Kejahatan
Korporasi Bidang Perpajakan
Oleh
Dr.
Muhammad Taufiq, S.H.,M.H.
I.
Tinjauan
Mengenai Supremasi Hukum
Indonesia merupakan
negara hukum, konsep negara hukum
tercantum di dalam UUD 1945, yang menjelaskan bahwa negara Indonesia
berdasarkan atas hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka
(machstaat). Oleh karena itu negara tidak boleh melaksanakan aktivitasnya atas
dasar kekuasaan belaka, tetapi harus berdasarkan pada hukum.
Selanjutnya dalam UUD 1945 tersebut menerangkan bahwa
pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusional (hukum dasar) tidak bersifat
(absolutisme (kekuasaan yang terbatas), karena kekuasaan eksekutif dan
administrasi di Indonesia berada dalam satu tagan, yaitu ada pada presiden.
Artinya bahwa administrasi dalam menjalankan tugasnya dibatasi oleh peraturan
perundang-undangan.
Menurut Ismail Suny, Ciri Ciri
Negara Hukum yaitu,:
1.
Ciri
negara hukum yang pertama yaitu Menjunjung tinggi hukum.
2.
Ciri
negara hukum yang kedua ialah Adanya pembagian kekuasaan.
3.
Ciri
negara hukum yang ketiga adalah Adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia serta remedi-remedi prosedural untuk mempertahankannya.
4.
Ciri
negara hukum yang keempat yaitu Dimungkinkan adanya peradilan administrasi.
Seorang pakar bernama Soetandyo Wignjosoebroto memberikan pendapat tentang
pengertian supremasi hukum. Menurut pandangannya supremasi hukum dapat
diartikan sebagai upaya dalam penegakan hukum dan penempatan hukum sebagai
posisi tertinggi dalam suatu negara yang dapat digunakan untuk melindungi semua
lapisan masyarakat tanpa intervensi atau gangguan dari pihak manapun termasuk
pihak penyelenggara negara. Ada juga pakar bernama Abdul Manan yang
mengemukakan pendapatnya bahwa dilihat dari sisi terminologis supremasi hukum
dapat diartikan sebagai upaya penegakan hukum dan penempatan hukum pada posisi
tertinggi dari segalanya, serta menjadikan hukum sebagai panglima ataupun
komandan dalam upaya untuk menjaga dan melindungi tingkat stabilitas dalam
kehidupan suatu bangsa dan negara.[1]
Adapun berdasarkan beberapa penjalasan mengenai supremasi hukum diatas
dapat kita tarik garis pandangan mengenai apa tujuan dari adanya supremasi
hukum dalam suatu negara. Tujuan utama adanya supremasi hukum adalah menjadikan
hukum sebagai pimpinan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara,
yang mana apabila tujuan tersebut tercapai dapat menghasilkan beberapa hal
seperti meningkatkan integritas sumber daya manusia, memberikan keadilan
sosial, menjaga nilai moral bangsa, menciptakan masyarakat yang demokratis,
serta memberi jaminan perlindungan hak individu dalam bernegara dan
bermasyarakat. Dari beberapa pengertian supremasi hukum diatas sudah dapat kita
lihat bersama seberapa penting adanya supremasi hukum di suatu negara.
II.
Tinjauan Mengenai Kejahatan Perpajakan
Kejahatan di bidang perpajakan dapat berupa melakukan perbuatan atau tidak
melakukan perbuatan yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.Pada hakikatnya, ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
dikategorikan sebagai kaidah hukum pajak yang menjadi koridor untuk berbuat
atau tidak berbuat. Dengan demikian, melakukan perbuatan atau tidak melakukan
perbuatan dibidang perpajakan tergolong sebagai kejahatan dibidang perpajakan
ketika memenuhi kaidah rumusan hukum pajak.
Mengacu pada Mulyono (2007),
pengertian Subjek Pajak
adalah orang pribadi, warisan, atau badan termasuk bentuk
usaha tetap (BUT) baik yang berada di dalam negeri maupun berada di luar negeri yang mempunyai atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. Subjek Pajak dapat
dibedakan menjadi:
1.
Subjek
Pajak dalam negeri,
adalah orang pribadi
atau badan yang bertempat tinggal atau yang bertempat kedudukan di dalam Indonesia yang dapat menerima
atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia atau luar Indonesia,
baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap (BUT) di luar negeri dan juga warisan
yang belum terbagi.
Subjek Pajak dalam negeri terdiri dari:
a. Orang
Pribadi, yang terbagi atas:
· Orang pribadi
yang bertempat tinggal di Indonesia dimulai pada saat ia lahir
di Indonesia.
· Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di
Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
· Kewajiban pajak subjektif orang pribadi berakhir pada
saat ia meninggal
dunia atau meninggalkan Indonesia untuk
selama-lamanya.
b. Badan
Adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan
usaha. Kewajiban pajak subjektif badan
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dimulai
pada saat badan didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan
di Indonesia.
c. Warisan Yang Belum Terbagi
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
merupakan subjek pajak pengganti. Adapun pihak yang digantikan
adalah mereka yang berhak,
yaitu ahli waris. Penunjukan warisan
yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti bukannya
tanpa alasan. Hal ini dimaksudkan agar pengenaan
pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut
tetap dilaksanakan.
Warisan menjadi subjek pajak dalam negeri apabila
warisan yang ditinggalkan oleh subjek pajak dalam negeri tersebut belum terbagi dan menggantikan kewajiban
pewaris sampai warisan
tersebut dibagi.
2. Subjek Pajak
luar negeri
Adalah orang
pribadi
atau
badan
yang
bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia
yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia, baik melalui
ataupun tanpa melalui
bentuk usaha tetap
(BUT).
Sebagai Subjek
Pajak, orang pribadi,
badan, warisan belum terbagi dan BUT
sudah mempunyai kewajiban dalam pemenuhan perpajakan. Kewajiban ini lebih
dikenal sebagai kewajiban subjektif, atau kewajiban perpajakan terkait dengan
Subjek Pajak tersebut. Kewajiban perpajakan tersebut antara
lain menghitung dan memperhitungkan,
memotong, memungut, membayar dan membayarkan serta melapor dan melaporkan
pajak yang terhutang padanya
atau yang terhutang
pihak lain yang harus dipotong atau dipungut. Selain
jenis-jenis subjek pajak diatas, maka yang tidak termasuk subjek pajak
adalah badan perwakilan negara asing dan pejabat perwakilan diplomatik serta organisasi
internasional lainnya.
Tindak Pidana Perpajakan adalah suatu perbuatan yang
melanggar peraturan perundang-undangan pajak yang menimbulkan kerugian keuangan
negara dimana pelakunya diancam dengan hukuman pidana.[2]
Undang-undang perpajakan membagi tindak pidana yang dilakukan oleh wajib pajak
dalam 2 (dua) jenis yaitu pidana pelanggaran, dan pidana kejahatan.
1. Pelanggaran, Pelanggaran dalam ajaran hukum pidana sering
dipadankan dengan kejahatan yang ringan, dalam hal ini terlihat ada kesamaan
dengan pelanggaran dibidang perpajakan. Ancaman pidana yang dikenakan yakni,
pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebesar 2 (dua) kali
pajak terhutang, bahkan dapat juga dikenakan sanksi administrasi saja apabila
pelanggaran yang dilakukan hanya menyangkut tindakan administrasi saja
(penjelasaan pasal 38 Undang-undang Nomor 6 tahun 1983). Penjelasan pasal 38
Undang-undang Perpajakan menyebutkan kualifikasi daripada kealpaan itu sendiri
adalah tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, dan tidak memperdulikan
kewajibannya sehingga perbuatannya mengakibatkan kerugian bagi Negara. Perihal
tindak pidana pelangaran tersebut yang dimaksudkan dalam pasal 38 ayat (1)
Undang-undang KUP Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah atas
perubahan ketiga menjadi Undang-undang KUP Nomor 28 Tahun 2007 yakni;
Barang siapa karena kealpaannya :
a. tidak menyampaikan surat pemberitahuan; atau
b. menyampaikan surat pemberitahuan tetapi isinya tidak
benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana kurungan
selama-lamanya satu tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 2 (dua) kali
pajak terhutang.[3]
2. Kejahatan, Jika pelanggaran merupakan kejahatan yang
ringan maka kejahatan dapat dipadankan sebagai pelanggaran yang berat
dikarenakan ancaman pidananya jauh lebih berat dbandingkan dengan ancaman
pelanggaran, yakni penjara selamalamanya 3 (tiga) tahun dan denda
setinggi-tingginya 4 (empat) kali dari jumlah pajak terhutang. Dan bagi pelaku
pengulangan kejahatan (residive) ancaman pidana dilipatkan dua, dengan
ketentuan belum lewat setahun. Seperti yang tercantum dalam bunyi pasal 39
Undang-undang KUP Nomor 6 Tahun 1983 yang telah diubah atas perubahan ketiga
menjadi Undang-undang KUP Nomor 28 Tahun 2007 menegaskan bahwa:
(1)Barang siapa dengan sengaja : [4]
a. tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau
menggunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pajak Wajib Pajak sebagaimana
dimaksuddalam pasal 2; atau
b. tidak menyampaikan SPT; dan atau
c. menyampaikan SPT atau keterangan yang isinya tidak benar
atau tidak lengkap;
d. memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau dokumen lain
yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; dan
e. tidak memperlihatkan atau meminjamkan pembukuan,
pencatatan atau dokumen lainnya ; dan
f. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 3 (tiga) tahun dan denda setinggi-tingginya sebesar 4 (empat)
kali dari pajak terhutang.
Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilipatkan dua apabila
seseorang melakukannya lagi tindak pidana dibidang perpajakan sebelum lewat
satu tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana
penjara yang dijatuhkan.
Potensi pelanggaran dari kepatuhan sukarela (Voluntary Compliance) tersebut
adalah :[5]
1.
Penghindaran
Pajak (Tax avoidance) adalah Suatu skema transaksi yang ditujukan untuk
meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole)
ketentuan perpajakan (pemanfaatkan celah hukum). Cirinya adalah berupaya
meminimalkan beban pajak dengan cara:
-
tidak secara jelas melanggar ketentuan
perpajakan;
-
Cenderung
menafsirkan ketentuan pajak tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pembuat
undang-undang.
2.
Penggelapan
Pajak (Tax Evasion) adalah upaya penyelundupan pajak, Suatu skema memperkecil
pajak yang terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan (illegal),
misalnya :
-
tidak
melaporkan sebagian penjualan
-
memperbesar
biaya dengan cara fiktif
-
memungut
pajak tetapi tidak menyetor
DJP sebagai otoritas pajak di Indonesia dalam
melaksanakan tugasnya mempunyai dua fungsi besar yaitu fungsi pelayanan dan
fungsi penegakkan hukum. Contoh pelayanan adalah memberikan pelayanan
pendaftaran NPWP, Pengukuhan PKP, Sosialisasi Perpajakan dan lain-lain. Selain
fungsi pelayanan tersebut, DJP juga melakukan penegakkan hukum bagi pelanggar
hukum pajak:
1.
Penegakkan
hukum ringan (Soft Law Enforcement) dikenakan atas pelanggaran yang bersifat
administrasi, yaitu berupa denda dan/atau bunga (sanksi administrasi umum),
misalnya telat lapor SPT tahunan Orang pribadi dikenakan denda Rp. 100.000,-
2.
Penegakkan
hukum berat (Hard Law Enforcement) dikenakan atas tindak pidana perpajakan,
sanksi yang dikenakan adalah sanksi administrasi khusus dan sanksi pidana.
III.
Kejahatan Korporasi dalam Bidang Perpajakan
Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh
Wajib Pajak sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan dikenakan
sanksi administrasi, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang
perpajakan, dikenakan sanksi pidana. Dan untuk mengetahui telah terjadinya
suatu tindak pidana di bidang perpajakan maka perlu dilakukan pemeriksaan untuk
mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Khusus untuk
pemeriksa pajak adalah PNS di lingkungan DJP atau tenaga ahli yang ditunjuk
oleh Dirjen Pajak yang diberi tugas wewenang, dan tanggungjawab untuk
melaksanakan pemeriksaan di bidang perpajakan. Beberapa modus kejahatan perpajakan:[6]
1.
Pertama,
modus dengan tidak melaporkan penjualan dalam Surat Pemberitahuan (SPT)
Tahunan. Dalam modus ini, hasil penjualan yang dilaporkan dalam SPT masuk ke
rekening perusahaan, sedangkan penjualan yang tidak dilaporkan dalam SPT
dimasukkan ke dalam rekening pemegang saham atau keluarga. Penerimaan penjualan
yang tidak dilaporkan dalam SPT atau karena tidak memungut PPN, yang masuk ke rekening perusahaan akan dicatat sebgai
hutang pemegang saham.
2.
Kedua,
modus kejahatan perpajakan dengan memambahkan biaya-biaya fiktif. Dengan
membuat kontrak management/technical/consultant dengan perusahaan satu grup di
luar negeri untuk menimbulkan biaya management fee/technical fee/consultant
fee. Namun sebenarnya, tidak ada jasa yang dilakukan. Kemudian untuk pelunasan
management fee/technical fee/consultant fee akan ditransfer dana dari rekening
perusahaan ke rekening perusahaan grup di luar negeri. Kemudian, perusahaan akan membuat biaya atau kwitansi
yang sebenarnya tidak ada biaya yang dikeluarkan, kemudian uang pembiayaan
fiktif tersebut akan ditransfer dari perusahaan ke rekening penampungan
sementara yang selanjutnya akan dibagikan kepada pemegang saham. Selanjutnya,
dengan membuat kontrak hedging atau wash-out secara tanggal mundur, Wajib Pajak
(WP) akan dibuat selalu rugi dalam hedging
atau wash out tersebut. Pelunasan kerugian hedging atau wash out akan
ditransfer dana dari rekening perusahaan ke rekening perusahaan grup di
luar negeri.
3.
Ketiga,
menerbitkan atau menggunakan faktur pajak tidak berdasarkan transaksi
sebenarnya. Biasanya, tersangka mendirikan perusahaan dan menerbitkan faktur
pajak yang tidak didukung dengan transaksi uang dan barang. Perusahaan
didirikan hanya untuk menjual faktur pajak. Selain itu, untuk mengurangi
setoran PPN, perusahaan dengan sengaja menambahkan atau membeli faktur
pajak masukan dengan faktur pajak yang
tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya.
Keempat, tidak menyetorkan pajak yang dipotong atau dipungut. Bendaharawan
pemerintah memotong PPh 21 atas gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS), PPh 23 dan PPn
atas proyek pemerintah tetapi tidak melaporkan pemotongan tersebut ke Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) dan tidak menyetorkan pajak yang telahh dipotong atau
dipungut tersebut ke Bank Persepsi.
4.
Kelima,
rekayasa ekspor untuk mendapatkan restitusi PPN. Perusahaan eksportir
menambahkan ekspor fiktif atau ekspor dari pengusaha yang lain sebagai
penjualan ekspor perusahaannya, kemudian akan mencari faktur pajak masukan yang
tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya untuk tujuan restitusi PPN.
Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh
para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang
hukum lain, khususnya bidang hukum perdata sebagai badan hukum, atau dalam
Belanda disebut recht persoon atau dalam bahasa inggris dengan istilah legal
person atau legal body.
Korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum. Badan
yang diciptakan itu terdiri dari “corpus”, yaitu struktur fisiknya dan
kedalamnya hukum memasukkan unsur “animus” yang membuat badan itu mempunyai
kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum maka kecuali
penciptaannya, kematiannyapun juga ditentukan oleh hukum.[7]
Menurut Utrecht Korporasi ialah suatu gabungan orang yang
dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai sebagai suatu subjek hukum
tersendiri suatu personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota,
tetapi mempunyai hak kewajiban sendiri terpisah dari hak kewajiban anggota
masing-masing.
Menurut Wirjono prodjodikoro korporasi adalah suatu
perkumpulan orang, dalam korporasi biasanya yang mempunyai kepentingan adalah
orang-orang manusia yang merupakan anmggota dari korporasi itu, anggota-anggota
mana juga mempunyai kekuasaan dalam peraturan korporasi berupa rapat anggota
sebagai alat kekuasaan yang tertinggi dalam peraturan korporasi.
Contoh
Kasus
Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di Grup
Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto. Melalui banyak anak
perusahaannya, AAG memiliki 200 ribu hektar lahan sawit, karet, kakao di
Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Thailand. Di Asia, AAG merupakan salah satu
penghasil minyak sawit mentah terbesar, yaitu memiliki 19 pabrik yang
menghasilkan 1 juta ton minyak sawit mentah – selain tiga pabrik minyak goreng.
Modus dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil)
keluaran AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga
pasar – untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi.
Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rupanya
perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan AAG sebagian adalah
perusahaan fiktif.
Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut (14 perusahaan diperiksa),
ditemukan penggelapan pajak yang berupa penggelapan
pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN). Selain itu juga
“bahwa dalam tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan
pencatatan transaksi. Yang berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp
1,5 triliun, mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar, mengecilkan
hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah
menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun.
Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005.
Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan
keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.
Konsep
pertanggungjawaban pidana korporasi didukung oleh beberapa teori yang
menjustifikasi sebuah korporasi yang tidak memiliki sikap kalbu namun dapat
dikenakan pertanggungjawaban pidana. Diantaranya adalah doktrin pertanggungjawaban
mutlak (strict liability), doktrin pertanggungjawaban pengganti (vicarious
liability), doktrin delegasi (doctrine of delagation), doktrin identifikasi
(doctrine of identification), dan doktrin kombinasi (doctrine of aggregation).
Dalam bukunya yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”, Prof. Dr.
Sutan Remy Sjahdeny, SH, memberikan 6 (enam) batasan suatu korporasi dapat
dipertanggungjawaban pidana yang ia namai sebagai teori gabungan, yang terdiri
dari:[8]
1. Tindak pidana tersebut (commision atau ommision)
dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi yang didalam struktur
organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi.
Dimana directing mind dari korporasi adalah personel yang memiliki posisi
sebagai penentu kebijakan korporasi atau memiliki kewenangan sah untuk
melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang mengikat korporasi tanpa harus
mendapat persetujuan dari atasannya.
2. Tindak pidana dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan
korporasi yang ditentukan dalam anggaran dasar korporasi;
3. Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atas perintah pemberi
perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi. Apabila tindak pidana itu tidak
berkaitan dengan tugas pelaku atau tugas pemberi perintah di dalam korporasi
tersebut, maka korporasi tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidananya;
4. Tindak pidana dilakukan dengan maksud memberikan manfaat
bagi korporasi;
5. Pelaku atau pemberi tidak memiliki alasan pembenar atau
pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.
6. Bagi tindak-tindak pidana yang mengharuskan adanya unsur
perbuatan (actus reus) dan unsur kesalahan (mens rea), kedua unsur tersebut
tidak harus terdapat pada satu orang saja. Actus reus dari orang yang melakukan
tindak pidana bisa saja merupakan mens rea dari orang yang memberi perintah
dalam korporasi.
Perkembangan
pertanggungjawaban pidana di Indonesia, ternyata yang dapat dipertanggungjawabkan
tidak hanya manusia, tetapi juga korporasi. Khusus mengenai pertanggungjawaban
korporasi dalam hukum pidana, ternyata terdapat bermacam-macam cara
perumusannya yang ditempuh oleh pembuat undang-undang. Berkenaan dengan pembebanan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, terdapat 3 (tiga) sistem yaitu:[9]
1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang
bertanggungjawab.
2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab.
3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagiai pembuat dan
juga sebagai yang bertanggungjawab.
Menurut Suprapto
bahwa korporasi dapat memiliki kesalahan, seperti apa yang dikemukannya, yaitu
badan-badan bisa didapat kesalahan, bila kesengajaan atau kelalaian terdapat
pada orang-orang yang menjadi alat-alatnya. Kesalahan itu tidak bersifat individuil,
karena itu mengenai badan sebagai suatu kolektivitet. Dapatlah kiranya kesalahan
itu disebut kesalahan kolektif, yang dapat dibebankan kepada pengurusnya. Selain
dari pada itu cukup alasan untuk menganggap badan mempunyai kesalahan dan karena
itu harus menanggungnya dengan kekayaannya, karena ia misalnya menerima keuntungan
yang terlarang. Hukuman denda yang setimpal dengan pelanggaran dan pencabutan
keuntungan tidak wajar yang dijatuhkan pada pribadi seseorang, karena mungkin
hal itu melampaui kemampuannya.
Menurut Roeslan
Saleh,[10]
dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungjawaban.Perbuatan
pidana menurut Roeslan Saleh mengatakan, orang yang melakukan perbuatan pidana
dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban
pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan, “tidak di ada pidana jika tidak
ada kesalahan,” merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat.
Undang-Undang Pajak
pada hakikatnya merupakan ketentuan hukum administrasi, yakni mengatur
kewenangan negara untuk memungut pajak. Oleh karena itu, penggunaan sanksi
pidana hanya bersifat pelengkap. Dalam undang-undang perpajakan telah
ditetapkan mekanisme yang tegas tentang upaya yang dapat ditempuh terhadap
mereka yang ditengarai melakukan pelanggaran hukum. Ketentuan pidana perpajakan
tunduk kepada tujuan ditetapkannya undang-undang perpajakan itu sendiri.
Kebijakan untuk menjatuhkan sanksi administratif berupa denda atau kenaikan
harus lebih dahulu dikedepankan.[11]
Oleh karena itu, wajib pajak yang karena kelalaian ataupun kesengajaan
menyebabkan terjadinya pelanggaran pajak tidak mutlak harus diusut secara
pidana. Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan penagihan pajak dengan surat
paksa sampai kepada tindakan penyanderaan yang merupakan tindakan eksekutif,
dapat ditempuh. Apa- bila mekanisme administratif ini telah dijalankan,
prosedur pidana tidak diperlukan lagi atau dapat dikesampingkan.
Usaha untuk
menghindarkan prosedur pidana disebabkan penghukuman terhadap wajib pajak tidak
menyebabkan utang pajak menjadi hapus. Dengan demikian, jika wajib pajak
dituntut secara pidana akan menimbulkan double jeopardy yang tidak adil. Kepada
yang bersangkutan tetap diwajibkan untuk melunasi pajak yang terutang, kecuali
utang pajaknya daluwarsa atau dihapuskan. Apabila cara ini terjadi tentu
bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.
Terhadap pelanggar
pajak, apa pun motifnya harus diusut secara hukum. Meskipun demikian, perlu
diberi catatan bahwa penggunaan sarana hukum bukan dengan hukum pidana semata,
tetapi penggunaan hukum administratif ataupun keperda- taan, seperti penjatuhan
sanksi denda ataupun kenaikan dan bunga.
Dasar pemidanaan
kejahatan korporasi dalam bidang perpajakan sebagai berikut:
1. Setiap orang yang karena kealpaannya :[12]
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) atau
b. menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan
perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali, didenda paling sedikit 1 (satu)
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2
(dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana
kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.
2. Setiap orang yang dengan sengaja :
a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib
Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak; atau
b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok
Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
c. tidak menyampaikan SPT; atau
d. menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak
benar atau tidak lengkap; atau
e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan; atau -
memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
atau
f. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau
g. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi
dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data
dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara
program aplikasi on-line di Indonesia ; atau
h. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau
dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam)
tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang
tidak atau kurang dibayar. Apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di
bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya
menjalani pidana penjara yang dijatuhkan, dikenakan pidana 2 (dua) kali lipat
dari ancaman pidana yang diatur sebagaimana butir 2.
3. Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan
tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau Pengukuhan
PKP, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya
tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi
atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau
kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali
jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang
dilakukan.
4. Setiap orang yang dengan sengaja :
a. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti
pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang
tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau
b. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali
jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan
pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah
pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak,
dan/atau bukti setoran pajak.
5. Sanksi tindak pidana berlaku juga bagi wakil, kuasa, atau
pegawai dari Wajib Pajak, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan,
yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan.
Berikut ini akan
dibahas beberapa pengaturan tentang korporasi antara lain dalam Undang-Undang
Drt. No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak
Pidana Ekonomi, Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika,
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang No. 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, tentang Perubahan Undang-Undang No.
7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang No. 8 Tahun Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.[13]:
1.
Undang-Undang
Drt. No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak
Pidana Ekonomi Undang-Undang Drt. No. 7 Tahun 1955 selengkapnya adalah mengenai
Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, yang selanjutnya
disebut UU TPE. Melihat substansi UU TPE khususnya mengenai jenis-jenis pidana,
sebenarnya dapat dikatakan cukup baik karena jenis-jenis sanksi pidana yang
disediakan tepat untuk dikenakan para pelaku tindak pidana ekonomi.
Sebenarnya dalam UU TPE tidak ada satu pasalpun yang
secara tegas mengatur tentang korporasi, tetapi apabila melihat jenis-jenis
pidana yang ada maka dapat dikatakan bahwa UU TPE teleh mengintroduser bahwa
Badan Hukum merupakan sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.
Misalnya dalam Pasal 7 ayat (1) sub c tentang penutupan seluruhnya atau
sebagian perusahaan dan Pasal 8 tentang tindakan tata tertib yang dapat
dikenakan antara lain penempatan perusahaan si terhukum dibawah pengampuan
selama 3 tahun bila tindak pidana ekonomi itu merupakan kejahatan dan 2 tahun
jika tindka pidana itu merupakan pelanggaran.
2.
Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya
disebut UUTPK mengatur korporasi sebagai sebagai subyek tindak pidana korupsi
yang dapat dikenakan pidana. Menurut Pasal 1 ke-1 UUTPK, korporasi adalah
kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum. Selanjutnya dalam Pasal 1 ke-3 juga dipertegas bahwa
setiap orang adalah orang-perseorangan atau termasuk korporasi.
Menurut Barda Nawawi Arief,[14]dengan
dijadikannya korporasi (berbadan hukum atau bukan) sebagai subyek tindak pidana
korupsi, maka sistem pidana dan pemidanaannya juga seharusnya berorientasi pada
korporasi. Ini harus ada ketentuan khusus mengenai:
a. Kapan korporasi dikatakan melakukan tindak pidana;
b. Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. Dalam hal bagaimana korporasi dapat
dipertanggungjawabkan; dan
d. Jenis-jenis sanksi apa saja yang dapat dijatuhkan untuk
korporasi.
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, korporasi melakukan
tindka pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang
baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak
dalam lingkunag korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama (Pasal 20
ayat (2)). Sedangkan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan , UUTPK mengatur
dalam Pasal 20 ayat (1), yaitu dalam hal tindak pidana dilakukan oleh atas nama
korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi dan atau pengurusnya. UUTPK tidak menyebutkan secara khusus dan rinci
mengenai dalam hal bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan, tetapi
diintegrasikan dalam Pasal 20 ayat (1) diatas. Mengenai sanksi pidana yang
diancamkan kepada korporasi menurut Pasal 20 ayat (7) adalah pidana denda yang
diperberat. Selengkapnya klausula Pasal 20 ayat (7) adalah: “Pidana pokok yang
dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya berupa pidana denda, dengan ketentuan
maksimum pidana ditambah sepertiga.”
Namun demikian disamping pidana denda, pidana tambahan
yang disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1) dapat juga dijadikan pidana pokok untuk
korporasi atau setidak-tidaknya dijadikan pidana tambahan yang dapat dijatuhkan
secara mandiri. Permasalahannya adalah tidak ada ketentuan khusus mengenai
dapat dijatuhkannya pidana tambahan kepada korporasi. Bahkan pidana yang
dijatuhkan kepada korporasi adalah pidana denda, sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 20 ayat (7).
Pidana tambahan menurut Pasal 18 ayat (1) UUTPK, selain
pidana tambahan sebagaimana dalam KUHP adalah:
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak
berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana,
dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang
menggantikan barang-barang tersebut.
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindka pidana
korupsi.
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk aling
lama satu tahun.
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat
diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
e. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 25
Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
IV.
Conclusion
Salah satu pendapatan
terbesar negara Indonesia bersumber dari sektor perpajakan. Dalam perpajakan
dikenal wajib pajak adalah orang atau badan. Dasar hukum pemungutan pajak
diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009.
Pendapatan negara
dari sektor perpajakan sangat membantu keuangan negara guna meningkatkan
perekonomian dan pembangunan nasional negara republik Indonesia. oleh karena
itu korporasi sebagai wajib pajak seharusnya tertib dalam pembayaran pajak.
Pada kenyaataannya kejahatan dalam bidang perpajakan sering kali dilakukan oleh
korporasi melalui direksinya.
Contoh Kasus: Asian Agri Group adalah korporasi dalam
bentuk gabungan perusahaan
yang dihukum dalam tindak pidana penggelapan pajak (tax evasion) yang merugikan keuangan Negara. Semakin besar kegiatan usaha suatu korporasi dan
semakin besar pendapatan suatu korporasi pasti kewajiban membayar pajak
korporasi tersebut akan semakin besar pula. Tingginya nilai kewajiban pajak
yang harus dibayarkan wajib pajak kepada pemerintah menjadi pemicu terjadinya
Kejahatan Korporasi dalam bidang perpajakan seperti penggelapan dan/atau
penyuapan pejabat pajak guna mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar kepada
pemerintah.
Pertanggungjawaban
pidana perpajakan oleh korporasi berorientasi pada pelaku sebagai otak dan/atau
dalang pelanggaran kejahatan korporasi dalam bidang perpajakan yang bertindak
secara melawan hukum untuk kepentingan korporasi yang bersangkutan.
Daftar Pustaka
Bambang Waluyo, 1994, Tindak Pidana
Perpajakan, Pradnya Paramita,Jakarta
Edi Yunara, 2005, Korupsi dan Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi, Citra Aditya Bandung.
Mardjono Reksodiputro, 2007, Kemajuan Pembangunan
Ekonomi dan Kejahatan; Kumpulan Karangan Buku Kesatu, Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum (d//h Lembaga Kriminologi)
Universitas Indonesia, Jakarta.
R.Santoso Brotodiharjo,1995, Pengantar
Ilmu Hukum Pajak, Eresco, Bandung.
R.Soesilo,1990, Kitab Undang – Undang
Hukum Pidana ( KUHP ) ,Politea, Bogor
Wirjono Prodjodikoro, 1989, Asas-asas Hukum Pidana di
Indonesia, Ed.2, Cet.6, Eresco, Bandung.
[1]
http://pengertiandefinisi.com/pengertian-supremasi-hukum-dan-tujuannya/
diakses 27 April 2016, 08.00 WIB.
[2]
http://ekstensifikasi423.blogspot.co.id/2014/12/tindak-pidana-perpajakan.html
diakses 27 April 2016, 09.50 WIB
[3] Bambang
Waluyo, Tindak Pidana Perpajakan
(Jakarta, Pradnya Paramita, 1994), hal. 96.
[4]
Ibid, hlm. 98.
[5]
http://ekstensifikasi423.blogspot.co.id/2014/12/tindak-pidana-perpajakan.html
diakses 27 April 2016, 11.00 WIB.
[6]
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51c7fa3cc5d4c/lima-modus-kejahatan-perpajakan
diakses 27 April 2016, 12.30 WIB.
[7] Dwidja Priyatno, Kebijakan Legilasi
Tentang Sistem pertanggungjawaban Pidana Korporasi Indonesia,
2004,CV.Utomo, Bandung, hal.13.
[8]
Sutan Remy Sjahdeny, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers,
Jakarta., h. 118 – 121.
[9] Muladi,Pertanggungjawaban korporasi Dalam Hukum Pidana,1991,Sekolah Tinggi
Hukum Bandung,Bandung,hal. 67.
[10]
Djoko Prakoso .Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia . Edisi Pertama , (
Yogyakarta : Liberty Yogyakarta , 1987 ) ,hlm.75
[11]
http://www.antikorupsi.org/en/content/menghukum-pengemplang-pajak
diakses 27 April 2016, 16.00 WIB.
[12]
http://www.wikiapbn.org/tindak-pidana-di-bidang-perpajakan/
diakses 27 April 2016, 17.00 WIB.
[13]
https://slissety.wordpress.com/iki-aku/ diakses 27 April 2016,
17.25 WIB.
[14]
Bambang Suheryadi, Penanggulangan
Kejahatan Korporasi dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana, Yuridika, Vol. 18, No. 1,
Januari-Pebruari 2003, hlm.95.
artikelnya menarik
BalasHapusjurnal firman