalah duplikasi atau perbuatan
bermuka dua. Tipe yang pertama berhubungan erat dengan penipuan, pengecohan
atau diperbudaknya seseorang. Sedangkan tipe kedua berkaitan secara langsung
dengan pengkhianatan kepercayaan maupun penipuan yang secara langsung dilakukan
tetapi tidak kentara; tidak terlihat secara kasat mata, yaitu dengan cara
mengelabui korbannya. Prinsip yang utama dari tipe yang kedua ini adalah dengan
membuat sebuah penampilan yang baik (bonafide) kepada calon korban, menampilkan
diri sebagai seorang yang profesional atau bisnismen (usahawan) namun dibalik
itu adalah bertujuan untuk mengeruk keuntungan yang sebanyak-banyakanya dari
calon korban, bagai musang berbulu domba.
Menurut Utrech dan M. Soleh Djindang, korporasi adalah
suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai
suatu subjek hukum tersendiri sebagai suatu personifikasi. Korporasi adalah
badan hukum yang beranggota, namun mempunyai hak dan kewajiban tersendiri yang
terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing. Sementara A.Z Abidin menyatakan bahwa
korporasi di pandang sebagai realita sekumpulan manusia yang dberikan hak
sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum untuk tujuan tertentu.
Yan Pramadya Puspa mengartikan korporasi atau badan hukum
adalah suatu perseroan yang merupakan hukum, yang dimaksudkan sebagai suatu
perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang
manusia (personal), sebagai pengemban
atau pemilik hak dan kewajiban, memiliki hak menggugat atau digugat di muka
pengadilan.
Jadi dari berbagai pengertian diatas, maka korporasi
mempunyai arti yang luas. Pengertian korporasi juga lebih luas dari pengertian
badan hukum, hal ini terlihat dari berbagai ketentuan perundang-undangan di
luar KUHP yang memakai istilah badan usaha, sekelompok orang dan lain
sebagainya, sebagai subjek hukum pidana.
Black’s
Law Dictionary menyebutkan kejahatan korporasi atau corporate crime adalah any
criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of
activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste
dumping), often referred to as “white collar crime”[2].
Kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang
dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena
aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga,
pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih”. Sally
S. Simpson yang mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan
korporasi adalah “conduct of a corporation,
or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and
punishable by law“[3].
Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari
definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi. Pertama, tindakan ilegal
dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas
sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang
digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum
pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Kedua, baik
korporasi (sebagai “subyek hukum perorangan “legal persons“) dan perwakilannya
termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek
yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan
kualitas pembuktian dan penuntutan.
Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan
untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian
keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang
pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional[4].
Kejahatan korporasi mungkin tidak terlalu sering kita
sering dalam pemberitaan-pemberitaan kriminil di media. Aparat penegak hukum,
seperti kepolisian juga pada umumnya lebih sering menindak aksi-aksi kejahatan
konvensional yang secara nyata dan faktual terdapat dalam aktivitas sehari-hari
masyarakat. Ada beberapa beberapa faktor
yang mempengaruhi hal ini[5].
Pertama, kejahatan-kejahatan yang dilaporkan oleh masyarakat hanyalah
kejahatan-kejahatan konvensional.
Penelitian juga menunjukkan bahwa aktivitas aparat kepolisian sebagian
besar didasarkan atas laporan anggota masyarakat, sehingga kejahatan yang
ditangani oleh kepolisian juga turut bersifat konvensional. Kedua, pandangan
masyarakat cenderung melihat kejahatan korporasi atau kejahatan kerah putih
bukan sebagai hal-hal yang sangat berbahaya,dan juga turut dipengaruhi. Ketiga,
pandangan serta landasan hukum menyangkut siapa yang diakui sebagai subjek
hukum pidana dalam hukum pidana Indonesia.
Keempat, tujuan dari pemidanaan kejahatan korporasi adalah lebih kepada
agar adanya perbaikan dan ganti rugi, berbeda dengan pemidanaan kejahatan lain
yang konvensional yang bertujuan untuk menangkap dan menghukum. Kelima,
pengetahuan aparat penegak hukum menyangkut kejahatan korporasi masih dinilai
sangat minim, sehingga terkadang terkesan enggan untuk menindaklanjutinya
secara hukum. Kelima, kejahatan
korporasi sering melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dengan status sosial yang
tinggi. Hal ini dinilai dapat mempengaruhi
proses penegakan hukum.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia memang
hanya menetapkan bahwa yang menjadi subjek tindak pidana adalah orang
persorangan (legal persoon). Pembuat
undang-undang dalam merumuskan delik harus memperhitungkan bahwa manusia
melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang, dalam hukum
keperdataan maupun di luarnya (misalnya dalam hukum administrasi), muncul
sebagai satu kesatuan dan karena
itu diakui serta mendapat
perlakuan sebagai badan hukum
atau korporasi. Berdasarkan KUHP, pembuat undang-undang akan merujuk pada
pengurus atau komisaris korporasi jika mereka berhadapan dengan situasi seperti
itu[6].
Sehingga, jika KUHP Indonesia saat ini tidak bisa dijadikan
sebagai landasan untuk pertanggungjawaban
pidana oleh korporasi, namun hanya dimungkinkan pertanggungjawaban oleh
pengurus korporasi. Hal ini bisa kita
lihat dalam pasal 398 KUHP yang menyatakan bahwa jika seorang pengurus atau
komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan
korporasi yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau yang diperintahkan
penyelesaian oleh pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu
tahun 4 bulan: 1. jika yang bersangkutan turut membantu atau mengizinkan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan anggaran dasar, sehingga oleh karena itu seluruh atau
sebagian besar dari kerugian diderita oleh perseroan, maskapai, atau
perkumpulan…(dan seterusnya).
Di Belanda sendiri, sebagai tempat asal KUHP
Indonesia, pada tanggal 23 Juni 1976, korporasi diresmikan sebagai subjek hukum
pidana dan ketentuan ini dimasukkan kedalam pasal 51 KUHP Belanda (Sr.).
Tindak pidana dapat dilakukan baik oleh perorangan
maupun korporasi; Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, penuntutan
pidana dapat dijalankan dan sanksi pidana maupun tindakan yang disediakan dalam
perundang-undangan sepanjang berkenaan dengan korporasi dapat dijatuhkan. Dalam hal ini, pengenaan sanksi dapat
dilakukan terhadap :
1.
Korporasi sendiri, atau
2.
Mereka yang secara faktual memberikan
perintah untuk melakukan tindak pidana yang dimaksud, termasuk mereka yang
secara faktual memimpin pelaksanaan tindak pidana dimaksud, atau
3.
Korporasi atau mereka yang dimaksud di
atas bersama-sama secara tanggung renteng.
Berkenaan dengan penerapan butir-butir sebelumnya,
yang disamakan dengan korporasi: persekutuan bukan badan hukum, maatschap
(persekutuan perdatan), rederij (persekutuan perkapalan) dan doelvermogen
(harta kekayaan yang dipisahkan demi pencapaian tujuan tertentu; social fund
atau yayasan)[7].
Meskipun KUHP Indonesia saat ini tidak
mengikutsertakan korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dibebankan
pertanggungjawaban pidana, namun korporasi mulai diposisikan sebagai subyek
hukum pidana dengan ditetapkannya UU No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
Kemudian kejahatan korporasi juga diatur dan tersebar
dalam berbagai undang-undang khusus lainnya dengan rumusan yang berbeda-beda
mengenai “korporasi”, antara lain termasuk pengertian badan usaha, perseroan,
perusahaan, perkumpulan, yayasan, perserikatan, organisasi, dan lain-lain,
seperti :
-
UU No.11/PNPS/1964 tentang Pemberantasan
Kegiatan Subversi
-
UU No.38/2004 tentang Jalan
- UU
No.31/1999 jo. UU No.21 tahunn 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan lain-lain.
Dalam
literatur Indonesia juga ditemukan pandangan yang turut untuk mewacanakan
menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana. Seperti misalnya Prof. Dr.
Wirjono Prodjodikoro, SH, dalam bukunya “Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia”,
menyatakan :
Dengan adanya
perkumpulan-perkumpulan dari orang-orang, yang sebagai badan hukum turut serta
dalam pergaulan hidup kemasyarakatan, timbul gejala-gejala dari perkumpulan
itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, terang masuk perumusan pelbagai tindak
pidana. Dalam hal ini, sebagai
perwakilan, yang kena hukuman pidana adalah oknum lagi, yaitu orang-orang yang
berfungsi sebagai pengurus dari badan hukum, seperti misalnya seorang direktur
dari suatu perseroan terbatas, yang dipertanggungjawabkan. Sedangkan mungkin sekali seorang direktur itu
hanya melakukan saja putusan dari dewan direksi. Maka timbul dan kemudian merata gagasan,
bahwa juga suatu perkumpulan sebagai badan tersendiri dapat dikenakan hukuman pidana sebagai subyek
suatu tindak pidana[8].
Di
Indonesia, salah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan korporasi adalah
Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup.
Hal ini dapat dilihat dari isi pasal 46 yang mengadopsi doktrin vicarious liability.
Meskipun
tidak digariskan secara jelas seperti dalam KUHP Belanda, berdasarkan sistem
hukum pidana di Indonesia pada saat ini terdapat 3 bentuk pertanggungjawaban
pidana dalam kejahatan korporasi berdasarkan regulasi yang sudah ada, yaitu
dibebankan pada korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam Pasal 65 ayat 1 dan
2 UU No.38/2004 tentang Jalan. Kemudian dapat pula dibebankan kepada organ atau
pengurus korporasi yang melakukan perbuatan atau mereka yang bertindak sebagai
pemimpin dalam melakukan tindak pindana, seperti yang diatur dalam pasal 20
ayat 2 UU No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan UU No.31/2004 tentang
Perikanan. Kemudian kemungkinan
berikutnya adala dapat dibebankan baik kepada pengurus korporasi sebagai
pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada koorporasi, contohnya
seperti dalam pasal 20 ayat 1 UU No.31/1999.
Bentuk
– Bentuk Korporasi[9]
Berbicara masalah bentuk-bentuk korporasi, maka tidak
terlepas dari persoalan dunia bisnis. Bentuk-bentuk korporasi bisa meliputi bidang industri,
bidang perdagangan, bidang jasa dan bidang lainnya. Dalam melaksanakan bisnis
ini maka bisa dilakukan oleh perseorangan dan juga dilakukan dalam suatu
organisasi atau perkumpulan untuk bisnis-bisnis yang besar, yang dinamakan
korporasi, baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum.
1. Badan
Hukum
Konsep badan hukum adalah konsep yang muncul dalam
bidang hukum perdata, sebagai kebutuhan untuk menjalankan kegiatan yang
diharapkan lebih baik dan lebih berhasil. Badan
hukum itu sendiri sebenarnya tiada lain sekedar
suatu ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan, dimana
terhadap badan ini diberi status sebagai subjek hukum, di samping subjek hukum
yang berwujud manusia alamia. Ada
beberapa teori yang sering digunakan dalam rangka mengetahui hakikat badan
hukum, yaitu antara lain :
a.
Teori Fictie dari Von Savingny. Menurut teori ini badan hukum itu
semata-mata buatan negara saja. Badan hukum itu hanyalah fisksi, yakni sesuatu
yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan
sebagai subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti manusia.
b.
Teori Harta Kekayaan Bertujuan (Doel
Vermogens Theorie). Menurut
teori ini hanya manusia saja yang dapat
menjadi subjek hukum, namun ada kekayaan (vermogen) yang bukan merupakan
kekayaan seseorang, tetapi kekayaan itu terkait dengan tujuan tertentu,
kekayaan inilkah yang disebut badan hukum.
c.
Teori Organ dari Otto Van Gierke. Badan hukum menurut teori ini bukan
sesuatu yang abstrak (fiksi) dan bukan kekayaan (hak) yang tidak bersubjek,
tetapi badan hukum merupakan suatu organisme yang riil, yang menjelma
sungguh-sungguh dalam pergaulan hukum, yang dapat membentuk kemauan sendiri
dengan perantaraan alat-alat yang ada padanya (pengurus dan
anggota-anggotanya), seperti manusia biasa yang mempunyai panca indra.
d.
Teori Propriete Collective. Teori ini diajarkan oleh Planiol dan
Molengraaff, menurut teori ini, hak dan kewaiban badan hukum pada hakikatnya
adalah hak dan kewajiban para anggota bersama-sama. Kekayaan badan hukum adalah
kepunyaan bersama semua anggotanya. Orang-orang yang terhimpun tersebut
merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan
hukum. Oleh karena itu badan hukum adalah konstruksi yuridis saja.
e.
Teori Kenyataan Yuridis. Badan hukum merupakan suatu realiteit,
konkrit, riil, walaupun tidak bisa diraba, bukan hayal, tetapi kenyataan
yuridis. Teori yang dikemukan oleh Meyers ini menekankan bahwa hendaknya dalam
mempersamakan badan hukum dengan manusia terbatas sampai pada bidang hukum
saja.
Sedangkan
menurut Pasal 1635 BW, badan hukum dapat dibagi atas tiga (3), yaitu: Badan hukum yang diadakan
pemerintah/kekuasaan umum, misalnya Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat
II/Kotamadya, bank-bank yang didirikan oleh negara dan sebagainya; Badan hukum yang diakui oleh
pemerintah/kekuasaan umum, misalnya perkumpulan, organisasi keagamaan dan
sebagainya; dan Badan
hukum yang didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan
undang-undang dan kesusilaan, seperti Perseroan Terbatas, perkumpulan asuransi
dan sebagainya. Bentuk badan hukum yang terdapat dalam rumusan Pasal 1635 BW ini sangat luas dan mencakup berbagai
bentuk perkumpulan.
2. Bukan
Badan Hukum
Badan usaha yang bukan berbentuk badan hukum dapat
dikategorikan menjadi tiga (3) macam, yaitu persekutuan perdata,
persekutuan/perusahaan Firma (Fa) dan persekutuan/perusahaan komanditer (CV).
Perbedaan antara badan usaha yang berbentuk badan hukum dan bukan badan hukum,
terlihat dari perbedaan prosedur pendirian badan usaha hukum, maka syarat
adanya pengesahan akta pendirian dari pemerintah tidak diperlukan.
Menurut Abdulkadir Muhammad, badan usaha yang
berbentuk bukan badan hukum dapat dikategorikan:
- Perusahaan
perseorangan, merupakan perusahaan swasta yang didirikan dan dimiliki oleh
pengusaha perseorangan, misalnya perusahaan industri, perusahaan dagang dan
perusahaan jasa.
- Perusahaan
persekutuan, merupakan perusahaan swasta yang didirikan dan dimiliki oleh
beberapa orang pengusaha secara bekerjasama. Perusahaan ini dapat menjalankan
usaha dalam semua bidang perekonomian, yakni bidang industri, dagang dan jasa
yang dapat berbentuk perusahaan Firma (Fa) dan persekutuan komanditer (CV).
Kejahatan
korporasi menurut Prof. Mardjono Reksodiputro adalah sebagian dari “White Collar Crime” (WWC, kejahatan
kerah putih), yang menurut Sutherland merupakan “ .. is a violation of criminal law by the person of the upper
socioeconomics class in the courses of his occupational avtities”.
(Kejahatan Kerah putih adalah suatu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang
yang mempunyai tingkat sosial ekonomi kelas atas yang berhubungan dengan
jabatan).
Dari
rumusan ini terlihat bahwa pada awalnya konsepsi WCC dibatasi pada perbuatan
tindak pidana (yang ada dalam hukum pidana), namun selanjutnya oleh para ahli
kriminologi, konsepsi WCC diperluas keluar dari batasan hukum pidana.
Berdasarkan perdebatan tulisan Sutherland; Its
White collar crime ? (1945) dan crime
of corporation (1984), maka semakin jelas pengertian “person” dalam WCC yang terdahulu
yang dikaitakan dengan mereka yang menjalankan perusahaan
(corporatio). Jadi fokus WCC adalah
kejahatan korporasi. Pada akhirnya perdebatan ini menyimpulkan bahwa pada
rumusan Sutherland di atas masih harus ditambahkan satu unsur lagi, yaitu “violation of trust”.
I.S.
Susanto menerangkan hal ini dengan mengutip tulisan Stevens Bpx, sebagaimana
yang dikemukan oleh Hamzah Hetrik, yang menjelaskan ruang lingkup kejahatan
korporasi adalah sebagai berikut :
1. Crimes for Corporation,
merupakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam usahanya
mencapai tujuan korporasi untuk memperoleh keuntungan.
2. Criminal corporation,
adalah korporasi yang bertujuan semata-mata untuk melakukan kejahatan.
3. Crime against corporations,
yaitu kejahatan-kejahatan terhadap korporasi, seperti pencurian atau
penggelapan milik korporasi, yang dalam hal ini korbannya adalah korporasi.
Karakteristik Kejahatan Korporasi
Salah satu hal yang
membedakan antara kejahatan korporasi dengan kejahatan konvensional atau
tradisional pada umumnya terletak pada karakteristik yang melekat pada
kejahatan korporasi itu sendiri, antara lain:
1.
Kejahatan
tersebut sulit terlihat ( Low visibility ), karena biasanya tertutup oleh
kegiatan pekerjaan yang rutin dan normal, melibatkan keahlian professional dan
sistem organisasi yang kompleks.
2.
Kejahatan
tersebut sangat kompleks ( complexity ) karena selalu berkaitan dengan
kebohongan, penipuan, dan pencurian serta sering kali berkaitan dengan sebuah
ilmiah, tekhnologi, finansial, legal, terorganisasikan, dan melibatkan banyak
orang serta berjalan bertahun – tahun.
3.
Terjadinya
penyebaran tanggung jawab ( diffusion of responsibility ) yang semakin luas
akibat kompleksitas organisasi.
4.
Penyebaran
korban yang sangat luas (diffusion of victimization ) seperti polusi dan penipuan.
5.
Hambatan
dalam pendeteksian dan penuntutan ( detection and prosecution ) sebagai akibat
profesionalisme yang tidak seimbang antara aparat penegak hukum dengan pelaku
kejahatan.
6.
Peraturan
yang tidak jelas (ambiguitas law ) yang sering menimbulkan kerugian dalam
penegakan hukum.
7.
Sikap
mendua status pelaku tindak pidana. Harus diakui bahwa pelaku tindak pidana
pada umumnya tidak melanggar peraturan perundang – undangan tetapi memang
perbuatan tersebut illegal.
Faktor-faktor Pendorong Kejahatan Korporasi
1.
Persaingan, Dalam menghadapi persaingan bisnis,
korporasi dituntut untuk melakukan inovasi seperti penemuan teknologi baru,
teknik pemasaran, usaha-usaha menguasai atau memperluas pasar. Keadaan ini
dapat menghasilkan kejahatan korporasi seperti memata-matai saingannya, meniru,
memalsukan, mencuri, menyuap, dan mengadakan persekongkolan mengenai harga atau
daerah pemasaran.
2.
Pemerintah, Untuk mengamankan kebijaksanaan
ekonominya, pemerintah antara lain melakukannya dengan memperluas peraturan
yang mengatur kegiatan bisnis, baik melalui peraturan baru, maupun penegakkan
yang lebih keras terhadap peraturan-peraturan yang ada. Dalam menghadapi
keadaan yang demikian, korporasi dapat melakukannya dengan cara melanggar
peraturan yang ada, seperti pelanggaran terhadap peraturan perpajakan,
memberikan dana-dana kampanye yang ilegal kepada para politisi dengan imbalan
janji-janji untuk mencaut peraturan yang ada, atau memberikan proyek-proyek
tertentu, mengekspor perbuatan ilegal ke negara lain.
3.
Karyawan, Tuntutan perbaikan dalam penggajian,
peningkatan kesejahteraan dan perbaikan dalam kondisi-kondisi kerja. Dalam
hubungan dengan karyawan, tindakan-tindakan korporasi yang berupa kejahatan,
misalnya pemberian upah di bawah minimal, memaksa kerja lembur atau menyediakan
tempat kerja yang tidak memenuhi peraturan mengenai keselamatan dan kesehatan
kerja.
4.
Konsumen, Ini terjadi karena adanya permintaan
konsumen terhadap produk-produk industri yang bersifat elastis dan
berubah-ubah, atau karena meningkatnya aktivitas dari gerakan perlindungan
konsumen. Adapun tindakan korporasi terhadap konsumen yang dapat menjurus pada
kejahatan korporasi atau yang melanggar hukum, misalnya iklan yang menyesatkan,
pemberian label yang dipalsukan, menjual barang-barang yang sudah kadaluwarsa, produk-produk
yang membahayakan tanpa pengujian terlebih dahulu atau memanipulasi hasil
pengujian.
5.
Publik, Hal ini semakin meningkat dengan
tumbuhnya kesadaran akan perlindungan terhadap lingkungan, seperti konservasi
terhadap air bersih, udara bersih, serta penjagaan terhadap sumber-sumber alam.
Dalam mengahadapi lingkungan publik, tindakan-tindkaan korporasi yang merugikan
publik dapat berupa pencemaran udara, air dan tanah, menguras sumber-sumber
alam.
KASUS PT GALUH CEMPAKA SEBAGAI KEJAHATAN KORPORASI
Kejahatan korporasi
adalah kejahatan yang dilakukan oleh para karyawan atau pekerja terhadap
korporasi, korporasi yang sengaja dibentuk dan dikendalikan untuk melakukan
kejahatan. Pada awalnya korporasi atau badan hukum adalah subjek yang hanya
dikenal didalam hukum perdata. Apa yang dinamakan badan hukum itu sebenarnya
adalah ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan yang
berdiri status sebagai subjek hukum, disamping subjek hukum yang berwujud
manusia alamiah.
Sally A Simpson yang
mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalah
“conduct of a corporation, or employess acting on behalf of a corporation,
which is proscribed and punishable by law” (melakukan suatu koorporasi, atau
karyawan yang bertindak atas nama sebuah perusahaan yang dilarang dan dikenai
sanksi hukum). Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi
Braitwaite mengenai kejahatan korporasi:
1.
Pertamaa,
tindakan illegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku
kriminal kelas sosioekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenannya,
yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum
pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi.
2.
Kedua.
Baik korporasi (sebagai “subjek hukum perorangan “legal person”) dan
perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana
dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang
dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan.
3.
Ketiga,
motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan
pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan
organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh
norma operasional (internal) dan sub kultur organisasional.
Kejahatan yang
terjadi pada kasus sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah suatu kejahatan
yang tidak berhenti ketika pelaku berhasil dijebloskan kedalam penjara atau
memberikan ganti kerugian. Kejahatan ini akan menimbulkan dampak yang
akumulatif dan cenderung melahirkan suatu bentuk kejahatan baru. Destructive
logging / perusahaan hutan adalah contoh konkret yang selanjutnya dapat
melahirkan rentetan bencana berupa banjir, longsor, kekeringan, gagal panen,
gagal tanam dan kebakaran hutan. Bahkan dampak dari destructive logging dapat
menimbulkan hilangnya nyawa dan harta benda bagi mereka yang tertimpa bencana
ikutan tersebut.
KASUS :
PT Galuh Cempaka
bergerak dalam bidang pertambangan intan, PT tersebut membuang limbah industri
ke aliran sungai yang dapat membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan
masyarakat sekitar. Menurut data yang didapatkan dari siaran pers WALHI
Kalimantan selatan, pencemarn yang dilakukan oleh PT. Galuh Cempaka tersebut
mengakibatkan tingkat keasaaman air sungai mencapai ph 2,97. Hal ini sangat
bertentangan dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah
Kalimantan Selatan, yaitu tingkat ph normal air sungai sebesar 6 hingga 9 ph.
Selain itu efek dari penambangan tersebut mengancam ketahanan pangan dikota
Banjarbaru. Lumbung padi kota banjarbaru terancam dengan aktivitas penambangan
PT Galuh Cempaka. Dampak lingkungan ini juga menuruni fungsi sungai sebagai
pengatur tata air, minimal pada tiga sungai di kelurahan palam. Penyebabnya tak
lain pengelolaan tambang yang carut marut dimana perencanaan pertambangan tidak
mengakomodir kepentingan masyarakat sekitar dan terkesan arogan.
Setelah ditelusuri
ternyata dokumen AMDAL yang dibuat PT Galuh Cempaka cacat hukum dan pada
implementasinya juga tidak dijalankan. Dengan kata lain dokumen amdal hanya
sebagai persyaratan administrasi belaka. Dampak langsung yang terjadi adalah
penurunan kualitas air yang menyebabkan rusaknya fungsi biologis. Hal ini
terlihat dari ikan-ikan yang mati, tidak mengalirnya air secara normal bahkan
dua sungai tidak berfungsi. Belum lagi genangan air banjir yang mengakibatkan
terendamnya ribuan hektare sawah masyarakat yang berakibat pada keterlambatan
panen untuk musim tanam. Jika hal ini terus dibiarkan dapat mengakibatkan penurunan
kualitas air yang akan mengancam kepunahan biota air. Sungai yang tidak
berfungsi sebagai pengatur tata air akan mengakibatkan krisis yang lebih jauh
dan berdampak besar berupa krisis ketahanan pangan yang dapat mengakibatkan
krisis ekonomi. Masalah ini dianggap sebagai kejahatan korporasi lingkungan
karena sudah jelas melanggar UU yang telah ditatapkan, yaitu UU No 23 Tahun
1997, Tentang pengelolaan Lingkungan Hidup, Bab VI Pasal 20 ayat 1 “Tanpa suatu
keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke media
lingkungan hidup.
Kejahatan lingkungan
adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang atau kelompok atau Badan hukum yang
bersifat merusak dan mencemari lingkungan. Dalam kacamata krimonologi,
kejahatan lingkungan memiliki perbedaan dengan kejahatan konvensional. Ciri
utama dari kejahatan ini adalah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan (korporasi)
dalam menjalankan usahanya.
Permasalahan
lingkungan yang disebabkan oleh perusahaan PT Galuh Cempaka seakan menjadi
benalu yang menguras sumber kekayaan alam, dan sekaigus memberikan dampak
kerusakan bagi lingkungan yang akhirnya akan memberikan kerugian yang sangat
besar bagi kehidupan masyarakat di Indonesia.
Solusinya
Menurut saya kenapa
kasus tersebut bisa terjadi karena kurangnya kontrol dari pemerintah terhadap
perusahaan-perusahaan yang mengadakan eksploitasi di bumi nusantara ini. Selain
itu, pelaksanaan kententuan hukum yang berlaku terhadap pelaku kejahatan
lingkungan terasa masih setengah-setengah. Pelaku kejahatan lingkungan tidak mendapatkan
stigma masyarakat yang berat dan melekat. Karena apa yang dilakukan oeh pelaku
kejahatan tidak memberikan dampak secara langsung melainkan secara lamban namun
sangat fatal. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sosialisasi kepada masyarakat
tentang kejahatan lingkungan itu sendiri. Meskipun sudah jelas dicantumkan
dalam UU tentang pelanggaran yang berkaitan dengan lingkungan, tetapi masih
banyak dari masyarakat yang tidak mengetahui tolak ukur untuk menentukan apakah
suatu kejahatan masuk ke dalam kategori kejahatan lingkungan atau tidak.
Masyarakat baru akan sadar ketika telah jatuh korban dan muncunya berbagai
masalah yang diakibatkan oleh pencemaran lingkungan tersebut, seperti masalah
penyakit kulit yang terjadi pada kasus PT Galuh Cempaka.
Seharusnya untuk
menangani permasalahan ini peran pemerintah sangat dibutuhkan karena dalam
karakteristik kejahatan korporasi, pembuktian apakah suatu perusahaan melakukan
kejahatan atau tidak, hanya bisa dilakukan oleh pemerintah atau Badan Hukum
yang bersangkutan. Selain itu sosialisasi tentang kejahatan korporasi akan
lebih baik apabila ada inisiatif dari pemerintah untuk mengadakan peningkatan
pengenalan mengenai kejahatan-kejahatan seperti apa saja yang bisa dikatakan
sebagai kejahatan korporasi.
Kejahatan korporasi
yang dimaksud adalah kejahatan korporasi dibidang lingkungan hidup, yaitu
tindakan pencemaran dan perusakan lingkungan dilakukan oleh sebuah korporasi
bernama Galuh cempaka. Dampak yang diakibatkan adanya perbuatan oleh korporasi
tersebut merugikan tidak hanya secara material, namun juga telah merugikan
lingkungan hidup masyarakat. Hal seperti ini dapat dikatakan sebagai sebuah
perbuatan tindak kejahatan. Dalam kasus ini ditemukan beberapa pelanggaran
hukum yang bisa dijerat dengan pasal-pasal dalam undang-undang antara lain
hukum lingkungan hidup (UULH), hukum pidana (KUHP) dan hukum perdata (KUHPer).
Terkait dengan PT
Galuh Cempaka, menurut organisasi non pemerintah yang fokus pada persoalan
lingkungan ini, perusahaan tersebut telah melakukan kejahatan korporasi yaitu
sengaja melakukan pembuangan limbah atau zat ke aliran sungai yang dapat
membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan orang byk. Perbaikan sistem
pengolahan air limbah (sispal) yang dilakukan PT Galuh Cempaka adalah suatu
keharusan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan.
Sanksi dapat
dijatuhkan kepada perorangan yaitu setiap orang yang memberi perintah maupun
yang melaksanakan perintah, dalam kejadian ini, korporasi dapat juga dijadikan
tersangka sesuai dalam pasal 45 dan pasal 46 UU No.23/1997 tentang pengelolaan
lingkungan hidup, dan didalam RUU KUHP paragraph 7 tentang korporasi yang
dimulai dari pasal 44-49.
Melihat polanya maka
dalam pandangan diatas, kejahatan ini bukanlah suatu peristiwa yang berdiri
sendiri. Kesalahan dalam pengurusan yang telah berlangsung lama menjadi salah
satu faktor utama pendorong terjadinya kejahatan tersebut termasuk regulasi
yang mengaturnya. Belum lagi lemahnya penegakan hukum yang berimplikasi pada
semakin tingginya tingkat kejahatan tersebut. Parahnya oknum aparat penegak
hukum juga menjadi bagian dari praktek atau modus bagaimana kejahatan ini
berlangsung dan dilakukan terus menerus.
Di Indonesia adalah
satu peraturan yang mempidanakan kejahatan korporasi adalah undang-undang nomor
23 thun 1997 tentang lingkungan hidup. Hal ini dapat dilihat dari isi pasal 46
yang mengadopsi doktrin vicarious liability. Meskipun tidak digariskan secara
jelas seperti dalam KUHP Belanda, berdasarkan sistem hukum pidana di Indonesia
pada saat ini terdapat tiga bentuk pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan
korporasi berdasarkan regulasi yang sudah ada, yaitu : dibebankan pada
korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam Psaal 65 ayat 1 dan 2 UU No.38/2004
tentang jalan. Dapat pula dibebankan kepada organ atau pengurus korporasi yang
melakukan perbuatan atau mereka yang bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan
tindak pidana, seperti yang diatur dalam Pasal 20 UU No,31/1999 tentang tindak
pidana korupsi dan UU No.31/2004 tentang perikanan kemudian kemungkinan
berikutnya adalah dapat dibebankan baik kepada pengurus korporasi sebagai
pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada korporasi, contohnya
seperti dalam pasal 20 ayat 1 UU No.31/1999 tentang tindak pidana korupsi.
Penting untuk
melakukan upaya rehabilitasi dari kerusakan lingkungan yang terjadi. Sehingga
kasus ini juga bisa dijadikan pembelajaran bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara untuk melindungi warga Negara dan kepentingan ekonomi, sosial dan
lingkungan hidupnya. Eksploitasi dan eksplorasi telah menyebabkan terjadinya
kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan, dalam UUPLH No.23 tahun 1997
hal ini telah melanggar Pasal 41 hingga pasal 45 undang-undang tersebut. Dalam
ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD 1945, bahwasannya bumi. Air, dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat dan digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
Masalah ini tidak
akan pernah selesai tanpa ada inisiatif dari kita semua untuk menanggulanginya.
Sebagai individu ataupun masyarakat, kita juga memiliki kewajiban untuk menjaga
lingkungan kita. Lebih baik kita siaga sejak dini daripada baru akan
menyadarinya saat berbagai masalah yang baru muncul akibat pencemaran
lingkungan. Sebagai penegak hukum, seharusnya masalah seperti ini harus
ditangani secara serius, karena permasalahan yang berkaitan dengan kejahatan
korporasi tersangka sangat sulit ditangkap ataupun dikenali. Sesuai dengan
fungsinya baik secara mikro maupun makro, sebuah bisnis yang baik harus
memiliki etika dan tanggung jawab social. Nantinya, jika sebuah perusahaan
memiliki etika dan tanggung jawab social yang baik, bukan hanya lingkungan
makro dan mikronya saja yang akan menikmati keuntungan, tetapi juga perusahaan
itu sendiri. Oleh karena itu, sebuah perusahaan harus mementingkan yang namanya
etika bisnis. Agar ketika dia menjalani bisnisnya, tidak merugikan pihak
manapun, dan sebuah perusahaan harus mempunyai tempat pembuangan limbah
sendiri. Para pelaku bisnis harus mempertimbangkan standar etika demi kebaikan
dan keberlangsungan usaha dalam jangka panjang. Untuk penanganan masalah
lingkungan tersebut sebaiknya Bapedal segera turun tangan, jangan sampai
berlarut-larut yang bisa berdampak pada sosial masyarakat. Pembangunan
disamping dapat membawa kepada kehidupan yang lebih baik juga mengandung resiko
karena dapat menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Untuk
meminimalkan terjadinya pencemaran dan kerusakan tersebut perlu diupayakan
adanya keseimbangan antara pembagunan dengan kelestarian lingkungan hidup,
peningkatan kegiatan ekonomi melalui sektor industrialisasi tidak boleh merusak
sektor lain.
Daftar Pustaka
Ginting, Perdana. 2007. Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri. Bandung: CV,
Yrama Widya.
Hardjaaoemantri,Koesnadi. 2005 Hukum Tata Lingkungan ( edisi kedelapan belas, cetakan kesembilan belas ), Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press .
Hartiwiningsih. 2008. Hukum Lingkungan dalam Perspektif kebijakan Hukum Pidana. Surakarta
: UNS Press.
Hasyim, Dardiri. 2004. Hukum Lingkungan. Surakarta : Sebelas Maret University Press.
Henry Campbell Black. 1990. Black’s Law
Dictionary. ed.6. West Publishing Co., St. Paul, Minnessota.
Jan Remmelink. 2003. HUKUM PIDANA, Komentar atas
Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan
Padanannya dalam Kita Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Joko Widodo. 2008. Analisis Kebijakan Publik.
Jakarta. Bayumedia.
Khanna, V.S. 1996. Corporate
Criminal Liability: What Purpose Does It Serve?. 109 Harv. L.Rev. 1477. The
Harvard Law Review Association.
Miftah Thoha. 1992. Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara.(Jakarta: PT.
Grafindo Persada.
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia,
Ed.2, Cet.6, Bandung : Eresco, 1989.
Riyanto. 1999. Indonesia. Penegakan Hukum Lingkungan dalam perspektif Etika Bisnis Jakarta :
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Riant Nugroho. 2009. Public Policy. Jakarta :
Elex Media Komputindo.
Sally S. Simpson. 1993. Strategy, Structure and Corporate Crime, 4 Advances in Criminological
Theory.
Soerjono Soekanto. 2005. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 2007. Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
PT. RajaGrafindo Persada.
Jakarta.
[1] Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 8-9
[2]
Henry
Campbell Black, Black’s Law Dictionary,
ed.6. West Publishing Co., St. Paul, Minnessota, 1990, hlm. 339
[3]
Sally
S. Simpson,Strategy,
Structure and Corporate Crime, 4 Advances in Criminological Theory, 1993, hlm. 171
[4]
Ibid
[5]
Soesanto,
L.C, Universitas Diponegoro, The Spectrum
of Corporate Crime in Indonesia,diakses dari http://www.aic.gov.au/publications/proceedings/12/soesanto.pdf, pada
tangga 5 April 2016 pukul 21.03 WIB
[6] Jan Remmelink. HUKUM PIDANA,
Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Belanda dan Padanannya dalam Kita Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 98
[7]
Ibid,hlm. 102
[8] Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia,
Ed.2, Cet.6, Bandung : Eresco, 1989,hlm. 55
[9]
Bob Sadiwijaya, Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korporasi,
Jurnal Darma Agung, hlm. 10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar