Pihak Yang Berwenang Melakukan Penyidikan Di
Dalam Tindak Pidana Korupsi
Oleh : Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H.
“Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia
atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk melakukan penyidikan.”
Adapun arti
penyidikan berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP adalah:
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Dari definisi penyidik dalam KUHAP di atas dapat kita
ketahui bahwa penyidik itu bisa merupakan pejabat Kepolisian, bisa
juga pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS) tertentu yang memang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
1. Penyidik Kepolisian
Kewenangan kepolisian (Kepolisian Republik Indonesia/Polri)
untuk melakukan penyidikan. Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri),
kepolisian bertugas menyelidik dan menyidik semua tindak pidana
sesuai hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Ini
artinya, Polri berwenang untuk bertindak sebagai penyidik dalam tindak pidana
atau kejahatan korupsi.
2. Penyidik Kejaksaan
Menurut
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, bahwa Jaksa adalah :
“Pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini
untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.”
Jadi dapat
dikatakan bahwa kejaksaan adalah sebuah lembaga dimana supremasi hukum
ditegakkan, mengingat lembaga ini adalah pelaksana dari putusan pengadilan.
Lembaga inilah yang memberikan perlindungan terhadap kepentingan umum dan dapat
dikatakan bahwa kejaksaan adalah tempat dimana hak asasi manusia diperjuangkan
dan ditegakkan.
Tugas dan Wewenang Kejaksaan
Menurut
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 30
menjelaskan bahwa :
Di bidang Pidana,
kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang antara lain :
a.
Melakukan penuntutan;
b.
Melaksanakan penetapan hakim dan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c.
Melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan
lepas bersyarat;
d.
Melakukan penyidikan terhaddap
tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e.
Melengkapi berkas perkara tertentu
dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke
pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Di bidang Perdata
dan Tata Usaha Negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di
dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau
pemerintah Kejaksaan berwenang untuk mengadakan penyelidikan dan
penyidikan. Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) butir a KUHAP, penyelidik memiliki
wewenang yakni :
a.
Menerima laporan atau pengaduan dari
seseorang tentang adanya tindak pidana.
b.
Mencari keterangan dan barang bukti.
c.
Menyuruh berhenti seseorang yang
dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.
d.
Mengadakan tindakan lain menurut
hukum yang bertanggung jawab.
Kewenangan Jaksa dalam Penyidikan
Tindak Pidana Tertentu
Jaksa mempunyai
wewenang dalam menyidik tindak pidana. Karena tugas-tugas penyidikan sepenuhnya
dilimpahkan pada pejabat penyidik, maka jaksa tidak lagi berwenang dalam
melakukan penyidikan terhadap perkara-perkara tindak pidana umum. Jaksa hanya
berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana khusus, yang salah
satunya adalah Tindak Pidana Korupsi.
Peran Jaksa Penyelidik dalam
melakukan penyelidikan terhadap informasi adanya dugaan Tindak Pidana Korupsi.
Jaksa penyelidik sebagai pencari informasi awal dalam menemukan adanya dugaan
tindak pidana korupsi dituntut untuk dapat menjalankan fungsi intelijen dalam
menemukan dugaan tindak pidana korupsi. Tugas yang diemban oleh Jaksa
Penyelidik yakni mengumpulkan data serta bahan-bahan keterangan yang mendukung
telah terjadinya tindak pidana korupsi.
3. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Tidak hanya penyidik Kepolisian dan Kejaksaan, tapi juga penyidik KPK yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.
KPK diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan dalam tindak pidana korupsi. Hal ini terdapat dalam Pasal
6 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi (UU KPK) yang mengatakan bahwa KPK mempunyai tugas melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 huruf c UU KPK, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang (Pasal 11 UU KPK) :
a. Melibatkan
aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya
dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara;
b. Mendapat
perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c. Menyangkut
kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Ketentuan ini
dipertegas dalam Pasal 45 ayat (1) UU KPK yang berbunyi :
“Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan
Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.”
Saat kasus korupsi tersebut sedang ditangani oleh
penyidik kepolisian, KPK memiliki kewenangan mengambil alih perkara korupsi itu
walaupun sedang ditangani oleh Kepolisian atau Kejaksaan (Pasal 8 ayat (2) UU
KPK). Namun, pengambil alihan perkara korupsi tersebut harus dengan
alasan-alasan yang diatur dalam Pasal 9 UU KPK, yaitu:
a. Laporan
masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
b. Proses
penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda
tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. Penanganan
tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi
yang sesungguhnya;
d. Penanganan
tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
e. Hambatan
penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif,
yudikatif, atau legislatif; atau
f.
Keadaan lain yang menurut pertimbangan
kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan
secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
4. Penyidik Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Lembaga lain yang ditunjuk khusus oleh Undang-Undang untuk menjadi
penyidik dalam kasus kejahatan korupsi khususnya
dibidang perbankan adalah OJK.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (UU OJK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga yang
independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Penyidikan merupakan salah satu tugas pengawasan OJK
seperti yang disebut dalam Pasal 9 huruf c UU OJK yang berbunyi:
“Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang melakukan pengawasan, pemeriksaan,
penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan,
pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.”
Wewenang OJK dalam melakukan penyidikan ini juga
dipertegas dalam Pasal 49 ayat (1) UU OJK:
“Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya yang meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan
OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.”
Adapun wewenang penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang
dimaksud pada kejahatan perbankan antara lain adalah (Pasal 49 ayat
(3) UU OJK) :
a. Menerima laporan, pemberitahuan, atau pengaduan dari seseorang
tentang adanya tindak pidana di sektor jasa keuangan;
b. Melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan;
c. Melakukan penelitian terhadap Setiap Orang yang diduga melakukan
atau terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan;
d. memanggil, memeriksa, serta meminta keterangan dan barang bukti
dari Setiap Orang yang disangka melakukan, atau sebagai saksi dalam tindak
pidana di sektor jasa keuangan;
e. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain
berkenaan dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan;
f.
Melakukan penggeledahan di setiap
tempat tertentu yang diduga terdapat setiap barang bukti pembukuan, pencatatan,
dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap barang yang dapat dijadikan
bahan bukti dalam perkara tindak pidana di sektor jasa keuangan;
g. Meminta data, dokumen, atau alat bukti lain, baik cetak maupun
elektronik kepada penyelenggara jasa telekomunikasi;
h. Dalam keadaan tertentu meminta kepada pejabat yang berwenang untuk
melakukan pencegahan terhadap orang yang diduga telah melakukan tindak pidana
di sektor jasa keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
i.
Meminta bantuan aparat penegak hukum
lain;
j.
Meminta keterangan dari bank tentang
keadaan keuangan pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
k. Memblokir rekening pada bank atau lembaga keuangan lain dari pihak
yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa
keuangan;
l.
Meminta bantuan ahli dalam rangka
pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan;
m. Menyatakan saat dimulai dan dihentikannya penyidikan.
5. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK)
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK),
lembaga yang juga memiliki keterkaitan dengan pemberantasan tindak pidana
korupsi yang berhubungan dengan sektor perbankan dan memiliki wewenang untuk mempermudah
para penyidik untuk melakukan penyidikan.
Lembaga yang memiliki wewenang dalam pemberantasan tindak
pidana pada sektor perbankan, khususnya tindak pidana pencucian uang adalah
PPATK. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU 8/2010), PPATK
adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas
tindak pidana pencucian uang.
PPATK memang tidak diberikan wewenang secara khusus untuk
menjadi penyidik. Akan tetapi, PPATK berwenang meminta informasi perkembangan
penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal dan
tindak pidana pencucian uang dan meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan
kepada penyidik. Hal ini disebut dalam Pasal 44 ayat (1) huruf j dan l UU
8/2010.
PPATK memiliki keterkaitan dengan penyidik dalam
pemberantasan tindak pidana pencucian uang sebagaimana disebut dalam Pasal 64
ayat (2) UU 8/2010:
“Dalam hal ditemukan adanya indikasi tindak pidana
Pencucian Uang atau tindak pidana lain, PPATK menyerahkan Hasil Pemeriksaan
kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan.”
Begitu pula sebaliknya, penyidik melakukan koordinasi
dengan PPATK dalam melakukan penyidikan (Pasal 64 ayat (3) UU 8/2010). Hal ini dipertegas
dalam Pasal 72 ayat (1) UU 8/2010 yang mengatur bahwa untuk kepentingan
pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU), maka penyidik,
penuntut umum atau hakim berwenang meminta keterangan secara tertulis mengenai
harta kekayaan dari:
a. Orang yang telah
dilaporkan oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) kepada
penyidik;
b. Tersangka; atau
c. Terdakwa.[]
Sumber :
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar