WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Selasa, 09 Februari 2021

 

Pihak Yang Berwenang Melakukan Penyidikan Di Dalam Tindak Pidana Korupsi

Oleh : Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H.



         Pada dasarnya, dalam suatu perkara pidana, yang berwenang melakukan penyidikan adalah penyidik sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) :

“Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”

Adapun arti penyidikan berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP adalah:

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Dari definisi penyidik dalam KUHAP di atas dapat kita ketahui bahwa penyidik itu bisa merupakan pejabat Kepolisian, bisa juga pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS) tertentu yang memang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

1.      Penyidik Kepolisian

Kewenangan kepolisian (Kepolisian Republik Indonesia/Polri) untuk melakukan penyidikan. Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri), kepolisian bertugas menyelidik dan menyidik semua tindak pidana sesuai hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Ini artinya, Polri berwenang untuk bertindak sebagai penyidik dalam tindak pidana atau kejahatan korupsi.

 

2.      Penyidik Kejaksaan

Menurut  Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, bahwa Jaksa adalah :

“Pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.”

Jadi dapat dikatakan bahwa kejaksaan adalah sebuah lembaga dimana supremasi hukum ditegakkan, mengingat lembaga ini adalah pelaksana dari putusan pengadilan. Lembaga inilah yang memberikan perlindungan terhadap kepentingan umum dan dapat dikatakan bahwa kejaksaan adalah tempat dimana hak asasi manusia diperjuangkan dan ditegakkan.

Tugas dan Wewenang Kejaksaan

Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 30 menjelaskan bahwa :

Di bidang Pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang antara lain :

a.       Melakukan penuntutan;

b.      Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c.       Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d.      Melakukan penyidikan terhaddap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

e.       Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah  Kejaksaan berwenang untuk mengadakan penyelidikan dan penyidikan. Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) butir a KUHAP, penyelidik memiliki wewenang yakni :

a.      Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.

b.      Mencari keterangan dan barang bukti.

c.      Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.

d.      Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Kewenangan Jaksa dalam Penyidikan Tindak Pidana Tertentu

Jaksa mempunyai wewenang dalam menyidik tindak pidana. Karena tugas-tugas penyidikan sepenuhnya dilimpahkan pada pejabat penyidik, maka jaksa tidak lagi berwenang dalam melakukan penyidikan terhadap perkara-perkara tindak pidana umum. Jaksa hanya berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana khusus, yang salah satunya adalah Tindak Pidana Korupsi.

Peran Jaksa Penyelidik dalam melakukan penyelidikan terhadap informasi adanya dugaan Tindak Pidana Korupsi. Jaksa penyelidik sebagai pencari informasi awal dalam menemukan adanya dugaan tindak pidana korupsi dituntut untuk dapat menjalankan fungsi intelijen dalam menemukan dugaan tindak pidana korupsi. Tugas yang diemban oleh Jaksa Penyelidik yakni mengumpulkan data serta bahan-bahan keterangan yang mendukung telah terjadinya tindak pidana korupsi.

 

3.      Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Tidak hanya penyidik Kepolisian dan Kejaksaan, tapi juga penyidik KPK yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.

KPK diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan dalam tindak pidana korupsi. Hal ini terdapat dalam Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang mengatakan bahwa KPK mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c UU KPK, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang (Pasal 11 UU KPK) :

a.       Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

b.      Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

c.       Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Ketentuan ini dipertegas dalam Pasal 45 ayat (1) UU KPK yang berbunyi :

“Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.”

Saat kasus korupsi tersebut sedang ditangani oleh penyidik kepolisian, KPK memiliki kewenangan mengambil alih perkara korupsi itu walaupun sedang ditangani oleh Kepolisian atau Kejaksaan (Pasal 8 ayat (2) UU KPK). Namun, pengambil alihan perkara korupsi tersebut harus dengan alasan-alasan yang diatur dalam Pasal 9 UU KPK, yaitu:

a.       Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;

b.      Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;

c.       Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;

d.      Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;

e.       Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau

f.        Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

 

4.      Penyidik Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Lembaga lain yang ditunjuk khusus oleh Undang-Undang untuk menjadi penyidik dalam kasus kejahatan korupsi khususnya dibidang perbankan adalah OJK. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

Penyidikan merupakan salah satu tugas pengawasan OJK seperti yang disebut dalam Pasal 9 huruf c UU OJK yang berbunyi:

“Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.”

Wewenang OJK dalam melakukan penyidikan ini juga dipertegas dalam Pasal 49 ayat (1) UU OJK:

“Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.”

Adapun wewenang penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang dimaksud pada kejahatan perbankan antara lain adalah (Pasal 49 ayat (3) UU OJK) :

a.       Menerima laporan, pemberitahuan, atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di sektor jasa keuangan;

b.      Melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan;

c.       Melakukan penelitian terhadap Setiap Orang yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan;

d.      memanggil, memeriksa, serta meminta keterangan dan barang bukti dari Setiap Orang yang disangka melakukan, atau sebagai saksi dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan;

e.       Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan;

f.        Melakukan penggeledahan di setiap tempat tertentu yang diduga terdapat setiap barang bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap barang yang dapat dijadikan bahan bukti dalam perkara tindak pidana di sektor jasa keuangan;

g.      Meminta data, dokumen, atau alat bukti lain, baik cetak maupun elektronik kepada penyelenggara jasa telekomunikasi;

h.      Dalam keadaan tertentu meminta kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan pencegahan terhadap orang yang diduga telah melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;

i.        Meminta bantuan aparat penegak hukum lain;

j.        Meminta keterangan dari bank tentang keadaan keuangan pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

k.      Memblokir rekening pada bank atau lembaga keuangan lain dari pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan;

l.        Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan;

m.    Menyatakan saat dimulai dan dihentikannya penyidikan.

 

5.      Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), lembaga yang juga memiliki keterkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi yang berhubungan dengan sektor perbankan dan memiliki wewenang untuk mempermudah para penyidik untuk melakukan penyidikan.

Lembaga yang memiliki wewenang dalam pemberantasan tindak pidana pada sektor perbankan, khususnya tindak pidana pencucian uang adalah PPATK. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU 8/2010), PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.

PPATK memang tidak diberikan wewenang secara khusus untuk menjadi penyidik. Akan tetapi, PPATK berwenang meminta informasi perkembangan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang dan meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan kepada penyidik. Hal ini disebut dalam Pasal 44 ayat (1) huruf j dan l UU 8/2010.

PPATK memiliki keterkaitan dengan penyidik dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang sebagaimana disebut dalam Pasal 64 ayat (2) UU 8/2010:

“Dalam hal ditemukan adanya indikasi tindak pidana Pencucian Uang atau tindak pidana lain, PPATK menyerahkan Hasil Pemeriksaan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan.”

Begitu pula sebaliknya, penyidik melakukan koordinasi dengan PPATK dalam melakukan penyidikan (Pasal 64 ayat (3) UU 8/2010). Hal ini dipertegas dalam Pasal 72 ayat (1) UU 8/2010 yang mengatur bahwa untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU), maka penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang meminta keterangan secara tertulis mengenai harta kekayaan dari:

a.      Orang yang telah dilaporkan oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) kepada penyidik;

b.     Tersangka; atau

c.      Terdakwa.[]

 

Sumber :

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar