WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Rabu, 10 Februari 2021

 

Kejahatan Korporasi Bidang Perpajakan

Oleh

Dr. Muhammad Taufiq, S.H.,M.H.

 

I.              Tinjauan Mengenai Supremasi Hukum

Indonesia merupakan negara hukum, konsep negara hukum tercantum di dalam UUD 1945, yang menjelaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Oleh karena itu negara tidak boleh melaksanakan aktivitasnya atas dasar kekuasaan belaka, tetapi harus berdasarkan pada hukum. Selanjutnya dalam UUD 1945 tersebut menerangkan bahwa pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusional (hukum dasar) tidak bersifat (absolutisme (kekuasaan yang terbatas), karena kekuasaan eksekutif dan administrasi di Indonesia berada dalam satu tagan, yaitu ada pada presiden. Artinya bahwa administrasi dalam menjalankan tugasnya dibatasi oleh peraturan perundang-undangan.

Menurut Ismail Suny, Ciri Ciri  Negara Hukum yaitu,:

1.    Ciri negara hukum yang pertama yaitu Menjunjung tinggi hukum.

2.    Ciri negara hukum yang kedua ialah Adanya pembagian kekuasaan.

3.    Ciri negara hukum yang ketiga adalah Adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia serta remedi-remedi prosedural untuk mempertahankannya.

4.    Ciri negara hukum yang keempat yaitu Dimungkinkan adanya peradilan administrasi.

 

Seorang pakar bernama Soetandyo Wignjosoebroto memberikan pendapat tentang pengertian supremasi hukum. Menurut pandangannya supremasi hukum dapat diartikan sebagai upaya dalam penegakan hukum dan penempatan hukum sebagai posisi tertinggi dalam suatu negara yang dapat digunakan untuk melindungi semua lapisan masyarakat tanpa intervensi atau gangguan dari pihak manapun termasuk pihak penyelenggara negara. Ada juga pakar bernama Abdul Manan yang mengemukakan pendapatnya bahwa dilihat dari sisi terminologis supremasi hukum dapat diartikan sebagai upaya penegakan hukum dan penempatan hukum pada posisi tertinggi dari segalanya, serta menjadikan hukum sebagai panglima ataupun komandan dalam upaya untuk menjaga dan melindungi tingkat stabilitas dalam kehidupan suatu bangsa dan negara.[1]

Adapun berdasarkan beberapa penjalasan mengenai supremasi hukum diatas dapat kita tarik garis pandangan mengenai apa tujuan dari adanya supremasi hukum dalam suatu negara. Tujuan utama adanya supremasi hukum adalah menjadikan hukum sebagai pimpinan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, yang mana apabila tujuan tersebut tercapai dapat menghasilkan beberapa hal seperti meningkatkan integritas sumber daya manusia, memberikan keadilan sosial, menjaga nilai moral bangsa, menciptakan masyarakat yang demokratis, serta memberi jaminan perlindungan hak individu dalam bernegara dan bermasyarakat. Dari beberapa pengertian supremasi hukum diatas sudah dapat kita lihat bersama seberapa penting adanya supremasi hukum di suatu negara.

II.           Tinjauan Mengenai Kejahatan Perpajakan

Kejahatan di bidang perpajakan dapat berupa melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.Pada hakikatnya, ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dikategorikan sebagai kaidah hukum pajak yang menjadi koridor untuk berbuat atau tidak berbuat. Dengan demikian, melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan dibidang perpajakan tergolong sebagai kejahatan dibidang perpajakan ketika memenuhi kaidah rumusan hukum pajak.

Mengacu pada Mulyono (2007), pengertian Subjek Pajak adalah orang pribadi, warisan, atau badan termasuk bentuk usaha tetap (BUT) baik yang berada di dalam negeri maupun berada di luar negeri yang mempunyai atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. Subjek Pajak dapat dibedakan menjadi:

1.    Subjek Pajak dalam negeri, adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau yang bertempat kedudukan di dalam Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia atau luar Indonesia, baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap (BUT) di luar negeri dan juga warisan yang belum terbagi.

Subjek Pajak dalam negeri terdiri dari:

a.     Orang Pribadi, yang terbagi atas:

·      Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia dimulai pada saat ia lahir di Indonesia.

·      Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12  bulan atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

·      Kewajiban pajak subjektif orang pribadi berakhir pada  saat  ia  meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

b.    Badan

Adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha. Kewajiban pajak subjektif badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dimulai pada saat badan didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.

c.     Warisan Yang Belum Terbagi

Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti. Adapun pihak yang digantikan adalah mereka yang berhak, yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti bukannya tanpa alasan. Hal ini dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dilaksanakan.

Warisan menjadi subjek pajak dalam negeri apabila warisan yang ditinggalkan oleh subjek pajak dalam negeri tersebut belum terbagi dan menggantikan kewajiban pewaris sampai warisan tersebut dibagi.

2.    Subjek Pajak luar negeri

Adalah  orang  pribadi  atau  badan  yang  bertempat  tinggal  atau  bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap (BUT).

 

Sebagai Subjek Pajak, orang pribadi, badan, warisan belum terbagi dan BUT sudah mempunyai kewajiban dalam pemenuhan perpajakan. Kewajiban ini lebih dikenal sebagai kewajiban subjektif, atau kewajiban perpajakan terkait dengan Subjek Pajak tersebut. Kewajiban perpajakan tersebut antara lain menghitung dan memperhitungkan, memotong, memungut, membayar dan membayarkan serta melapor dan melaporkan pajak yang terhutang padanya atau yang terhutang pihak lain yang harus dipotong atau dipungut. Selain jenis-jenis subjek pajak diatas, maka yang tidak termasuk subjek pajak adalah badan perwakilan negara asing dan pejabat perwakilan diplomatik serta organisasi internasional lainnya.

Tindak Pidana Perpajakan adalah suatu perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan pajak yang menimbulkan kerugian keuangan negara dimana pelakunya diancam dengan hukuman pidana.[2] Undang-undang perpajakan membagi tindak pidana yang dilakukan oleh wajib pajak dalam 2 (dua) jenis yaitu pidana pelanggaran, dan pidana kejahatan.

1.    Pelanggaran, Pelanggaran dalam ajaran hukum pidana sering dipadankan dengan kejahatan yang ringan, dalam hal ini terlihat ada kesamaan dengan pelanggaran dibidang perpajakan. Ancaman pidana yang dikenakan yakni, pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebesar 2 (dua) kali pajak terhutang, bahkan dapat juga dikenakan sanksi administrasi saja apabila pelanggaran yang dilakukan hanya menyangkut tindakan administrasi saja (penjelasaan pasal 38 Undang-undang Nomor 6 tahun 1983). Penjelasan pasal 38 Undang-undang Perpajakan menyebutkan kualifikasi daripada kealpaan itu sendiri adalah tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, dan tidak memperdulikan kewajibannya sehingga perbuatannya mengakibatkan kerugian bagi Negara. Perihal tindak pidana pelangaran tersebut yang dimaksudkan dalam pasal 38 ayat (1) Undang-undang KUP Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah atas perubahan ketiga menjadi Undang-undang KUP Nomor 28 Tahun 2007 yakni;

Barang siapa karena kealpaannya :

a.       tidak menyampaikan surat pemberitahuan; atau

b.      menyampaikan surat pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya satu tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 2 (dua) kali pajak terhutang.[3]

2.    Kejahatan, Jika pelanggaran merupakan kejahatan yang ringan maka kejahatan dapat dipadankan sebagai pelanggaran yang berat dikarenakan ancaman pidananya jauh lebih berat dbandingkan dengan ancaman pelanggaran, yakni penjara selamalamanya 3 (tiga) tahun dan denda setinggi-tingginya 4 (empat) kali dari jumlah pajak terhutang. Dan bagi pelaku pengulangan kejahatan (residive) ancaman pidana dilipatkan dua, dengan ketentuan belum lewat setahun. Seperti yang tercantum dalam bunyi pasal 39 Undang-undang KUP Nomor 6 Tahun 1983 yang telah diubah atas perubahan ketiga menjadi Undang-undang KUP Nomor 28 Tahun 2007 menegaskan bahwa:

(1)Barang siapa dengan sengaja : [4]

a.    tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pajak Wajib Pajak sebagaimana dimaksuddalam pasal 2; atau

b.    tidak menyampaikan SPT; dan atau

c.    menyampaikan SPT atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;

d.    memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; dan

e.    tidak memperlihatkan atau meminjamkan pembukuan, pencatatan atau dokumen lainnya ; dan

f.     tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun dan denda setinggi-tingginya sebesar 4 (empat) kali dari pajak terhutang.

Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilipatkan dua apabila seseorang melakukannya lagi tindak pidana dibidang perpajakan sebelum lewat satu tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan.

 

Potensi pelanggaran dari kepatuhan sukarela (Voluntary Compliance) tersebut adalah :[5]

1.    Penghindaran Pajak (Tax avoidance) adalah Suatu skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan (pemanfaatkan celah hukum). Cirinya adalah berupaya meminimalkan beban pajak dengan cara:

-         tidak secara jelas melanggar ketentuan perpajakan;

-        Cenderung menafsirkan ketentuan pajak tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pembuat undang-undang.

2.    Penggelapan Pajak (Tax Evasion) adalah upaya penyelundupan pajak, Suatu skema memperkecil pajak yang terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan (illegal), misalnya :

-        tidak melaporkan sebagian penjualan

-        memperbesar biaya dengan cara fiktif

-        memungut pajak tetapi tidak menyetor

 

DJP sebagai otoritas pajak di Indonesia dalam melaksanakan tugasnya mempunyai dua fungsi besar yaitu fungsi pelayanan dan fungsi penegakkan hukum. Contoh pelayanan adalah memberikan pelayanan pendaftaran NPWP, Pengukuhan PKP, Sosialisasi Perpajakan dan lain-lain. Selain fungsi pelayanan tersebut, DJP juga melakukan penegakkan hukum bagi pelanggar hukum pajak:

1.    Penegakkan hukum ringan (Soft Law Enforcement) dikenakan atas pelanggaran yang bersifat administrasi, yaitu berupa denda dan/atau bunga (sanksi administrasi umum), misalnya telat lapor SPT tahunan Orang pribadi dikenakan denda Rp. 100.000,-

2.    Penegakkan hukum berat (Hard Law Enforcement) dikenakan atas tindak pidana perpajakan, sanksi yang dikenakan adalah sanksi administrasi khusus dan sanksi pidana.

III.        Kejahatan Korporasi dalam Bidang Perpajakan

Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan, dikenakan sanksi pidana. Dan untuk mengetahui telah terjadinya suatu tindak pidana di bidang perpajakan maka perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Khusus untuk pemeriksa pajak adalah PNS di lingkungan DJP atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak yang diberi tugas wewenang, dan tanggungjawab untuk melaksanakan pemeriksaan di bidang perpajakan. Beberapa modus kejahatan perpajakan:[6]

1.    Pertama, modus dengan tidak melaporkan penjualan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Dalam modus ini, hasil penjualan yang dilaporkan dalam SPT masuk ke rekening perusahaan, sedangkan penjualan yang tidak dilaporkan dalam SPT dimasukkan ke dalam rekening pemegang saham atau keluarga. Penerimaan penjualan yang tidak dilaporkan dalam SPT atau karena tidak memungut PPN, yang masuk  ke rekening perusahaan akan dicatat sebgai hutang pemegang saham.

2.    Kedua, modus kejahatan perpajakan dengan memambahkan biaya-biaya fiktif. Dengan membuat kontrak management/technical/consultant dengan perusahaan satu grup di luar negeri untuk menimbulkan biaya management fee/technical fee/consultant fee. Namun sebenarnya, tidak ada jasa yang dilakukan. Kemudian untuk pelunasan management fee/technical fee/consultant fee akan ditransfer dana dari rekening perusahaan ke rekening perusahaan grup di luar negeri. Kemudian, perusahaan akan membuat biaya atau kwitansi yang sebenarnya tidak ada biaya yang dikeluarkan, kemudian uang pembiayaan fiktif tersebut akan ditransfer dari perusahaan ke rekening penampungan sementara yang selanjutnya akan dibagikan kepada pemegang saham. Selanjutnya, dengan membuat kontrak hedging atau wash-out secara tanggal mundur, Wajib Pajak (WP) akan dibuat selalu rugi dalam hedging  atau wash out tersebut. Pelunasan kerugian hedging atau wash out akan ditransfer dana dari rekening perusahaan ke rekening perusahaan grup di luar  negeri.

3.    Ketiga, menerbitkan atau menggunakan faktur pajak tidak berdasarkan transaksi sebenarnya. Biasanya, tersangka mendirikan perusahaan dan menerbitkan faktur pajak yang tidak didukung dengan transaksi uang dan barang. Perusahaan didirikan hanya untuk menjual faktur pajak. Selain itu, untuk mengurangi setoran PPN, perusahaan dengan sengaja menambahkan atau membeli faktur pajak  masukan dengan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya.

Keempat, tidak menyetorkan pajak yang dipotong atau dipungut. Bendaharawan pemerintah memotong PPh 21 atas gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS), PPh 23 dan PPn atas proyek pemerintah tetapi tidak melaporkan pemotongan tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan tidak menyetorkan pajak yang telahh dipotong atau dipungut tersebut ke Bank Persepsi.

4.    Kelima, rekayasa ekspor untuk mendapatkan restitusi PPN. Perusahaan eksportir menambahkan ekspor fiktif atau ekspor dari pengusaha yang lain sebagai penjualan ekspor perusahaannya, kemudian akan mencari faktur pajak masukan yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya untuk tujuan restitusi PPN.

 

Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata sebagai badan hukum, atau dalam Belanda disebut recht persoon atau dalam bahasa inggris dengan istilah legal person atau legal body.

Korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum. Badan yang diciptakan itu terdiri dari “corpus”, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukkan unsur “animus” yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum maka kecuali penciptaannya, kematiannyapun juga ditentukan oleh hukum.[7]

Menurut Utrecht Korporasi ialah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai sebagai suatu subjek hukum tersendiri suatu personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak kewajiban sendiri terpisah dari hak kewajiban anggota masing-masing.

Menurut Wirjono prodjodikoro korporasi adalah suatu perkumpulan orang, dalam korporasi biasanya yang mempunyai kepentingan adalah orang-orang manusia yang merupakan anmggota dari korporasi itu, anggota-anggota mana juga mempunyai kekuasaan dalam peraturan korporasi berupa rapat anggota sebagai alat kekuasaan yang tertinggi dalam peraturan korporasi.

 

Contoh Kasus

Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di Grup Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto. Melalui banyak anak perusahaannya, AAG memiliki 200 ribu hektar lahan sawit, karet, kakao di Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Thailand. Di Asia, AAG merupakan salah satu penghasil minyak sawit mentah terbesar, yaitu memiliki 19 pabrik yang menghasilkan 1 juta ton minyak sawit mentah – selain tiga pabrik minyak goreng. Modus dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar – untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan AAG sebagian adalah perusahaan fiktif.

Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN). Selain itu juga “bahwa dalam tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun, mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar, mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.

 

Konsep pertanggungjawaban pidana korporasi didukung oleh beberapa teori yang menjustifikasi sebuah korporasi yang tidak memiliki sikap kalbu namun dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana. Diantaranya adalah doktrin pertanggungjawaban mutlak (strict liability), doktrin pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability), doktrin delegasi (doctrine of delagation), doktrin identifikasi (doctrine of identification), dan doktrin kombinasi (doctrine of aggregation). Dalam bukunya yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”, Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeny, SH, memberikan 6 (enam) batasan suatu korporasi dapat dipertanggungjawaban pidana yang ia namai sebagai teori gabungan, yang terdiri dari:[8]

1.    Tindak pidana tersebut (commision atau ommision) dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi yang didalam struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi. Dimana directing mind dari korporasi adalah personel yang memiliki posisi sebagai penentu kebijakan korporasi atau memiliki kewenangan sah untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang mengikat korporasi tanpa harus mendapat persetujuan dari atasannya.

2.    Tindak pidana dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi yang ditentukan dalam anggaran dasar korporasi;

3.    Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atas perintah pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi. Apabila tindak pidana itu tidak berkaitan dengan tugas pelaku atau tugas pemberi perintah di dalam korporasi tersebut, maka korporasi tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidananya;

4.    Tindak pidana dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi;

5.    Pelaku atau pemberi tidak memiliki alasan pembenar atau pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.

6.    Bagi tindak-tindak pidana yang mengharuskan adanya unsur perbuatan (actus reus) dan unsur kesalahan (mens rea), kedua unsur tersebut tidak harus terdapat pada satu orang saja. Actus reus dari orang yang melakukan tindak pidana bisa saja merupakan mens rea dari orang yang memberi perintah dalam korporasi.

 

 

Perkembangan pertanggungjawaban pidana di Indonesia, ternyata yang dapat dipertanggungjawabkan tidak hanya manusia, tetapi juga korporasi. Khusus mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, ternyata terdapat bermacam-macam cara perumusannya yang ditempuh oleh pembuat undang-undang. Berkenaan dengan pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, terdapat 3 (tiga) sistem yaitu:[9]

1.    Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab.

2.    Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab.

3.    Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagiai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.

 

Menurut Suprapto bahwa korporasi dapat memiliki kesalahan, seperti apa yang dikemukannya, yaitu badan-badan bisa didapat kesalahan, bila kesengajaan atau kelalaian terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alatnya. Kesalahan itu tidak bersifat individuil, karena itu mengenai badan sebagai suatu kolektivitet. Dapatlah kiranya kesalahan itu disebut kesalahan kolektif, yang dapat dibebankan kepada pengurusnya. Selain dari pada itu cukup alasan untuk menganggap badan mempunyai kesalahan dan karena itu harus menanggungnya dengan kekayaannya, karena ia misalnya menerima keuntungan yang terlarang. Hukuman denda yang setimpal dengan pelanggaran dan pencabutan keuntungan tidak wajar yang dijatuhkan pada pribadi seseorang, karena mungkin hal itu melampaui kemampuannya.

Menurut Roeslan Saleh,[10] dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungjawaban.Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh mengatakan, orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan, “tidak di ada pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat.

Undang-Undang Pajak pada hakikatnya merupakan ketentuan hukum administrasi, yakni mengatur kewenangan negara untuk memungut pajak. Oleh karena itu, penggunaan sanksi pidana hanya bersifat pelengkap. Dalam undang-undang perpajakan telah ditetapkan mekanisme yang tegas tentang upaya yang dapat ditempuh terhadap mereka yang ditengarai melakukan pelanggaran hukum. Ketentuan pidana perpajakan tunduk kepada tujuan ditetapkannya undang-undang perpajakan itu sendiri. Kebijakan untuk menjatuhkan sanksi administratif berupa denda atau kenaikan harus lebih dahulu dikedepankan.[11] Oleh karena itu, wajib pajak yang karena kelalaian ataupun kesengajaan menyebabkan terjadinya pelanggaran pajak tidak mutlak harus diusut secara pidana. Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan penagihan pajak dengan surat paksa sampai kepada tindakan penyanderaan yang merupakan tindakan eksekutif, dapat ditempuh. Apa- bila mekanisme administratif ini telah dijalankan, prosedur pidana tidak diperlukan lagi atau dapat dikesampingkan.

Usaha untuk menghindarkan prosedur pidana disebabkan penghukuman terhadap wajib pajak tidak menyebabkan utang pajak menjadi hapus. Dengan demikian, jika wajib pajak dituntut secara pidana akan menimbulkan double jeopardy yang tidak adil. Kepada yang bersangkutan tetap diwajibkan untuk melunasi pajak yang terutang, kecuali utang pajaknya daluwarsa atau dihapuskan. Apabila cara ini terjadi tentu bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.

Terhadap pelanggar pajak, apa pun motifnya harus diusut secara hukum. Meskipun demikian, perlu diberi catatan bahwa penggunaan sarana hukum bukan dengan hukum pidana semata, tetapi penggunaan hukum administratif ataupun keperda- taan, seperti penjatuhan sanksi denda ataupun kenaikan dan bunga.

Dasar pemidanaan kejahatan korporasi dalam bidang perpajakan sebagai berikut:

1.    Setiap orang yang karena kealpaannya :[12]

a.    tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) atau

b.    menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.

2.    Setiap orang yang dengan sengaja :

a.    tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; atau

b.    menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;

c.    tidak menyampaikan SPT; atau

d.    menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau

e.    menolak untuk dilakukan pemeriksaan; atau - memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya; atau

f.     tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau

g.    tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia ; atau

h.    tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan, dikenakan pidana 2 (dua) kali lipat dari ancaman pidana yang diatur sebagaimana butir 2.

3.    Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau Pengukuhan PKP, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.

4.    Setiap orang yang dengan sengaja :

a.    menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau

b.    menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

5.    Sanksi tindak pidana berlaku juga bagi wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajib Pajak, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

 

Berikut ini akan dibahas beberapa pengaturan tentang korporasi antara lain dalam Undang-Undang Drt. No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang No. 8 Tahun Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.[13]:

1.    Undang-Undang Drt. No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi Undang-Undang Drt. No. 7 Tahun 1955 selengkapnya adalah mengenai Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, yang selanjutnya disebut UU TPE. Melihat substansi UU TPE khususnya mengenai jenis-jenis pidana, sebenarnya dapat dikatakan cukup baik karena jenis-jenis sanksi pidana yang disediakan tepat untuk dikenakan para pelaku tindak pidana ekonomi.

Sebenarnya dalam UU TPE tidak ada satu pasalpun yang secara tegas mengatur tentang korporasi, tetapi apabila melihat jenis-jenis pidana yang ada maka dapat dikatakan bahwa UU TPE teleh mengintroduser bahwa Badan Hukum merupakan sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Misalnya dalam Pasal 7 ayat (1) sub c tentang penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan dan Pasal 8 tentang tindakan tata tertib yang dapat dikenakan antara lain penempatan perusahaan si terhukum dibawah pengampuan selama 3 tahun bila tindak pidana ekonomi itu merupakan kejahatan dan 2 tahun jika tindka pidana itu merupakan pelanggaran.

2.    Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya disebut UUTPK mengatur korporasi sebagai sebagai subyek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan pidana. Menurut Pasal 1 ke-1 UUTPK, korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Selanjutnya dalam Pasal 1 ke-3 juga dipertegas bahwa setiap orang adalah orang-perseorangan atau termasuk korporasi.

Menurut Barda Nawawi Arief,[14]dengan dijadikannya korporasi (berbadan hukum atau bukan) sebagai subyek tindak pidana korupsi, maka sistem pidana dan pemidanaannya juga seharusnya berorientasi pada korporasi. Ini harus ada ketentuan khusus mengenai:

a.    Kapan korporasi dikatakan melakukan tindak pidana;

b.    Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan;

c.    Dalam hal bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan; dan

d.    Jenis-jenis sanksi apa saja yang dapat dijatuhkan untuk korporasi.

 

Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, korporasi melakukan tindka pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkunag korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama (Pasal 20 ayat (2)). Sedangkan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan , UUTPK mengatur dalam Pasal 20 ayat (1), yaitu dalam hal tindak pidana dilakukan oleh atas nama korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. UUTPK tidak menyebutkan secara khusus dan rinci mengenai dalam hal bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan, tetapi diintegrasikan dalam Pasal 20 ayat (1) diatas. Mengenai sanksi pidana yang diancamkan kepada korporasi menurut Pasal 20 ayat (7) adalah pidana denda yang diperberat. Selengkapnya klausula Pasal 20 ayat (7) adalah: “Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya berupa pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah sepertiga.”

Namun demikian disamping pidana denda, pidana tambahan yang disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1) dapat juga dijadikan pidana pokok untuk korporasi atau setidak-tidaknya dijadikan pidana tambahan yang dapat dijatuhkan secara mandiri. Permasalahannya adalah tidak ada ketentuan khusus mengenai dapat dijatuhkannya pidana tambahan kepada korporasi. Bahkan pidana yang dijatuhkan kepada korporasi adalah pidana denda, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 20 ayat (7).

Pidana tambahan menurut Pasal 18 ayat (1) UUTPK, selain pidana tambahan sebagaimana dalam KUHP adalah:

a.    Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana, dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

b.   Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindka pidana korupsi.

c.    Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk aling lama satu tahun.

d.   Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

e.    Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

IV.        Conclusion

Salah satu pendapatan terbesar negara Indonesia bersumber dari sektor perpajakan. Dalam perpajakan dikenal wajib pajak adalah orang atau badan. Dasar hukum pemungutan pajak diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.

Pendapatan negara dari sektor perpajakan sangat membantu keuangan negara guna meningkatkan perekonomian dan pembangunan nasional negara republik Indonesia. oleh karena itu korporasi sebagai wajib pajak seharusnya tertib dalam pembayaran pajak. Pada kenyaataannya kejahatan dalam bidang perpajakan sering kali dilakukan oleh korporasi melalui direksinya.

Contoh Kasus: Asian Agri Group adalah korporasi dalam bentuk gabungan perusahaan yang dihukum dalam tindak pidana penggelapan pajak (tax evasion) yang merugikan keuangan Negara. Semakin besar kegiatan usaha suatu korporasi dan semakin besar pendapatan suatu korporasi pasti kewajiban membayar pajak korporasi tersebut akan semakin besar pula. Tingginya nilai kewajiban pajak yang harus dibayarkan wajib pajak kepada pemerintah menjadi pemicu terjadinya Kejahatan Korporasi dalam bidang perpajakan seperti penggelapan dan/atau penyuapan pejabat pajak guna mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar kepada pemerintah.

Pertanggungjawaban pidana perpajakan oleh korporasi berorientasi pada pelaku sebagai otak dan/atau dalang pelanggaran kejahatan korporasi dalam bidang perpajakan yang bertindak secara melawan hukum untuk kepentingan korporasi yang bersangkutan.

 

Daftar Pustaka

 

Bambang Waluyo, 1994, Tindak Pidana Perpajakan, Pradnya Paramita,Jakarta 

Edi Yunara, 2005, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Citra Aditya Bandung.

Mardjono Reksodiputro, 2007, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan; Kumpulan Karangan Buku Kesatu, Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum (d//h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta.

R.Santoso Brotodiharjo,1995, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco, Bandung.

R.Soesilo,1990, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ( KUHP ) ,Politea, Bogor 

Wirjono Prodjodikoro, 1989, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Ed.2, Cet.6, Eresco, Bandung.

 



[3] Bambang Waluyo, Tindak Pidana Perpajakan (Jakarta, Pradnya Paramita, 1994), hal. 96.

[4] Ibid, hlm. 98.

[7] Dwidja Priyatno, Kebijakan Legilasi Tentang Sistem pertanggungjawaban Pidana Korporasi Indonesia, 2004,CV.Utomo, Bandung, hal.13.

[8] Sutan Remy Sjahdeny, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta., h. 118 – 121.

[9] Muladi,Pertanggungjawaban korporasi Dalam Hukum Pidana,1991,Sekolah Tinggi Hukum Bandung,Bandung,hal. 67.

[10] Djoko Prakoso .Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia . Edisi Pertama , ( Yogyakarta : Liberty Yogyakarta , 1987 ) ,hlm.75

[13] https://slissety.wordpress.com/iki-aku/ diakses 27 April 2016, 17.25 WIB.

[14] Bambang Suheryadi, Penanggulangan Kejahatan Korporasi dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana, Yuridika, Vol. 18, No. 1, Januari-Pebruari 2003, hlm.95.

1 komentar: